Pandemi Beri Tekanan Indeks Demokrasi Indonesia
Indonesia harus bekerja keras mengangkat indeks budaya politik yang turun tajam. Dari Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist Intelligent Unit 2020, skor Indonesia turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS – Pandemi menjadi salah satu faktor yang memberi tekanan bagi indeks demokrasi global termasuk Indonesia, tahun 2020. Kendati demikian, sejumlah catatan harus pula menjadi perhatian pengambil kebijakan, karena dalam kondisi pandemi sekalipun, sejumlah negara di kawasan Asia, justru dapat mencatatkan indeks demokrasi yang membaik. Indonesia terutama harus bekerja keras untuk mengangkat indeks budaya politik yang turun tajam.
Dari indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligent Unit (EIU), tahun 2020, skor Indonesia (6,30) masih tertinggal dari Malaysia (7,19), dan Timor Leste (7,06). Malaysia berada di peringkat 39, sedangkan Timor Leste di peringkat 44 dari 167 negara dan kawasan otonom yang dikaji oleh EIU. Skor Indonesia ini turun dibandingkan dengan 2019 (6,48) serta 2017 dan 2018 (6,39). Dengan skor rata-rata 6,30, demokrasi Indonesia masih tergolong flawed democracy (demokrasi yang cacat/berkekurangan). Indonesia menempati urutan 64 pada ranking global.
Ada lima indikator yang diukur oleh EIU, yaitu proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Penurunan tajam terutama dialami Indonesia pada indikator budaya politik (political culture) yang hanya memeroleh 4,38 poin. Skor ini jauh turun daripada capaian 2019, 2018, dan 2017 yang stagnan di angka 5,63.
Baca Juga: Indeks Demokrasi Indonesia Stagnan, Komitmen Elite Diuji
Adapun untuk partisipasi politik (6,11), proses elektoral dan pluralisme (7,92), dan kebebasan sipil (5,59), stagnan atau sama dengan skor tahun sebelumnya (2019). Satu-satunya indikator yang membaik ialah keberfungsian pemerintah, yaitu 7,50, atau naik daripada raihan skor 2019, 2018, dan 2017 (7,14).
"EIU mencatat pandemi memberikan dampak kurang menguntungkan bagi indeks dan kualitas demokrasi global. Rata-rata indeks demokrasi negara-negara di dunia turun. Pandemi antara lain memicu pembatasan kebebasan sipil dalam skala yang masif, serta menyebabkan maraknya intoleransi dan penyensoran terhadap pendapat yang berbeda"
Secara umum, EIU mencatat pandemi memberikan dampak kurang menguntungkan bagi indeks dan kualitas demokrasi global. Rata-rata indeks demokrasi negara-negara di dunia turun. Pandemi antara lain memicu pembatasan kebebasan sipil dalam skala yang masif, serta menyebabkan maraknya intoleransi dan penyensoran terhadap pendapat yang berbeda.
Dari 167 negara, tercatat 116 negara mengalami penurunan skor indeks demokrasi atau hampir 70 persen. Hanya ada 38 negara (22,6 persen) yang membaik, serta sisanya 13 negara stagnan. Kendati demikian, khusus wilayah Asia, pujian dilontarkan kepada Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang bergeser dari flawed democracy menjadi full democracy (demokrasi penuh) di masa pandemi. Sebaliknya, di kawasan Eropa, Perancis dan Portugal, terlempar dari demokrasi penuh, dan bergeser menjadi demokrasi cacat.
Kultur buruk
Dalam konteks Indonesia, skor indeks demokrasi EIU ini dinilai secara tepat menggambarkan situasi dan kehidupan demokrasi di Tanah Air. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, Jumat (5/2/2021) di Jakarta, mengatakan, indeks itu bisa menangkap pola pemerintahan saat ini yang mengutamakan keberfungsian pemerintahan. Sebagai hasilnya, indikator itu membaik.
“Sejak awal, pemerintahan Joko widodo menekankan pada fungsi-fungsi ekonomi, sehingga bisa menciptakan pemerintahan yang bisa bekerja. Hal itu terlihat dari slogannya, kerja, kerja, kerja. Akan tetapi, ada persoalan dalam kultur politik, terutama kultur demokrasi kita, karena tidak ada cukup pembinaan dan teladan yang baik dari pemerintah,” ucapnya.
Firman mengamini simpulan umum dari EIU yang menunjukkan pandemi memengaruhi reaksi banyak pemerintahan dalam merespons kebebasan sipil dan pendapat yang berbeda. Di Indonesia, pandemi juga dijadikan alasan bagi pemerintah untuk melakukan perlakuan yang berbeda antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ia antara lain mencontohkan kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta.
“Pandemi digunakan sebagai alasan memberangus oposisi. Padahal, dengan logika pandemi yang sama, banyak sekali yang seharusnya bisa ditahan karena tuduhan mengumpulkan massa. Tetapi kelihatannya pemerintah memanfaatkan pandemi untuk melakukan langkah represif terhadap elemen oposisi dan kritis. Hal ini membenarkan tesis The Economist dan Freedom House, yang menyebutkan banyak pemerintahan memanfaatkan pandemi untuk memberangus oposisi,” ujarnya.
Turunnya skor budaya politik, atau budaya demokrasi, menurut Firman, bisa dipahami karena selama ini tidak pernah dipikirkan bagaimana kultur yang kompatibel dengan demokrasi dipelihara. Di satu sisi, tidak cukup teladan ditunjukkan oleh elite politik dan pemerintah.
“Ini menjadi contoh bagi masyarakat, karena tidak terjadi penggarapan serius kultur-kultur yang tidak sejalan dengan semangat demokrasi, yakni yang masih menggunakan primordialisme, permisif terhadap korupsi, dan kultur patron-client, serta kebebasan berbicara yang justru mengalami pengkerdilan,” ujarnya.
Kultur-kultur tersebut tidak menguntungkan bagi demokrasi, dan sayangnya, dalam beberapa kali peristiwa terlihat juga dilakukan oleh elite politik dan pemerintah. Firman antara lain menyinggung persoalan yang terjadi di tubuh Partai Demokrat, yang juga mengindikasikan kultur yang kurang sehat bagi demokrasi.
“Ini menjadi contoh bagi masyarakat, karena tidak terjadi penggarapan serius kultur-kultur yang tidak sejalan dengan semangat demokrasi, yakni yang masih menggunakan primordialisme, permisif terhadap korupsi, dan kultur patron-client, serta kebebasan berbicara yang justru mengalami pengkerdilan”
Demokrasi kemudian dimaknai sebagai wadah untuk meraih kekuasaan dengan cara apapun, termasuk dengan tindakan-tindakan yang antidemokrasi. “Orang akan melakukan apa pun, dengan cara apa pun untuk mewujudkan keepntingannya, sekalipun dengan cara-cara yang tidak kompatibel dengan demokrasi. Karena itulah demokrasi kita masih prosedural, belum sampai pada substansial,” ungkapnya.
Benahi parpol
Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, menuturkan, indeks demokrasi Indonesia tidak akan membaik selama tidak ada pembenahan pada partai politik. Pelemahan peran parpol berdampak pada memburuknya budaya politik, partisipasi politik, proses elektoral, hingga kebebasan sipil.
Sedikitnya, parpol harus dicirikan dega melakukan tiga peran utama, yakni mengorganisasikan warga negara, mengejewantahkan visi-misi dan asas partai, serta mengikuti pemilu sebagai bagian dari upaya turut serta ikut dalam kekuasaan untuk mewujudkan cita-cita partai. Pada kenyataannya, menurut Ramlan, partai di Indonesia baru sampai pada ikut serta di dalam pemilu untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, dua peranan lainnya belum optimal dilakukan.
“Partai yang seharusnya mengorganisasikan warga negara, kini hanya mengorganisasikan pengurus. Anggota partai itu banyak, tetapi tidak difungsikan sama sekali. Kedua, atas dasar misi dan asas partai, itu juga tidak terlihat di dalam pemilu. Saat kampanye, misalnya, yang kita lihat hanya program calon, tetapi tidak jelas apa misi partai, dan programnya apa saja. Padahal, peserta pemilu itu adalah parpol, bukan calon,” ucapnya.
Karena kegagalan pada dua peran utama itu, parpol tidak mampu menjadi sarana partisipasi politik, aspirasi dan representasi politik. Sekalipun ada calon-calon legislatif yang terpilih, tetapi peran representasinya sangat rendah. Menurut Ramlan, pada akhirnya, anggota legislatif itu tidak berhasil merepresentasikan keinginan konstituennya. Sebagai gantinya, gerakan masyarakat sipil, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan tokoh-tokoh, yang justru mewakili suara rakyat.
“Kelompok ormas, masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh lebih sering bersuara untuk kepentingan masyarakat, atau representasi publik. Padahal, mereka ini bukan dari parpol, dan bukan dipilih melalui pemilu. Ada problem representasi dalam demokrasi perwakilan kita yang harus diperbaiki,” tuturnya.
Sebelum parpol direformasi, yakni dengan penguatan peran pengorganisasian warga negara, dan kejelasan misi dan program yang diperjuangkan, maka indeks demokrasi Indonesia cenderung stagnan. Bahkan, demokrasi Indonesia berpotensi terus turun jika ada upaya-upaya membawa kembali ide-ide lama, seperti pemilu presiden tidak langsung atau MPR dijadikan lagi lembaga tertinggi negara, sehingga presiden menjadi mandatoris MPR.
Selain faktor parpol dan budaya politik, turunnya indeks demokrasi Indonesia juga kerap selaras dengan memburuknya tata kelola pemerintahan dan indeks persepsi korupsi (IPK). Manajer riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, salah satu catatan penting dari IPK Indonesia yang turun tiga poin, tahun 2020, ialah demokrasi yang melemah.
“Kelompok ormas, masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh lebih sering bersuara untuk kepentingan masyarakat, atau representasi publik. Padahal, mereka ini bukan dari parpol, dan bukan dipilih melalui pemilu. Ada problem representasi dalam demokrasi perwakilan kita yang harus diperbaiki”
Pandemi diakui memperkecil relasi langsung partipsipasi publik dengan pembuatan kebijakan. Sebagai contohnya ialah keterbatasan dalam partisipasi publik untuk pembuatan undang-undang. Sejumlah UU, seperti revisi UU KPK, UU MK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja, dipandang tidak cukup mewadahi kepentingan publik.
Baca Juga: Peran Partai Politik Digugat
“Korupsi jangan hanya dilihat soal ada tidaknya kasus korupsi politik. Sebab, penutupan akses publik pada pembuatan kebijakan juga perilaku koruptif. Korupsi ini kan soal tata kelola pemerintahan dan penyalahgunaan kewenangan,” ujar Wawan.
Sebagai contohnya, ketika terjadi tangkap tangan kepada kepala daerah, kerap kali itu ada hubungannya dengan pemberian proyek pada orang tertentu. Mereka yang mendapatkan proyek rupanya turut menyumbang kepala daerah itu pada saat pencalonan. Hal ini, menurut Wawan, menunjukkan bagaimana suatu kasus korupsi dapat timbul dari tata kelola demokrasi yang buruk.
“Untuk mengatasi ini, tidak bisa dimulai dari pemberantasan korupsi dulu, atau perbaikan demokrasi dulu. Dua-duanya harus diperbaiki, karena keduanya saling memengaruhi, dan berelasi erat,” katanya.