Berbekal Perpres Nomor 7 Tahun 2021, BNPT bakal mengintensifkan program pencegahan ekstremisme. Namun, BNPT diingatkan agar program itu tidak dijadikan alat untuk menstigmatisasi dan mendiskriminasi kelompok tertentu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Berbekal Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bakal mengintensifkan program pencegahan ekstremisme. Namun, BNPT juga diingatkan agar program pencegahan ekstremisme itu tidak dijadikan alat untuk menstigmatisasi dan mendiskriminasi kelompok tertentu.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar dalam acara sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024, Jumat (5/2/2021), mengatakan, program pencegahan terorisme yang dilakukan BNPT setelah terbitnya aturan itu akan menyasar hulu persoalan.
Dengan payung hukum Perpres No 7/2021, BNPT berupaya umencegah orang atau kelompok untuk memikirkan terorisme dengan pendekatan lunak (soft approach). Bentuknya berupa diskusi kelompok terarah (FGD), peningkatan kapasitas, hingga peningkatan pengawasan internal kelompok atau organisasi.
”Di dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan ini, tidak ada satuan tugas yang akan menangkap (penegakan hukum). Ini adalah upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dengan metode dialog dan penguatan aturan di tingkat lingkungan,” papar Boy.
Di lingkungan kampus, misalnya, selama ini sudah berjalan mekanisme pengawasan dan evaluasi untuk mencegah aktivitas penyebaran paham ekstremisme berbasis kekerasan. Baik kepada pihak rektorat maupun mahasiswa ditanamkan untuk membangun ketahanan dan kewaspadaan terhadap ancaman ideologi ekstremisme. Dengan tumbuhnya kesadaran itu, diharapkan kampus lebih peka terhadap ancaman ekstremisme.
Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT Andika Chrisnayudhanto menambahkan, program rencana aksi nasional ini sifatnya langsung menyentuh masyarakat dengan pendekatan lunak.
Salah satu program yang sudah berjalan adalah kampung damai yang bekerja sama dengan Wahid Foundation. Dalam program itu, fasilitator dari Wahid Foundation mendampingi ibu-ibu dan masyarakat untuk lebih peka terhadap ekstremisme berbasis kekerasan. Dengan demikian, terbangun kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan dari ancaman dan bibit-bibit ekstremisme berbasis kekerasan.
”Cara masuknya fasilitator ini pun harus bisa membaur pada masyarakat. Tidak serta-merta bilang bahwa ini program pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan karena bisa menakuti masyarakat,” kata Andika.
Boy menambahkan, dengan program RAN PE ini, ke depan diharapkan tidak ditemukan lagi masyarakat yang tidak peka terhadap kejadian mencurigakan di lingkungannya. Dalam berbagai kasus, misalnya, seorang teroris indekos di suatu tempat, tetapi pemilik rumah kos tidak pernah tahu aktivitas penghuni kos. Padahal, di dalam kamar yang disewa itu ada aktivitas merakit bom.
Hal seperti ini pernah terjadi di Lampung, di mana Upik Lawanga, teroris jaringan Jamaah Islamiyah, ditangkap. Upik sehari-hari bekerja sebagai peternak telur bebek. Karena rumahnya berada di tengah sawah, masyarakat sekitar tidak tahu bahwa Upik membangun bungker persenjataan. Hal itu baru diketahui saat Upik ditangkap oleh Densus 88 pada Desember 2020.
Stigmatisasi kelompok tertentu
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra yang hadir dalam diskusi itu mengatakan, Perpres No 7/2021 menguatkan soliditas antarkementerian dan lembaga untuk program pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan. Selain itu, aturan baru itu pun akan mendorong pelibatan aktif masyarakat sipil. Dengan demikian, upaya pencegahan ekstremisme menjadi terarah, lebih kuat, dan berdaya jangkau lebih luas.
”Perpres ini sangat penting dalam merespons perkembangan ekstremisme yang berujung pada radikalisme dan terorisme. Memang sumber-sumber terorisme di Timur Tengah, seperti ISIS (NIIS) dan Al Qaeda, menyurut, tetapi tidak berarti terorisme di Indonesia surut. Buktinya, Densus 88 masih terus menangkap tersangka terorisme akhir-akhir ini,” kata Azyumardi.
Masih banyaknya tersangka terorisme yang ditangkap di Indonesia dapat diartikan bahwa sel-sel ekstremisme dan radikalisme masih gentayangan di Indonesia. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus terus mengantisipasi.
Namun, Azyumardi juga memberi catatan agar BNPT berkoordinasi intens dengan ormas Islam dalam implementasi rencana aksi nasional tersebut. Ini penting agar dalam implementasinya nanti tidak timbul stigmatisasi pada kelompok tertentu. Selain itu, tidak justru mengancam kebebasan sipil, kebebesan berekspresi, dan berpendapat.
Boy menegaskan bahwa penerapan rencana aksi nasional tidak akan menyasar kebebasan berekspresi dan menghambat kelompok kritis. Hal-hal yang akan disasar oleh program tersebut adalah ekstremisme berbasis kekeraan yang memang terbukti mengarah pada terorisme. Ancaman antara ekstremisme dan terorisme itu harus ada dalam satu tarikan napas.
Boy juga berjanji, implementasi rencana aksi nasional itu tidak akan digunakan untuk memukul kelompok kritis tertentu. Rencana aksi nasional semata-mata dibuat untuk mencegah ekstremisme dan terorisme yang mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat.
Deradikalisasi teroris
Terkait dengan 26 tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 di Gorontalo dan Makassar beberapa waktu lalu, Boy mengatakan, BNPT telah menyiapkan langkah deradikalisasi.
Program deradikalisasi mulai berjalan ketika seseorang dinyatakan sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana. Langkah berjalan secara proporsional sesuai tahapan. BNPT akan bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk melaksanakan program deradikalisasi.
”Program akan dilakukan sejak tersangka ditahan sambil menunggu proses hukum berjalan. Setelah itu, sampai terpidana di dalam lapas, hingga mereka keluar dari masa pemidanaan, deradikalisasi tetap dilanjutkan,” katanya.
Bentuk dari program deradikalisasi itu adalah peningkatan wawasan keagamaan, pemahaman wawasan kebangsaan, konseling psikolog untuk melihat motif, dan bahan evaluasi berkesinambungan. Program deradikalisasi bertujuan agar pemikiran destruktif bisa dieliminasi sehingga eks teroris bisa menjadi warga masyarakat yang antikekerasan, lebih moderat, dan bisa saling menghargai sesuai nilai agama dan hukum di Indonesia.