Pandemi Covid-19 memaksa pelaksanaan pilkada kali ini banyak menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Kekhawatiran atas pandemi berpotensi memengaruhi antusiasme pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.
Oleh
Yohan Wahyu/ Litbang Kompas
·6 menit baca
Tingkat partisipasi pemilih menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. Jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara umumnya menjadi salah satu indikator kesuksesan pemilu. Bagaimanapun, partisipasi adalah pilar penting bagi demokrasi. Namun, jika melihat rekam jejak pilkada serentak yang sudah digelar lima tahun terakhir ini, tidak mudah bagi penyelenggara untuk memenuhi target partisipasi pemilih.
Jika merujuk pengalaman tiga gelombang pilkada serentak sebelumnya, memang partisipasi pemilih di pilkada cenderung lebih rendah dari target Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mencapai 77,5 persen. Di pilkada serentak pertama 2015, rata-rata tingkat partisipasi pemilih mencapai 69,2 persen. Persentase ini meningkat di pilkada serentak 2017 dan 2018 yang berada di atas 70 persen, tetapi masih belum memenuhi target angka partisipasi yang ditetapkan.
Tampaknya juga menjadi lebih sulit mencapai target itu di Pilkada 2020. Hal ini tidak terlepas dari masa pandemi Covid-19 yang sudah berjalan dalam sepuluh bulan terakhir ini. Sejumlah jajak pendapat Kompas terkait isu pilkada dan pandemi memberikan sinyal adanya kekhawatiran yang besar dari publik pada pelaksanaan pilkada yang digelar di tengah masih tingginya potensi penularan Covid-19.
Tentu kekhawatiran ini wajar mengingat angka kasus penularan Covid-19 sampai menjelang pilkada hari ini belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bahkan, di pekan terakhir ini sempat ada lonjakan jumlah kasus yang cukup signifikan. Kondisi ini sebenarnya sudah dikhawatirkan oleh publik yang terbaca dalam jajak pendapat Kompas.
Kekhawatiran ini pada akhirnya juga berkorelasi pada menurunnya minat pemilih untuk menggunakan hak suaranya di pilkada. Setidaknya sinyal potensi penurunan partisipasi pemilih ini juga terbaca di jajak pendapat Kompas pada awal Juni lalu. Ada sekitar 28,1 persen responden yang menyatakan tak bersedia mencoblos jika pilkada dilakukan di tengah pandemi.
Tarik dan tolak
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro, Semarang, Nur Hidayat Sardini, menjelaskan, ketertarikan orang untuk hadir dan memberikan suaranya di TPS paling tidak dilatarbelakangi dua faktor utama, yakni adanya daya tarik dan daya tolak.
Daya tarik terkait dengan sikap seseorang yang memberikan suaranya karena adanya motivasi. Contohnya, di Pemilihan Presiden 2019, gairah pemilih menggunakan hak pilihnya cukup tinggi. Kondisi masyarakat yang terbelah dalam dua arus besar yang bersifat ”ideologis” menarik orang untuk menggunakan hak pilihnya. Jadi, pemilih tertarik menggunakan hak pilih untuk melawan calon yang tak diinginkannya menang.
”Mereka khawatir jika paslon X yang menang, corak pemerintahan Indonesia akan dibawa ke arah sesuai citra ideologis politik paslon X, demikian sebaliknya,” ujar Nur Hidayat Sardini.
Maka, tidak heran jika kemudian tingkat partisipasi Pemilu 2019 tercatat cukup tinggi, yakni 81 persen, meningkat dibandingkan Pemilu 2014 yang tercatat 75 persen. Tentu, daya tarik ini juga terkait dengan ketertarikan pemilih kepada figur pasangan calon yang menjadi magnet. Di pilkada ini akan diuji, apakah figur pasangan calon yang ada memiliki daya tarik yang bisa menumbuhkan gairah pemilih menggunakan hak pilihnya.
Faktor kedua adalah daya tolak. Faktor ini terkait situasi yang membuat orang kecewa dan takut untuk menggunakan hak pilihnya. Menurut Sardini, pandemi masuk kategori daya tolak ini. ”Pandemi memiliki derajat paling tinggi yang jadi pertimbangan pemilih untuk tidak hadir dan memberikan suara di TPS,” ujarnya.
Jika mengacu daya tarik dan daya tolak ini, ada kecenderungan pilkada tahun ini menghadapi ujian yang tidak ringan. Ada kecenderungan daya tarik pilkada tahun ini kurang kuat di mata pemilih. Antusiasme pilkada serentak tahun ini tidak seperti antusiasme pemilih saat Pilpres 2019.
Apalagi, ada gejala pemilih kurang mengikuti agenda kampanye pilkada sepanjang 26 September hingga 5 Desember. Hal ini terungkap dalam jajak pendapat Kompas yang merekam 68,9 persen responden sama sekali tak mengikuti kegiatan kampanye, baik pertemuan tatap muka maupun daring (Kompas, 30/11/2020).
Sementara itu, ada kecenderungan daya tolak pilkada justru mengemuka dengan masih munculnya kekhawatiran publik atas pandemi ini. Sejumlah kasus penyelenggara pemilu, baik KPU di daerah maupun Bawaslu, yang positif Covid-19 semakin menambah kekhawatiran publik. Bahkan, sejumlah kasus baru terjadi di hari-hari menjelang pemungutan suara.
Hal ini ditambah lagi selama masa kampanye pelanggaran protokol kesehatan cukup marak. Hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilihan Umum menunjukkan, pada 10 hari pertama masa kampanye pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye mencapai 237 kasus. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat di 10 hari terakhir masa kampanye yang mencapai 458 kasus.
Partisipasi menurun
Kecenderungan lemahnya daya tarik dan tingginya daya tolak pada akhirnya memang berpotensi menurunkan angka partisipasi pemilih. Jika mengacu pengalaman sejumlah negara lain yang menggelar pemilihan umum saat pandemi, sebagian besar memang mengalami penurunan partisipasi pemilih. Data yang dihimpun The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) mengonfirmasi penurunan tersebut.
Beberapa negara yang menggelar pemilu saat pandemi, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif, mengalami penurunan partisipasi pemilih dibandingkan pemilu yang digelar sebelumnya. Di Iran, misalnya, di pemilu legislatifnya yang digelar pada Februari mencatat partisipasi pemilih di angka 42,32 persen atau menurun 17,7 persen dibandingkan Pemilu 2016.
Hal yang sama juga terjadi di pemilihan presiden Moldova yang hanya diikuti 48,54 persen pemilih. Penurunan tajam juga dialami Tanzania yang partisipasinya turun 16,6 persen di pemilihan presiden tahun ini dibandingkan pemilihan lima tahun lalu.
Meskipun demikian, masih ada sejumlah negara yang justru tingkat partisipasi pemilihnya naik saat pandemi. Dua di antaranya adalah Korea Selatan dan Polandia. Pemilu legislatif Korea Selatan mencatatkan angka partisipasi 66,21 persen. Angka ini naik 8,18 persen dibandingkan pemilu sebelumnya di 2016. Sementara di pilpres Polandia partisipasi pemilih mencapai 68,18 persen atau melonjak 12,8 persen dibandingkan dengan pilpres 2015.
Pengalaman Korea Selatan dan Polandia yang sukses menggelar pemilu saat pandemi dengan kenaikan angka partisipasi ini bisa menjadi rujukan bahwa tidak selamanya pandemi menghambat partisipasi pemilih. Salah satu faktor yang membuat kesuksesan keduanya juga tidak lepas dari kondisi kurva kasus Covid-19 yang melandai saat pelaksanaan pemilu. Tentu kondisi ini bisa jauh berbeda dengan Indonesia yang tren kasus Covid-19-nya belum menunjukkan tanda-tanda melandai, setidaknya mendekati pemungutan suara pilkada.
Pada akhirnya, pilkada hari ini akan menguji apakah daya tarik atau daya tolak yang dominan memengaruhi pemilih. Jika daya tarik lebih dominan dibanding daya tolak, peluang munculnya partisipasi pemilih yang lebih tinggi terbuka lebar. Hal ini juga dipengaruhi kondisi yang berbeda-beda di tiap daerah, misalnya terkait daya tarik pasangan calon.
Sebaliknya, jika daya tolak lebih berperan, angka partisipasi pemilih berpeluang akan turun. Tentunya hal ini juga dipengaruhi kondisi kasus positif Covid-19 dan tingkat kedisiplinan terhadap protokol kesehatan di daerah.
Kita tunggu saja faktor mana nanti yang akan lebih dominan di hari pemungutan suara 9 Desember 2020.