Jeritan Korban, Pintu Masuk Memutus Jeratan Penjahat Virtual
Suara korban kekerasan berbasis jender secara daring penting sebagai upaya memutus jeratan penjahat virtual yang bergentayangan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberpihakan pada korban kekerasan berbasis jender secara daring, disebut juga kekerasan berbasis gender online atau KBGO, merupakan pintu masuk untuk memutus jeratan pelaku. Caranya adalah dengan melihat dari sudut pandang korban supaya tidak menghakimi, memberikan ruang aman, mendampingi, dan merujuk ke lembaga-lembaga perlindungan sebagai upaya pemulihan serta kampanye sebagai mitigasi.
Modus KBGO kini memang makin canggih dalam menjerat perempuan seiring meningkatnya penggunaan gawai yang terhubung dengan jaringan internet. Umumnya kekerasan ini dilakukan melalui aplikasi media sosial yang sangat dekat dengan masyarakat, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, dan Tinder.
Bentuk-bentuk yang dilaporkan, antara lain, ialah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan daring (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), pengelabuan (phising), dan perekrutan daring (online recruitment).
Karena itu, Reni Kartikawati, peneliti Unit Kajian Gender dan Seksualitas Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik FISIP Universitas Indonesia, menyebutkan, kita perlu memahami fase-fase yang terjadi secara keseluruhan dan harus berperspektif pada perlindungan korban. Dengan demikian, hal itu dapat mencegah intimidasi berupa multiple victimization atau viktimisasi berganda yang dapat menyebabkan trauma sekunder.
”Perlu dipahami untuk dapat melihat dari sudut pandang korban (keberpihakan pada korban) dengan tidak menghakimi, memberikan ruang aman kepada korban, lalu mendampingi korban, hingga memberikan rujukan psikologis melalui lembaga-lembaga yang bergerak dalam isu perlindungan terhadap kasus kekerasan pada perempuan dan anak sebagai upaya pemulihan,” kata Reni, Minggu (13/12/2020).
Dalam kebanyakan kasus, korban terjerat pada perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas kejahatan yang dialaminya. Perasaan itu tidak jarang menimbulkan trauma psikologis yang dalam sehingga timbul keinginan bunuh diri, menarik diri dari lingkungan sosial karena takut hujatan, juga takut mengalami stigma negatif dari keluarga, teman, dan lingkungan sosialnya.
Lebih jauh lagi, ada potensi kehilangan penghasilan karena dikeluarkan dari lingkungan pekerjaan akibat cap negatif dan anggapan memalukan nama baik institusi. Akibatnya, korban tidak lagi berani mengakses layanan elektronik karena hilang kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital.
Reni menuturkan, upaya mitigasi sudah ada, salah satunya dalam buku panduan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) dan laman AwasKBGO!. Akan tetapi, ada sejumlah hal penting lain, seperti meyakinkan diri sendiri untuk tidak mudah percaya, tidak mudah terpengaruh pada ”romantisisme” relasi hubungan intim atau hubungan tidak sehat, dan tidak memberikan konten pribadi kepada pasangan dan orang lain.
Upaya lain ialah gerakan atau kampanye literasi digital, antipornografi, dan kerja sama lintas sektor (pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, penyedia jasa layanan digital, akademisi, dan media).
Selain itu, menilik kembali kebijakan hukum dan implementasinya di tingkat masyarakat. Tujuannya, masyarakat tahu ketentuan dan ancaman hukuman, memastikan produk hukum terhadap tata kelola penggunaan internet memasukkan dimensi pencegahan kekerasan terhadap perempuan, penanganan kasus dan pelaporan yang berpihak pada korban, serta layanan yang mudah diakses, aman, dan ramah.
Laporkan!
Polri lewat Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri (Dittipidsiber) menyediakan kanal Laporkan! di laman Patrolisiber.id. Kanal tersebut mengumpulkan berbagai informasi tentang kejahatan siber. Setiap orang yang mengetahui indikasi kejahatan siber bisa melaporkan ke kanal itu.
Kanal itu mengumpulkan informasi tentang pelaku kejahatan siber, seperti nama, nomor telepon, nomor rekening, akun media sosial, dan surel. Informasi yang terkumpul bisa diakses supaya tidak terjerat penjahat siber.
Namun, laporan lewat kanal Laporkan! tidak otomatis menjadi laporan polisi karena hanya berisi sebagian kecil dari informasi tentang kejahatan siber. Laporan polisi baru bisa terbit jika ada berbagai bukti pendukung yang sah dan kronologi kejadian yang lengkap.
Secara keseluruhan, ada 11.391 aduan warga lewat Patrolisiber.id dengan kerugian Rp 1,12 triliun. Penipuan (fraud) paling dominan dengan 6.699 aduan. Menyusul kemudian, antara lain, 1.394 aduan penghinaan atau pencemaran, 827 pengancaman, 644 pemerasan, 299 pornografi, 234 hoaks atau berita bohong, dan 710 lainnya. Media sosial, seperti Whatsapp, Instagram, dan Facebook, menjadi sumber kejahatan terbanyak.
Kejahatan siber telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian Pulau Jawa masuk dalam zona merah karena laporan yang masuk lebih dari 1.000. Laporan itu, antara lain, berasal dari Jawa Barat (2.341), Jakarta Raya (1.957), Jawa Timur (1.178), dan Banten (1.207).
”Kami terus mengakselerasi diri terhadap dunia siber meski kejahatan berkembang lebih pesat,” ucap Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Cyber Police Festival menyambut Hari Ulang Tahun Ke-74 Korps Bhayangkara.