Menagih Jaminan Kebebasan Bicara
Silang pendapat merebak usai Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan masukan dan kritik kepada pemerintah.Tak sedikit tokoh masyarakat angkat bicara mempertanyakan kesungguhan Presiden itu.
Keberadaan pasal karet UU ITE yang bisa mengancam kebebasan berekspresi ditengarai turut menurunkan kualitas demokrasi Indonesia. Langkah Presiden Jokowi yang membuka peluang revisi UU ITE perlu direalisasikan.
Silang pendapat merebak setelah Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan masukan dan kritik kepada pemerintah. Tak sedikit tokoh masyarakat angkat bicara mempertanyakan kesungguhan Presiden Jokowi karena belakangan ini pemerintah dinilai antikritik.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, misalnya, mempertanyakan cara yang baik dan aman dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah. ”Bapak Presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi seperti yang dikeluhkan Pak Kwik (Kwik Kian Gie) atau siapa saja? Tentu itu menjadi bagian dari upaya kita bersama,” ujar Kalla saat berbicara dalam acara Mimbar Demokrasi Partai Keadilan Sejahtera yang disiarkan PKS TV, Jumat (12/2/2021).
Pernyataan itu pun langsung ditanggapi beragam. Beberapa kalangan menuding Kalla sengaja melakukan provokasi. Tudingan itu lalu dibalas juru bicara Kalla, Husain Abdullah, yang menyampaikan bahwa tak ada niat untuk memprovokasi, seperti yang dituduhkan Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan Ade Irfan Pulungan. Pernyataan itu disampaikan hanya karena Kalla ingin memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.
Kepada Kompas, Selasa (16/2), Kalla mengatakan, kritiknya kepada pemerintah bukan hanya di ”belakang” Presiden. ”Lewat surat kepada Presiden, bahkan bertemu langsung di Istana, saya biasa bicara apa adanya, termasuk kasih masukan dan usulan berbagai solusi masalah. Jadi, bukan hanya bicara ’di belakang’ Presiden saja,” tuturnya.
Baca Juga: Demokrasi Bisa Mati jika Kemerdekaan Berpendapat Dibungkam
Respons lingkaran Istana terhadap pernyataan Kalla sebenarnya menunjukkan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Rakyat seakan kehilangan kebebasan berbicara, hingga banyak yang takut melontarkan kritik. Sementara pemerintah juga seolah dilematis menghadapi media sosial yang berseliweran dengan hoaks dan kabar bohong.
”Lewat surat kepada Presiden, bahkan bertemu langsung di Istana, saya biasa bicara apa adanya, termasuk kasih masukan dan usulan berbagai solusi masalah. Jadi, bukan hanya bicara ’di belakang’ Presiden saja”
Jika merujuk laporan tahunan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia memang merosot ke peringkat ke-64 dunia. Survei EIU tahun 2020 menilai skor Indonesia hanya 6,3, angka terendah selama 14 tahun terakhir. Dengan angka itu, posisi Indonesia pun tertinggal dari Malaysia, Filipina, bahkan Timor Leste. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, mengutip laporan Freedom House, menyampaikan, penyebab merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia karena munculnya ancaman terhadap kebebasan sipil, termasuk menyampaikan pendapat.
”Menurut Freedom House, 2014-2017 skor demokrasi kita turun, penyebabnya SARA dan intoleransi. Kemudian 2018-2020, penyebabnya terutama soal kebebasan sipil yang terancam, kebebasan berorganisasi yang terpuruk sejak muncul Perppu Ormas, dan tentang kebebasan berpendapat,” kata Burhanuddin saat bincang-bincang Satu Meja Kompas TV, Rabu (17/2/2021).
Acara yang dipandu jurnalis senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo, itu menghadirkan secara virtual Jusuf Kalla, deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) M Said Didu, Tenaga Ahli Utama KSP Ade Irfan Pulungan, dan Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi sebagai narasumber.
Takut bicara
Survei Indikator Politik Indonesia pada September 2020 juga menunjukkan mayoritas rakyat semakin takut mengutarakan pendapat. Dari 1.200 responden, sebanyak 21,9 persen setuju warga Indonesia semakin takut menyampaikan pendapat dan 47,7 persen lainnya agak setuju.
Kalla melihat ada tiga alasan masyarakat semakin takut berbicara. ”Pertama, belum apa-apa sudah di-bully oleh buzzer, dimaki-maki tanpa ada argumentasi. Yang kedua, karena langsung dipenjara, dan ketiga, ada juga yang jabatannya hilang atau tak diberi kesempatan,” tuturnya.
Pernyataan Kalla cukup mendasar karena ada aksi saling melaporkan dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan tuduhan lainnya. Kasus terakhir, pelaporan terhadap mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) ITB karena dituding radikal serta dinilai tak mematuhi aturan ASN dengan mendirikan KAMI yang dianggap sebagai kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Pelaporan itu pun direspons dengan rencana sejumlah kelompok untuk melaporkan balik GAR ITB dengan tudingan pencemaran nama baik.
Aksi saling lapor yang terjadi di masyarakat rupanya membuat Presiden Jokowi geram. Di hadapan para petinggi TNI dan Polri, Senin (15/2), Presiden menginstruksikan Polri agar lebih selektif menerima dan menangani pelaporan pelanggaran UU ITE. Semua anggota Polri harus berhati-hati menerjemahkan pasal-pasal multitafsir UU ITE.
Perintah itu disampaikan karena, menurut Presiden Jokowi, Indonesia merupakan negara demokrasi sehingga kebebasan berpendapat dan berorganisasi merupakan keniscayaan. Indonesia juga negara hukum sehingga hukum harus ditegakkan untuk kepentingan lebih luas serta menjamin rasa keadilan.
UU ITE juga semestinya diterapkan secara adil. ”Jangan justru menimbulkan ketidakadilan,” kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta. Presiden pun menyampaikan niat untuk merevisi UU ITE jika ternyata regulasi itu tak bisa memberikan rasa keadilan.
Tegas dan jelas
"Pernyataan Presiden Jokowi itu menjadi rambu-rambu bagi menteri dan aparat pemerintah tentang pentingnya membenahi masalah kebebasan sipil. Arahan itu disampaikan karena Presiden merasa ada masalah serius yang mengancam kebebasan sipil yang merupakan roh demokrasi"
Burhanuddin berpandangan, pernyataan Presiden Jokowi itu menjadi rambu-rambu bagi menteri dan aparat pemerintah tentang pentingnya membenahi masalah kebebasan sipil. Arahan itu disampaikan karena Presiden merasa ada masalah serius yang mengancam kebebasan sipil yang merupakan roh demokrasi.
Baca Juga: Kebebasan dan Kecemasan
Karena itu, menurut Burhanuddin, arahan Presiden Jokowi agar Polri lebih selektif menangani pelaporan pelanggaran UU ITE dan niat mengubah pasal-pasal karet UU ITE sudah tepat. Dengan menggunakan kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemerintah di parlemen, revisi UU ITE bisa dengan mudah dilakukan. Pemerintah dan DPR bisa mengubah pasal-pasal karet yang multitafsir dengan lebih tegas dan jelas.
Sementara menurut Said, revisi UU ITE tak akan cukup menjamin terciptanya penegakan hukum yang adil. Sebab, keadilan dalam penegakan hukum hanya bisa terjadi jika materi hukum obyektif dan tegas serta tak bisa diintervensi siapa pun. Selain itu, aparat hukum juga obyektif, tidak menerima intervensi dari siapa pun.
Permintaan Presiden Jokowi agar rakyat lebih aktif memberikan kritik tetap harus diapresiasi karena merupakan kabar baik bagi pemenuhan hak dan kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpendapat dan berkumpul yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Namun, permintaan Presiden Jokowi itu akan sulit dipenuhi jika pasal-pasal tersebut masih berlaku. Kini, hanya kepada Presiden, rakyat berharap revisi UU ITE tak sekadar wacana.