Ungkap Bentrokan FPI-Polisi, Polri Janji Bantu Komnas HAM
Polri berjanji terbuka terhadap lembaga lain, seperti Komnas HAM, yang hendak menyelidiki insiden bentrokan antara polisi dan FPI yang menewaskan enam anggota FPI. Polri siap memasok data yang dibutuhkan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Divisi Profesi dan Pengamanan Polri telah membentuk tim khusus untuk mendalami insiden bentrok antara anggota Front Pembela Islam dan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tim beranggotakan 30 orang tersebut akan mendalami kesesuaian tindakan anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam bentrokan dengan prosedur standar operasi Polri.
Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Rabu (9/12/2020), mengatakan, pihaknya telah membentuk tim khusus beranggotakan 30 orang untuk mendalami insiden bentrok anggota FPI dengan anggota Polda Metro Jaya. Tim tersebut dipimpin langsung oleh Kepala Biro Pengamanan Internal (Karopaminal) Brigadir Jenderal (Pol) Hendra Kurniawan.
”Tim propam ini nantinya akan memastikan apakah tindakan anggota Polda Metro Jaya sudah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri,” ujar Ferdy.
Menurut Ferdy, propam masuk dalam suatu penyelidikan untuk menjalankan fungsi penegakan disiplin dan fungsi pengawasan. Terkait kasus bentrok tersebut, pihaknya akan mendalami kesesuaian tindakan anggota Polda Metro Jaya dengan prosedur standar operasi Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono menambahkan, Polri akan terbuka terhadap adanya investigasi atas kasus bentrok tersebut dari lembaga eksternal, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
”Ya, enggak apa-apa, itu bentuk pengawasan eksternal. Nanti kami akan membantu terkait data apa saja yang dibutuhkan,” kata Awi.
Menurut dia, kepolisian akan selalu transparan sebagaimana sudah diterapkan selama ini. Terkait kasus penembakan ini, kepolisian juga tengah melakukan audit internal.
Banyak kejanggalan
Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar penyelidikan terkait penembakan terhadap enam warga negara yang disebut anggota FPI ini dilakukan dengan serius, transparan, dan akuntabel. Sebab, penggunaan senjata api oleh petugas merupakan upaya paling akhir dan bertujuan melumpuhkan, bukan mematikan.
Koalisi masyarakat terdiri atas berbagai lembaga, yakni YLBHI, LBH Jakarta, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LEIP, Kontras, Setara Institute, PSHK, Elsam, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers.
Transparansi dan akuntabilitas penting karena koalisi menganggap terdapat kejanggalan, antara lain alasan penembakan yang bersifat umum, yaitu ”karena ada penyerangan dari anggota FPI”. Menurut koalisi, jika memang ada senjata api dari pihak FPI, mestinya cukup dilumpuhkan saja.
”Koalisi menilai, ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara,” kata pengacara Publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, yang mewakili koalisi.
Menurut koalisi, kronologi yang bertolak belakang antara kepolisian dan FPI juga memunculkan tanda tanya. Selain itu, penggunaan senjata api seharusnya merupakan upaya terakhir yang bersifat melumpuhkan. Itu pun hanya dapat dilakukan ketika seorang anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang masuk akal untuk menghentikan tindakan atau perbuatan pelaku kejahatan.
”Oleh karena itu, koalisi mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut serta membuka fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut,” demikian dikutip dari pernyataan koalisi.
Desakan pembentukan tim independen juga disuarakan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. ”Kami mendesak kepada Presiden dan Kapolri untuk membentuk tim independen untuk mengungkap kasus ini. Negara juga harus menjamin agar kejadian seperti ini jangan sampai terulang lagi,” kata Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas.
Ia melanjutkan, pembentukan tim independen penting sebagai bentuk pengawasan dalam negara demokrasi. Selain penyelidikan yang dilakukan oleh polisi, tim independen juga bisa mengkaji fakta secara obyektif. ”Peristiwa ini harus diungkap secara tuntas. Jangan sampai ada upaya untuk menutupi kasus,” katanya.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo menambahkan, tim forensik independen juga dibutuhkan untuk proses otopsi enam anggota FPI yang meninggal dalam bentrokan. Tim forensik independen itu diharapkan dapat mengungkap sebab kematian dan waktu kematian korban secara ilmiah.
”Pengungkapan kasus perlu dilakukan oleh Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), IDI (Ikatan Dokter Indonesia), atau tim independen yang dibentuk oleh Presiden untuk mengungkap secara jelas bagaimana duduk perkara kejadiannya,” pungkas Trisno.