Demokrat: Keterlibatan Pejabat Negara Ancam Kedaulatan Parpol dan Demokrasi
Demokrat menuding Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terlibat aktif dalam upaya pengambilalihan secara paksa kepemimpinan Demokrat. Bahkan Moeldoko disebut telah menggelontorkan dana awal sekitar 25 persen.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Partai Demokrat mengingatkan keterlibatan pejabat negara dalam urusan internal partai politik, mengancam kedaulatan partai, sekaligus kehidupan demokrasi di Indonesia. Tak hanya itu, pembiaran terhadap keterlibatan pejabat negara itu, berisiko mendorong pejabat negara lainnya untuk menabrak aturan hukum maupun etika berpolitik.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menyampaikan hal ini melalui siaran pers, Jumat (5/2/2021), guna menyikapi sikap Istana yang tak akan membalas surat dari Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Surat berisi permohonan penjelasan dari Presiden mengenai dugaan keterlibatan pejabat di lingkungan Istana dalam upaya pengambilalihan paksa kepemimpinan Demokrat. Pejabat dimaksud, seperti diungkap sejumlah politisi Demokrat, adalah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Riefky mengatakan, tindakan Moeldoko yang disebutnya berperan aktif dalam gerakan pengambilalihan kepemimpinan Demokrat secara paksa, tidak bisa dibiarkan dan dibenarkan. Sebagai pejabat negara, Moeldoko seharusnya mengedepankan aspek hukum, moral, etika, dan prinsip keadilan. Tanpa semua itu, dengan kekuasaan yang dimiliki, pejabat negara seolah bisa berbuat apa saja.
Oleh karena itu, menurutnya, tindakan Moeldoko tidak boleh dibenarkan atau dijustifikasi. Sebab, bisa menjadi contoh dan mendorong pejabat negara lainnya, yang memiliki ambisi politik dan kekuasaan, untuk menempuh jalan pintas dengan menabrak hukum, maupun etika politik.
“Kalau hal itu menjadi kultur dan kebiasaan, betapa terancamnya kedaulatan partai politik di negeri kita. Sekaligus betapa tidak aman dan rapuhnya kehidupan demokrasi kita,” kata Teuku.
Dana dari Moeldoko
Teuku mengkritik sikap Istana yang memilih tidak membalas surat resmi dari Agus Harimurti Yudhoyono dengan alasan persoalan Demokrat merupakan urusan internal partai. Menurutnya, alasan itu tidak tepat.
Sebab, dari keterangan sejumlah saksi mata, Moeldoko terlibat aktif dalam rencana kudeta kepemimpinan Demokrat secara paksa. Bahkan, Moeldoko disebutnya telah membagikan dana awal, atau sekitar 25 persen, untuk rencana pengambilalihan tersebut. Sisanya akan diserahkan setelah Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat selesai dan Moeldoko terpilih sebagai ketua umum baru.
“Semua itu membuktikan bahwa upaya pengambilalihan kepemimpinan Demokrat oleh pihak luar itu nyata dan serius. Uang sudah mulai digelontorkan, saudara Moeldoko juga aktif melakukan pertemuan dengan kader Demokrat. Karena ada pihak yang aktif dalam pengambilalihan tersebut, artinya ini bukan sekadar masalah internal,” terang Teuku.
Konflik PDI
Riefky pun mengambil contoh konflik di tubuh Partai Demokrasi Indonesia yang melibatkan pihak eksternal, dalam hal ini elemen pemerintah.
"Pada 22 Juni 1996 dilaksanakan Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia di Medan, yang berhasil menurunkan dan mengganti Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan PDI. KLB tersebut juga bukan hanya permasalahan internal PDI, atau konflik antara kubu Megawati dan kubu Suryadi, tetapi ada campur tangan dan pelibatan pihak eksternal, dalam hal ini elemen pemerintah," jelasnya.
Meski demikian, Demokrat menghargai pilihan sikap yang diambil oleh Presiden Joko Widodo. Hal itu menjadi hak dan wewenang sepenuhnya dari Presiden Jokowi. Mungkin saja, Presiden Jokowi benar-benar tidak mengetahui adanya gerakan pengambilalihan paksa kepemimpinan Demokrat. Namun, Demokrat mengingatkan pilihan sikap itu tentunya akan menyisakan teka-teki di masyarakat.
Partai Demokrat justru mengapresiasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang mau memberikan klarifikasi dan menyatakan membantah keterlibatannya dalam persoalan di Demokrat. Hal itu menjawab teka-teki bahwa memang pejabat negara tersebut tidak terlibat.
Sebelumnya, pihak Istana menganggap persoalan yang dihadapi oleh Partai Demokrat sebagai bagian dari dinamika di internal partai. Karena itu, Istana menilai tidak perlu menjawab surat AHY kepada Presiden Jokowi.
“Kami rasa, kami tidak perlu menjawab surat tersebut, karena itu perihal dinamika internal partai, perihal rumah tangga internal Partai Demokrat yang semuanya kan sudah diatur dalam AD-ART,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kamis (4/2/2021).
Moeldoko sendiri sudah dua kali merespons tudingan keterlibatannya. Ia mengakui pernah beberapa kali dikunjungi dan memenuhi undangan pertemuan sejumlah kader Demokrat. Namun, tidak ada pembahasan upaya pengambilalihan kursi kepemimpinan Demokrat.
Tetap butuh penjelasan
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor saat dihubungi, Kamis (4/2/2021), menganggap wajar pilihan sikap yang diambil Istana untuk tidak menjawab surat dari Demokrat. Kemungkinan, pilihan itu diambil untuk tidak melibatkan Presiden lebih jauh dalam isu kudeta kepemimpinan di Demokrat. Selain itu, untuk menjaga reputasi dari Moeldoko. Sebab, saat ini, seluruh mata publik sedang tertuju pada Moeldoko yang dituding sebagai dalang rencana kudeta paksa Partai Demokrat.
“Namun, pilihan sikap itu tentu akan ada risikonya. Akan beredar di benak publik dugaan bahwa restu dari pihak Istana khususnya Presiden itu memang ada,” kata Firman.
Persepsi publik soal dugaan adanya restu dari pihak Istana itu, kata Firman, tak bisa dihindari dengan pilihan sikap dari Istana tersebut. Pilihan sikap itu pun bisa menjadi senjata bagi lawan politik untuk merugikan Presiden.
Dari hasil penelitian konflik internal di sejumlah parpol, Firman mengatakan, pihak-pihak yang berani menantang kelompok penguasa di sebuah parpol, pasti memiliki keberanian berlipat. Biasanya, mereka yakin ada dukungan dari pihak eksternal. Dukungan eksternal itu berasal dari istana.
Oleh karena itu, sebelum isu Demokrat tersebut menjadi bola liar, akan lebih baik jika Presiden membuat pernyataan terbuka kepada publik.
Pernyataan itu bisa disisipkan dalam momentum tertentu. Pernyataan sikap itu tidak perlu gamblang dan terang-terangan. Presiden misalnya hanya perlu mengatakan bahwa dirinya tidak berkepentingan mendukung gerakan yang bisa melemahkan eksistensi dari partai-partai yang ada di Indonesia.
“Pernyataan sikap secara umum tanpa menyebut secara spesifik Demokrat itu sebenarnya sudah cukup. Ini lebih baik dibandingkan presiden diam saja, dan membiarkan isu berkembang liar,” kata Firman.