Presiden Joko Widodo masih belum tuntas memilih calon pengganti Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis yang pensiun awal Februari nanti. Sejumlah kriteria disuarakan guna memastikan kinerja Polri ke depan lebih baik.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR/RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Awal Februari ini, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Idham Azis akan pensiun. Sebelum tiba waktu purnabakti, menjadi tugas Presiden Joko Widodo memilih penggantinya. Sejumlah nama calon Kapolri pun santer terdengar, tetapi keputusan akhir tetap ada di Presiden, tentu atas persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Lantas, seperti apa kriteria ideal untuk Kapolri berikutnya?
Mengacu Pasal 11 Ayat 6 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Polri, calon Kapolri adalah perwira tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. Jenjang kepangkatan dimaksud mengutamakan prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi di bawah Kapolri.
Dengan demikian, semua perwira tinggi Polri berpangkat komisaris jenderal (komjen) berpeluang dipilih Presiden sebagai calon Kapolri berikutnya.
Meski demikian, di antara sekian banyak komjen di Polri, empat di antaranya santer beredar belakangan, disebut berpeluang paling besar dipilih Presiden. Keempatnya adalah Wakil Kapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Boy Rafli Amar, dan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) Komjen Agus Andrianto.
Namun, apakah benar satu di antara keempat komjen itu yang akan dipilih Presiden? Hingga kini, masih teka-teki.
Presiden belum melayangkan surat berisi nama calon Kapolri pilihannya kepada DPR. ”Belum. Kami belum menerima surat presiden itu,” ujar Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Kamis (7/1/2021). Sebelum resmi dilantik oleh Presiden, Kapolri berikutnya harus terlebih dulu memperoleh persetujuan dari DPR.
Presiden pun dikabarkan masih belum tuntas memilah dan memilih sekalipun disebut telah mengerucut ke sejumlah nama komjen. Begitu pula Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) belum tuntas memberikan pertimbangan sejumlah nama calon Kapolri kepada Presiden seperti diamanatkan UU Polri.
”Kita tunggu saja bagaimana nanti output dari proses ini. Tetapi, saya pastikan pertimbangan oleh Presiden itu rasional, bukan pertimbangan politis,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk ”Teka Teki Kapolri Baru” yang disiarkan oleh Kompas TV, Rabu (6/1/2021) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu diikuti pula oleh sejumlah narasumber lain, yakni anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, serta pengamat politik dan keamanan dari Universitas Padjadjaran Muradi.
Kriteria calon Kapolri
Menurut Donny, kriteria calon Kapolri yang digunakan Presiden adalah kriteria yang masuk akal, seperti berintegritas, mengayomi, komunikatif, dan memiliki kapasitas untuk menegakkan hukum. Kapolri baru yang kelak dipilih juga sosok yang dinilai mampu meredam tudingan bahwa kepolisian melakukan kriminalisasi terhadap pihak tertentu.
Ia pun menyatakan, perwira tinggi yang nantinya diajukan Presiden sebagai Kapolri adalah sosok terbaik dari yang terbaik di Polri. Dengan demikian, Kapolri baru ke depan diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara menjaga keamanan dan ketertiban sekaligus mengawal proses demokrasi.
Menurut Usman, dibutuhkan Kapolri yang mampu membawa Polri sebagai alat negara yang netral terhadap kepentingan kekuasaan. Sebab, selama ini muncul kesan, Polri telah dipolitisasi oleh penguasa. Kesan itu timbul dari kedekatan Polri dengan Presiden. ”Untuk menyeimbangkan antara kepentingan menjaga stabilitas keamanan, menjaga kepentingan pemerintah, tetapi pada saat yang sama melindungi dan melayani masyarakat. Jadi, independensi Polri sebagai alat negara, bukan alat pemerintah,” ujarnya.
Penanganan unjuk rasa
Dalam beberapa peristiwa dua tahun terakhir, Usman menilai, kepolisian lebih berperan sebagai alat pemerintah. Ini dinilainya kentara saat penanganan unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Oktober 2020, ataupun saat menangani unjuk rasa menolak sejumlah rancangan UU bermasalah, salah satunya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, September 2019. Amnesty International Indonesia mencatat ada 400-an peristiwa kekerasan oleh polisi.
Selain itu, Usman tidak setuju jika jabatan sipil di kementerian dan lembaga diduduki oleh perwira polisi aktif. Selain akan mengganggu fungsi pembinaan karier di lembaga tersebut, pilihan kebijakan itu juga tak menjamin akan meningkatkan kinerja instansi.
Menurut Muradi, pemilihan Kapolri adalah sepenuhnya wewenang Presiden. Namun, berkaca pada kondisi yang ada saat ini, dibutuhkan sosok Kapolri yang juga berani untuk tampil di depan publik. Hal tersebut diperlukan selain untuk membangun persepsi publik, juga mengedukasi masyarakat.
”Saya berharap Kapolri baru tidak lagi membuat maklumat Kapolri karena dengan maklumat, orang tidak mendapatkan edukasi. Itu sebenarnya selesai dengan surat edaran atau telegram ke internal Polri. Sementara satu fungsi kepolisian adalah memberikan edukasi. Jadi, Kapolri memang harus banyak tampil dan menjelaskan ke publik,” kata Muradi.
Membaca visi Presiden
Selain itu, ia melanjutkan, dibutuhkan pula sosok Kapolri yang mampu mengatasi banyak pekerjaan rumah kepolisian. Hal lain yang tak kalah penting, dibutuhkan Kapolri yang mampu membaca visi Presiden.
”Kalau Presiden ingin nyaman, memang harus mendapat Kapolri yang bisa melakukan banyak hal. Artinya, tidak disibukkan pada hal-hal semisal internal. Jadi, internalnya nyaman, dekat dengan publik, dan mampu membaca visi Presiden. Saya kira itu yang akan membuat Presiden nyaman di sisa tiga tahun pemerintahannya. Kalau tidak didapatkan, tiga tahun itu tidak menjadi bonus politik, tetapi menjadi beban tersendiri,” katanya.
Nasir Djamil mengatakan, DPR hingga kini masih menanti usulan calon Kapolri dari Presiden. Dari pengalaman selama ini, Presiden selalu mengusulkan satu nama calon dan belum pernah ada nama calon Kapolri yang lantas ditolak oleh DPR.
”Saya kira tidak sulit bagi Presiden karena sudah punya pengalaman bagaimana mengganti Kapolri sebelumnya. Saya pribadi melihat, Presiden mau menggunakan model apa, apakah urut kacang atau melakukan lompatan,” kata Nasir.
Menurut Nasir, Presiden sebenarnya tidak memiliki beban dalam menentukan sosok yang tepat untuk menjadi Kapolri. Oleh karena itu, diharapkan Presiden memilih sosok Kapolri yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas serta bersandar pada hukum dan kepentingan masyarakat.