Seusai Pilkada 2020, potensi munculnya kerumunan diprediksi masih akan terjadi seperti saat perhitungan dan pengumuman pemenang, selain libur Natal dan Tahun Baru 2021. Kepala daerah diingatkan agar tetap tidak lengah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / IQBAL BASYARI / AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi munculnya kerumunan diprediksi masih akan terjadi seusai gelaran Pemilihan Kepala Daerah 2020, seperti di libur Natal dan Tahun Baru 2021. Karena itu, pemerintah daerah diminta tidak lengah dan tetap waspada mencegah potensi kerumunan di wilayahnya.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo dalam Monitoring Pelaksanaan Pilkada 2020 di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, Rabu (9/12/2020), mengatakan, selepas pilkada, pemerintah daerah masih dihadapkan pada sejumlah agenda nasional yang berpotensi meningkatkan kasus aktif Covid-19.
Agenda yang dimaksud misalnya tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara sampai proses penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi yang terjadwal sampai 26 Desember 2020. Selain itu, dua agenda lain yang patut diantisipasi agar tak muncul kerumunan adalah libur Natal dan Tahun Baru 2021.
”Kemungkinan-kemungkinan terjadinya kerumunan tetap ada. Oleh karena itu, kami meminta semua pimpinan di daerah untuk betul-betul bekerja keras, diharapkan tidak kendor, tidak berhenti sampai dengan sekarang, tetapi tetap mata memandang, melihat perkembangan kasus aktif di wilayahnya,” tutur Doni.
Kemungkinan-kemungkinan terjadinya kerumunan tetap ada. Oleh karena itu, kami meminta semua pimpinan di daerah untuk betul-betul bekerja keras, diharapkan tidak kendor, tidak berhenti sampai dengan sekarang, tetapi tetap mata memandang, melihat perkembangan kasus aktif di wilayahnya.
Doni meminta kepada pemda agar terus berkoordinasi dengan aparat keamanan setempat untuk tegas menindak pelanggar protokol kesehatan di wilayah masing-masing. Ia pun berharap upaya pencegahan dikedepankan.
”Jangan sampai terjadi kerumunan baru dibubarkan. Sekali lagi, pendeteksian dengan seluruh perangkat yang ada, baik secara fisik maupun visual, dengan menggunakan teknologi diharapkan bisa mampu mengurangi kerumunan,” kata Doni.
Kemungkinan lonjakan kasus
Secara terpisah, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Hariadi Wibisono menuturkan, salah satu faktor risiko penularan Covid-19 adalah kerumunan. Kerumunan yang disebabkan apa pun dan kapan pun akan meningkatkan risiko penularan, termasuk saat Pilkada 2020.
”Apalagi, banyak pasien Covid-19 yang tidak memiliki gejala sehingga rawan penularan saat berkerumun,” ujar Hariadi.
Oleh sebab itu, lanjut Hariadi, pemda harus mengantisipasi jika terjadi lonjakan kasus. Beberapa langkah yang harus dilakukan antara lain meningkatkan kemampuan tes, pelacakan kontak diintensifkan, dan menyiapkan rumah sakit atau tempat isolasi untuk mengantisipasi pasien Covid-19.
Senior Manager Program International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Adhy Aman sependapat, pemda harus mengantisipasi lonjakan kasus yang muncul akibat pemilu. Hal itu terjadi di beberapa negara lain, misalnya Myanmar.
Pemda harus mengantisipasi lonjakan kasus yang muncul akibat pemilu. Hal itu terjadi di beberapa negara lain, misalnya Myanmar.
Myanmar menggelar pemilu pada 8 November 2020. Kemudian, pada 10 November, kasus aktif mulai meningkat meskipun protokol kesehatan sudah ditaati saat pemilu digelar.
Fenomena serupa terjadi di Sabah, Malaysia. Sejak Juli 2020, jumlah kasus baru tercatat kurang dari 50 kasus per hari. Namun, angkanya mulai meningkat pada September 2020 hingga mencapai kisaran 200-300 kasus per hari.
Lonjakan ini terjadi karena munculnya beberapa kluster penularan baru, salah satunya pemilu di Negara Bagian Sabah pada 26 September lalu. Bahkan, Malaysia sampai kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar karena jumlah infeksi Covid-19 terus melonjak.
”Kemungkinan ada kaitan dari segi kurva kasus baru memang sedang menanjak. Pemilu tak bantu meredam, tetapi memperburuk,” ujar Adhy.
Menurut Adhy, di situasi pandemi, ada dua variabel yang menjadi patokan ketika suatu negara disebut sukses dalam menyelenggarakan pemilu, yakni peningkatan partisipasi pemilih dan tidak terjadi lonjakan kasus aktif Covid-19.
”Yang biasanya, kan, partisipasi, tetapi di masa pandemi ini ada taruhan nyawa. Jadi, mesti dua-duanya yang menjadi patokan,” ujar Adhy.
Ia menambahkan, pengukuran tingkat partisipasi pun lebih mudah karena indikatornya hanya satu, yakni jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Namun, pengukuran dampak penularan Covid-19 lebih sulit karena tak cukup hanya dilihat satu indikator saja, seperti peningkatan kasus. Namun, pengukuran dampak penularan juga harus dilihat sejauh mana tes merata dilakukan di seluruh daerah.
Karena, kan, kalau orang tidak dites, ya tidak bisa kelihatan dia positif atau negatif terpapar virus. Belum lagi, kenapa jumlah tes rendah, ya bisa jadi karena keterbatasan peralatan atau keterbatasan sumber daya manusia. Jadi, lebih rumit untuk mengukur variabel yang kedua itu.
”Karena, kan, kalau orang tidak dites, ya tidak bisa kelihatan dia positif atau negatif terpapar virus. Belum lagi, kenapa jumlah tes rendah, ya bisa jadi karena keterbatasan peralatan atau keterbatasan sumber daya manusia. Jadi, lebih rumit untuk mengukur variabel yang kedua itu,” ucap Adhy.
Sementara itu, Wali Kota Depok Mohammad Idris mengatakan, pihaknya telah diminta oleh Ketua Satgas Covid-19 dan Gubernur Jawa Barat untuk mengantisipasi lonjakan kasus. Karena itu, salah satu upayanya, ia akan terus meningkatkan kapasitas tempat tidur dan ruang isolasi.
Upaya lain, lanjut Idris, pemda akan terus bekerja sama dengan TNI-Polri dalam menjaga kedisiplinan warga Depok. ”Mudah-mudahan tidak terjadi kluster pilkada. Upaya dan antisipasi sudah kami lakukan untuk meminimalkan penularan dan tidak adanya kluster pilkada,” ucap Idris.