Ujian Berat Kontestasi Politik di Tengah Pandemi
Pilkada 2020 menjadi pilkada yang paling berat dalam sejarah penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia.
Menutup tahun 2020, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara di dunia yang tetap menggelar pemilihan di saat pandemi Covid-19 belum mereda. Terlepas dari pro dan kontra yang mengiringi perjalanan pemilihan kepala daerah di 270 daerah itu, ada beberapa hal yang bisa dipetik untuk jadi pembelajaran demokrasi elektoral di Indonesia.
Keputusan tetap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa pandemi Covid-19 diambil pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum di saat sebagian masyarakat meminta penundaan hingga pandemi berakhir.
Pihak yang menolak menilai pelaksanaan pilkada di masa pandemi membahayakan pemilih karena berpotensi meningkatkan risiko penularan Covid-19. Tingkat partisipasi pemilih juga dikhawatirkan menurun karena pemilih takut ke TPS. Di sisi lain, pemerintah meyakini pilkada mampu menggerakkan ekonomi daerah serta kandidat kepala daerah yang berkontestasi bisa menggencarkan sosialisasi pencegahan Covid-19.
Dalam perjalanan tahapan pilkada, tiga anggota KPU dinyatakan positif Covid-19, yakni Ketua KPU Arief Budiman serta dua anggota, yakni Pramono Ubaid Tanthowi dan Evi Novida Ginting. Mereka bisa pulih kembali. Penyelenggara di tingkat daerah juga ada yang terpapar, salah satunya Ketua KPU Kota Tangerang Selatan, Banten, Bambang Dwitoro yang meninggal dunia, Sabtu (12/12/2020).
Peserta juga tak luput dari paparan Covid-19. Lebih dari 70 calon kepala daerah terpapar, bahkan empat kandidat di antaranya meninggal. Mereka adalah Muharram (calon bupati Berau), Adi Darma (calon wali kota Bontang), Ibnu Saleh (calon petahana bupati Bangka Tengah), dan Malkan Amin (calon bupati Barru) yang meninggal tepat saat hari pemungutan suara 9 Desember.
Hingga lima hari seusai pemungutan suara, Senin (14/12), pemerintah meyakini tak ada kluster penularan dari aktivitas pilkada. ”Kami bersyukur berhasil mengatasi kekhawatiran dan kecemasan yang dulu muncul ketika pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan dalam suasana (pandemi) Covid-19. Waktu itu, ada banyak sekali usul kepada pemerintah agar pilkada ditunda, sampai kapan tidak tahu. Sebab, kalau pilkada tetap diadakan, katanya akan menjadi kluster Covid-19,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, semua saran ditampung. ”Hasilnya, kami buat protokol kesehatan ketat. Dan, alhamdulillah belum ada kasus kerumunan pilkada jadi kluster (penularan baru),” katanya.
Pilkada paling berat
Pilkada 2020 menjadi pilkada yang paling berat dalam sejarah penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia. Penyelenggara tidak hanya harus menjamin berjalannya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dengan partisipasi pemilih yang tinggi, sekaligus memastikan pemilih aman dari penularan Covid-19.
KPU mencoba menerapkan protokol kesehatan yang ketat saat tahap pemungutan dan penghitungan suara. Masyarakat dipaksa beradaptasi. Dalam hal kampanye, KPU membatasi peserta kampanye terbuka dan pertemuan terbatas maksimal 50 peserta. Rapat umum yang biasanya dihadiri ribuan peserta kali ini dilarang.
Selama kampanye masa pandemi, kandidat lebih sulit beradaptasi dengan kondisi normal baru. Hal itu terlihat dari tingginya kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas dibandingkan metode kampanye lain, seperti media sosial. Badan Pengawas Pemilu mencatat ada 124.086 kegiatan kampanye tatap muka. Sebanyak 2.584 di antaranya melanggar protokol kesehatan.
Saat pemungutan suara, ada 15 hal baru yang diterapkan di TPS, antara lain, penggunaan masker, sarung tangan, pemeriksaan suhu tubuh, serta membatasi jumlah pemilih maksimal 500 orang dalam satu TPS dari biasanya maksimal 800 orang. KPU juga mengatur jadwal kedatangan pemilih agar tidak terjadi penumpukan antrean di TPS.
Hasil pemonitoran oleh Satgas Covid-19, terkait kepatuhan protokol kesehatan saat pemungutan suara terhadap 227.492 orang di 34.014 lokasi tercatat, tingkat kepatuhan pemilih yang menggunakan masker mencapai 96,59 persen. Selain itu, tingkat kepatuhan pada jaga jarak 91,46 persen.
Tingkat partisipasi pemilih yang awalnya ditargetkan 77,5 persen diperkirakan tidak tercapai. Data sementara yang dihimpun KPU hingga 14 Desember menunjukkan, partisipasi pemilih mencapai 75,83 persen.
Baca juga: Pandemi Covid-19 yang Menguji Ketahanan dan Relevansi Demokrasi
Capaian sementara itu lebih tinggi dibandingkan partisipasi pilkada serentak yang telah dilaksanakan sebelumnya, yakni pada 2018 (73,2 persen), 2017 (74,5), dan pilkada 2015 (69,2). Dibandingkan partisipasi pemilih di negara lain, capaian Indonesia lebih tinggi. Di Amerika Serikat, partisipasi pemilih mencapai 66,7 persen, Korea Selatan 66,2 persen.
Meskipun demikian, pelaksanaan pilkada di masa pandemi tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Ketua KPU Arief Budiman mengungkapkan, problem klasik seperti kekurangpahaman penyelenggara dan pemilih terhadap aturan pemungutan suara serta keterlambatan penyaluran logistik masih terjadi. Bahkan pengadaan alat pelindung diri berupa pistol termometer dan sarung tangan lateks sempat terkendala karena perusahaan pemenang tender mundur di tengah jalan.
Masalah yang tidak kalah penting, menurut dia, adalah penyelesaian undang-undang yang terlalu dekat dengan dimulainya tahapan pilkada. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada yang mengatur soal pelaksanaan pilkada di masa pandemi baru diterbitkan awal Mei. Padahal ada sejumlah aturan turunan, Peraturan KPU, yang harus disesuaikan karena pilkada dilakukan pada masa pandemi.
”Sementara ada tahapan penyelesaian regulasi yang tidak sepenuhnya berada di tangan KPU, seperti harus melalui rapat konsultasi dengan pemerintah dan DPR serta harmonisasi peraturan,” kata Arief.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity sekaligus anggota KPU 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, seharusnya DPR dan pemerintah mengubah UU Pilkada menjadi penyelenggaraan pemilihan dalam masa pandemi. Tidak cukup dengan menambahkan syarat protokol kesehatan saja.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menuturkan, di tengah klaim pemerintah soal kesuksesan Pilkada 2020, sesungguhnya ada komitmen yang tidak utuh ditunjukkan pemerintah dan berdampak pada kerumitan kerja berlebih penyelenggara. Keinginan besar melanjutkan pilkada di masa pandemi tak didukung perubahan UU Pilkada. Akhirnya, penyesuaian berbagai aturan main mengandalkan akrobat penyelenggara pemilu.
Menurut dia, masyarakat Indonesia sejak lama menunjukkan loyalitas dan sikap kooperatif dalam menggunakan hak pilih, dalam pilkada ataupun pemilu. Sehingga kalaupun ada apresiasi atas pelaksanaan pilkada di masa pandemi, atribusi itu semestinya diberikan kepada para petugas lapangan dan juga pemilih yang mau berpartisipasi di tengah risiko yang mereka hadapi.
Pilkada di masa pandemi membuat perhatian utama publik terpusat pada kepatuhan terhadap protokol kesehatan, sebab keselamatan dan kesehatan warga negara merupakan hal utama. ”Hanya saja, kepedulian dan kekhawatiran pada keamanan pemilihan membuat terpinggirkannya isu integritas dan politik gagasan dari narasi utama publik,” ucap Titi.
Kalau menurut Anda bagaimana?