Institusi Penegak Hukum Diminta Benahi Lembaga Masing-masing
Penurunan skor IPK 2020 tak hanya terkait dengan pemberantasan korupsi, tetapi juga persepsi koruptif secara umum oleh KPK. Aparat penegak hukum pun harus ikut bertanggung jawab terhadap aparatnya masing-masing.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penurunan skor indeks persepsi korupsi atau IPK 2020 bukan hanya terkait dengan pemberantasan kasus korupsi, namun menampilkan persepsi koruptif secara umum. Aparat penegak hukum diharapkan segera membenahi institusinya dari perilaku koruptif untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2020 yang diluncurkan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan Indonesia mendapat skor 37 dan menempatkannya di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas korupsi.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Yenti Garnasih, ketika dihubungi, Minggu (31/1/2021) berpandangan, meskipun IPK bisa jadi dipengaruhi opini, namun penurunan IPK adalah hasil yang mengecewakan.
"Presiden Joko Widodo ingin investasi masuk, sementara IPK ini salah satu acuan penilaian negara lain terhadap Indonesia. Presiden mesti konsisten melakukan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang telah disusun"
"Presiden Joko Widodo ingin investasi masuk, sementara IPK ini salah satu acuan penilaian negara lain terhadap Indonesia. Presiden mesti konsisten melakukan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang telah disusun," kata Yenti.
Yenti mengatakan, tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya domain Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi turut menimbulkan persepsi negatif dan kekecewaan, namun persepsi koruptif juga menyangkut perilaku penegak hukum lainnya.
Menurut Yenti, upaya pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK akan sia-sia jika penegak hukum lainnya tetap berperilaku koruptif. Perilaku yang dimaksud adalah sikap kompromi atau tebang pilih dalam menangani suatu perkara. Meski bukan kasus korupsi, namun perilaku semacam itu memengaruhi persepsi publik.
"Institusipenegak hukum lainnya harus dibenahi. Oknum penegak hukum yang tersangkut kasus korupsi harus dibersihkan. Percuma kalau hanya memelototin KPK, tetapi lembaga penegak hukum yang lain dibiarkan," ujar Yenti.
Di sisi lain, lanjut Yenti, masih minimnya penerapan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinilai turut memengaruhi persepsi global terhadap Indonesia. Meski hal itu tidak dipersoalkan di dalam negeri, namun turut memengaruhi IPK karena menjadi acuan global.
Kuantitas penanganan
Secara terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta agar Program Stranas PK lebih menekankan kemajuan dan hasil daripada aspek seremonial. Presiden diharapkan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa program pencegahan korupsi berjalan efektif di semua lembaga pemerintahan.
Menurut Kurnia, selain KPK yang memang memiliki kaitan erat dengan pemberantasan korupsi, maka aparat penegak hukum lainnya, yakni kepolisian dan kejaksaan, diharapkan turut meningkatkan kuantitas penanganan perkara. Dengan sumber daya manusia yang lebih besar dibandingkan KPK, kedua lembaga penegak hukum tersebut mestinya juga dapat melakukan penindakan lebih banyak.
"Selain KPK yang memang memiliki kaitan erat dengan pemberantasan korupsi, maka aparat penegak hukum lainnya, yakni kepolisian dan kejaksaan, diharapkan turut meningkatkan kuantitas penanganan perkara. Dengan sumber daya manusia yang lebih besar dibandingkan KPK, kedua lembaga penegak hukum tersebut mestinya juga dapat melakukan penindakan lebih banyak"
Demikian pula transparansi dari aparat penegak hukum yang rendah membuat kepercayaan publik rendah. Oleh karena itu, kepolisian maupun kejaksaan diharapkan lebih transparan dan membuka akses pengawasan kepada publik.
Penurunan kepercayaan masyarakat atas kebijakan pemberantasan korupsi, lanjut Kurnia, juga dipotret oleh berbagai lembaga survei pada satu tahun terakhir. Hasil survei tersebut menjelaskan adanya penurunan kepercayaan publik pada agenda pemberantasan korupsi.
"Sayangnya sinyal itu tidak dijadikan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan oleh pemerintah. Tak heran jika masyarakat global pun memberikan respon negatif atas keputusan buruk Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi yang salah kaprah di periode 2 tahun terakhir," kata Kurnia menambahkan.