Konflik Kekuasaan Menghambat Kemajuan Peradaban Muslim
Ahli melihat kemunduran peradaban Muslim di masa kini tidak bisa hanya menyalahkan dominasi peradaban negara Barat. Ada konflik kekuasaan dari internal yang turut menghambat peradaban Muslim hingga sekarang.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Barisan buruh yang tergabung dalam Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) menggelar aksi penolakan disahkannya UU Cipta Kerja dengan jalan kaki berkeliling di Jalan Raya Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020).
JAKARTA, KOMPAS – Konflik kekuasaan di sejumlah negara Muslim menghambat kemajuan peradaban di wilayah itu. Pertikaian seperti ini memengaruhi perkembangan peradaban Muslim secara global. Para pemikir meyakini musabab kemunduran peradaban negara-negara itu bukan semata-mata pengaruh dominasi peradaban Barat.
Ahmet T Kuru, Profesor Ilmu Politik dari San Diego State University, Amerika Serikat, menyampaikan konflik kekuasaan tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Menurut Ahmet, konflik kekuasaan abad ke-7 hingga ke-11 menghambat kebebasan berpikir serta berpendapat di negara-negara Muslim. Pemikiranya itu tertuang dalam buku berjudul Islam, Authoritaniarism, and Underdevelopment: A Global Historical Comparison (2020).
Hingga kini konflik terus terjadi di sejumlah negara yang mengimani Muhammad sebagai Rasul terakhir. Permasalahan itu menjelma dalam bentuk otoritarianisme yang menghambat perkembangan peradaban negara. Gagasan kemunduran peradaban juga didukung pula dengan mayoritas negara Muslim yang hidup dengan angka indeks pembangunan manusia rendah.
"Ada konflik internal kekuasaan yang menghambat perkembangan peradaban negara-negara Muslim sebelum masuknya kolonialisasi atau dominasi dari peradaban negara Barat. Hal ini membalik kondisi peradaban Muslim yang dulu sangat maju, kini mayoritas negara-negara Muslim justru memiliki taraf pendapatan, edukasi, hingga kehidupan yang rendah," ungkap Ahmet dalam diskusi webinar bertajuk "Fact and Myth of Authoritaniarism in Islam: Historical Trajectory from Past to Present" dari Universitas Islam International Indonesia, Kamis (21/1/2021).
Sesi diskusi webinar bertajuk "Fact and Myth of Authoritaniarism in Islam: Historical Trajectory from Past to Present" dari Universitas Islam International Indonesia, Kamis (21/1/2021).
Gagasan Ahmet berkorelasi dengan data taraf kehidupan negara-negara Muslim dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2020. Beberapa negara Muslim tergolong berperingkat rendah, seperti Arab Saudi (di peringkat ke-40 dari 189 negara), Bahrain (42), Brunei Darussalam (47), Malaysia (62), serta Indonesia (107). Meski data itu tidak mewakili peradaban secara keseluruhan, tetapi itu menunjukkan kemunduran capaian peradaban Muslim di masa lampau.
Titik balik kemunduran peradaban Muslim, menurut Kuru, terjadi pada pertengahan abad ke-11, yaitu masa rezim Saljuk yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat antara kalangan cendekiawan dan pemerintah. Kondisi itu justru menyebabkan aksi persekusi kepada kalangan cendekiawan di masa itu.
Ironisnya, situasinya tidak banyak berubah di masa kini. Sejumlah negara Muslim bersikap serupa karena menganut otoritarianisme. Dalam konteks global, muncul pula kesalahpahaman terhadap Islam yang dekat dengan ajaran kekerasan, terorisme. Sikap ketakutan itu belakangan dikenal dengan sebutan islamofobia.
Sekitar 1000 jemaah muslim mengambil tempat solat Idul Adha di tengah pemukiman penduduk di RT 05/3 Kelurahan Penfui Kupang, Jumat (31/7/2020).
Ahmet juga memandang adanya konflik kekuasaan dalam konteks ikatan antara kelompok agama tertentu dengan negara. Kondisi itu berisiko memaksakan nilai kelompok tertentu dan mematikan nilai kelompok lainnya.
Guru Besar Islam dan Politik Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Noorhaidi Hasan menilai, konflik kekuasaan serupa juga terjadi pada Indonesia. Hal ini menandakan pemaksaan nilai kelompok tertentu dapat menciderai kebebasan berpendapat di alam demokrasi.
Noorhaidi mengutip Asef Bayat dalam Making Islam Democratic (2007), bahwa Islam berpotensi berjalan seiring dengan demokrasi. Kebebasan berpendapat itu, menurut dia, harus tetap dijaga.
Gagasan Ahmet mendapat dukungan pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi. Konflik kekuasaan di Indonesia, katanya, juga terjadi karena besarnya keterlibatan kelompok agama tertentu. Kelompok ini terus ada dan melanggengkan sistem yang telah berjalan. "Dukungan kelompok tertentu berkorelasi secara signifikan pada perilaku intoleransi. Hal ini juga terjadi di Indonesia," ujarnya.