Demokrasi Bisa Mati jika Kemerdekaan Berpendapat Dibungkam
Kebebasan akademis merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak seharusnya dilarang di alam demokrasi. Negara menjamin kebebasan berpendapat seperti sudah diatur di konstitusi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan, termasuk kebebasan berpendapat, merupakan sesuatu yang sakral dan menjadi hak setiap manusia. Ketika kemerdekaan berpikir dan berpendapat dibungkam, maka demokrasi bisa mati.
Gagasan tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19”, Senin (1/6/2020). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI).
Diskusi ini diisi oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Pusat Din Syamsuddin, Ketua Umum Mahutama Aidul Fitriciada Azhari, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, Pakar Filsafat Pancasila Suteki, serta Ahli Hukum Tata Negara dan Pengamat Politik Refly Harun,
Hadir juga dalam diskusi ini Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Ibnu Sina Chandranegara, Pakar Hukum Tata Negara Ilham Hermawan, Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Bivitri Susanti, serta dimoderatori oleh Sekretaris Jenderal Mahutama dan Peneliti Senior KJI Auliya Khasanofa.
Diskusi ini diadakan setelah terjadi teror dan intimidasi yang dialami panitia diskusi “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan oleh kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Diskusi yang sedianya digelar Jumat (29/5/2020) lalu itu akhirnya dibatalkan oleh panitia.
Diskusi yang seharusnya digelar pada Jumat (29/5/2020) itu batal. Pembatalan diskusi bukan karena aparat kepolisian atau oleh pihak UGM, tetapi oleh panitia diskusi itu sendiri. Sebab, panitia diskusi daring itu mendapatkan intimidasi dari sejumlah oknum (Kompas.id, 31 Mei 2020).
Dalam 15 tahun terkahir, demokrasi Indonesia cenderung berjalan di tempat. Bahkan, mengalami kemunduran di beberapa sektor penting yang menjadi penopang perkembangan demokrasi
Peristiwa ini memperkuat kemunduran demokrasi di Indonesia. Litbang Kompas mencatat, dalam 15 tahun terkahir, demokrasi Indonesia cenderung berjalan di tempat. Bahkan, mengalami kemunduran di beberapa sektor penting yang menjadi penopang perkembangan demokrasi (Kompas, 27 Mei 2020).
Dalam indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit pada 2019, indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,48 dan menduduki peringkat ke-64 dari 167 negara. Indonesia masuk dalam kategori demokrasi cacat atau flawed democracy. Indeks demokrasi Indonesia lebih rendah dibandingkan Timor Leste (7,19), Malaysia (7,16), dan Filipina (6,64).
Berdasarkan rilis The V-Dem Institute dan Badan Pusat Statistik, kebebasan masyarakat sipil menjadi salah satu pendorong kemunduran demokrasi. Dari catatan BPS tahun 2018, variabel kebebasan berpendapat menjadi yang terendah dalam indeks demokrasi pada aspek kebebasan sipil, bahkan nyaris menyentuh kategori buruk.
Hal tersebut cukup ironis. Din Syamsuddin mengatakan, kebebasan merupakan hal sakral yang melekat pada manusia, termasuk kebebasan berpendapat. “Kebebasan adalah eksistensi alamiah manusia. Kebebasan itu sesuatu yang tinggi,” kata Syamsuddin.
Kebebasan merupakan hal sakral yang melekat pada manusia, termasuk kebebasan berpendapat.
Ia mengungkapkan, para pemikir politik Islam menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dalam beragama, berbicara, dan memilih serta dipilih. Begitu juga dengan bapak pendiri bangsa. Mereka sangat paham tentang hak asasi manusia.
Hal tersebut, terlihat dari Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Oleh karena itu, Din Syamsuddin merasa sangat terganggu ketika ada rezim yang antikebebasan berpendapat. Sebab, kebebasan berpendapat menjadi hak rakyat.
Sependapat dengan Din, Aidul Fitriciada Azhari mengungkapkan, kebebasan berpendapat adalah nilai-nilai dari sebuah peradaban. Rakyat memiliki banyak pembatasan hak, tetapi dalam keadaan apapun hak berpendapat tidak boleh dikurangi.
Ketika kebebasan berpendapat dilarang, maka menjadi sesuatu yang kontradiktif. Sebab, permusyawaratan harus ditegakkan sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa oleh bapak pendiri bangsa.
Kebebasan akademik merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang menjadi hak fundamental dari setiap orang. Di dalam kebebasan akademik, ada kebebasan berbicara yang bertujuan untuk menemukan kebenaran dengan bertukar gagasan
Sementara Denny Indrayana mengungkapkan, selain ancaman yang dialami panitia diskusi di UGM, ada juga beberapa kasus kebebasan pers yang juga mulai diberangus. Hal tersebut menunjukkan demokrasi di Indonesia berada di ujung tanduk. Para korban pada umumnya dipidana dengan pasal pencemaran nama baik.
Susi Dwi Harijanti menjelaskan, kebebasan akademik merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang menjadi hak fundamental dari setiap orang. Di dalam kebebasan akademik, ada kebebasan berbicara yang bertujuan untuk menemukan kebenaran dengan bertukar gagasan. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk partisipasi dalam kerangka demokrasi.
Bivitri Susanti mengatakan, tekanan terhadap kebebasan berpendapat bukan hal baru di Indonesia. Tekanan tersebut dilakukan karena menganggap kritik hanya akan menimbulkan kegaduhan. Padahal, kritik dibutuhkan dalam demokrasi terutama dalam situasi politik seperti saat ini.
Bivitri menyayangkan pandangan yang menyatakan bahwa diskusi di UGM adalah sebuah gerakan makar. Sebab, tidak mudah menjatuhkan presiden di negara dengan sistem presidensial seperti di Indonesia, apalagi hanya dengan melalui kegiatan diskusi.
Ia mendorong pemerintah membuktikan bahwa pelaku intimidasi dalam peristiwa di UGM bukan dari aparat pemerintah. Karena itu, pemerintah harus melakukan penyidikan untuk mengetahui siapa yang melakukannya. Ia menduga ada agen yang bergerak secara independen atau difasilitasi untuk melaukan intimidasi tersebut.