Transparansi Kejaksaan Diperlukan untuk Bangun Kepercayaan Publik
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, yang ikut Rapat Kerja Kejaksaan secara virtual, Senin, mengatakan, pembenahan institusi kejaksaan mesti dengan membangun sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembenahan institusi kejaksaan mesti dilakukan dengan membangun sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Hal itu mendesak untuk dilakukan demi mendapatkan kembali kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan.
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak, yang turut mengikuti Rapat Kerja Kejaksaan RI Tahun 2020 secara virtual, Senin (14/12/2020), mengatakan, arahan yang disampaikan Presiden Joko Widodo sudah tepat. Sebab, itulah masalah yang selama ini mendera institusi kejaksaan.
”Jadi, tidak bisa lagi untuk tidak transparan karena ukurannya adalah kepercayaan publik atau public trust. Kita mengapresiasi apa yang disampaikan Presiden karena memang itulah inti masalah kejaksaan ini dan Presiden tahu betul letak masalahnya,” kata Barita.
Ketika memberikan arahan dalam Rapat Kerja Kejaksaan RI, Presiden mengingatkan agenda reformasi atau pembenahan internal kejaksaan dari hulu ke hilir agar segera dituntaskan. Kejaksaan juga didorong terus mengupayakan sistem kerja yang efisien dan transparan sekaligus meninggalkan cara manual yang lamban dan berpotensi menjadi ladang korupsi (Kompas.id, 14/12/2020).
Selain itu, Presiden juga mengingatkan komitmen kejaksaan dalam penuntasan masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Sebab, menurut Presiden, kejaksaan merupakan aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.
Menurut Barita, penekanan Presiden bahwa kejaksaan harus bersih berarti memerlukan peningkatan pengawasan dan penegakan disiplin secara internal. Komisi Kejaksaan (Komjak) sebagai pihak eksternal merasa sudah mulai ada geliat berupa semakin terbukanya kerja sama kejaksaan dengan Komjak, termasuk komitmen dari Jaksa Agung untuk membuka akses kepada Komjak.
Meski kewenangan penjatuhan disiplin merupakan ranah dari kejaksaan, sejauh ini Komjak telah menerima berbagai pengaduan dari masyarakat mengenai jaksa yang nakal. Laporan itu telah diteruskan kepada kejaksaan yang direspons dengan penjatuhan hukuman disiplin terhadap 130 pegawai kejaksaan.
Terlebih setelah kasus yang menyangkut jaksa terjadi baru-baru ini, lanjut Barita, kejaksaan mulai memperbaiki diri, terutama untuk transparansi. Komjak juga dilibatkan untuk membicarakan hal itu.
Dengan adanya dorongan publik, kemudian dibicarakan di internal kejaksaan, disadari betapa pentingnya akuntabilitas dan kerja pengawas eksternal yang terwujud, semisal laporan hasil pemeriksaan disampaikan kepada Komjak paling lambat 2 minggu. Jadi, pentingnya pengawasan bukan untuk Komjak, melainkan untuk public trust.
”Dengan adanya dorongan publik, kemudian dibicarakan di internal kejaksaan, disadari betapa pentingnya akuntabilitas dan kerja pengawas eksternal yang terwujud, semisal laporan hasil pemeriksaan disampaikan kepada Komjak paling lambat 2 minggu. Jadi, pentingnya pengawasan bukan untuk Komjak, melainkan untuk public trust,” papar Barita.
Demikian pula, lanjut Barita, dorongan Presiden agar kejaksaan segera menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu juga diapresiasi. Komjak merasa rekomendasi Komjak kepada Presiden didengarkan dan didukung.
Apresiasi Presiden
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin berpandangan, pihaknya mengapresiasi arahan Presiden Jokowi kepada Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Amiruddin juga mengapresiasi arahan Presiden kepada kejaksaan untuk segera bekerja sama dengan Komnas HAM.
”Dan, karena Presiden sudah menyampaikan itu secara terbuka, kami tinggal menunggu langkah Jaksa Agung dan kita berharap Jaksa Agung langsung bertindak,” kata Amiruddin.
Dan, karena Presiden sudah menyampaikan itu secara terbuka, kami tinggal menunggu langkah Jaksa Agung dan kita berharap Jaksa Agung langsung bertindak.
Amiruddin pun mengamini bahwa kunci dari penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah Jaksa Agung. Sebab, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia mengatur bahwa yang berwenang untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan penahanan adalah Jaksa Agung.
Menurut Amiruddin, kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang paling dekat untuk bisa dituntaskan adalah kasus Paniai. Berkas itu telah beberapa kali bolak-balik antara Komnas HAM dan kejaksaan. Menurut Amiruddin, saat ini berkas kasus itu berada di kejaksaan.