Sofyan Djalil: Negara Tidak Boleh Kalah Melawan Mafia Tanah
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil menegaskan tekad pemerintah melalui UU Cipta Kerja untuk memudahkan pengelolaan dan izin tanah untuk investasi. Negara, menurut dia, tidak boleh kalah melawan mafia tanah.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil menegaskan, negara tidak boleh kalah melawan mafia tanah. Keberadaan Bank Tanah seperti diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diklaim dapat memutus rantai mafia tanah.
Di sisi lain, konsep Bank Tanah masih menuai pro dan kontra. Kalangan masyarakat sipil yang bergerak dalam isu-isu agraria dan pertanahan menilai Bank Tanah tidak sejalan dengan semangat reforma agraria.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Selasa (8/12/2020), di Jakarta, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil menegaskan tekad pemerintah melalui UU Cipta Kerja untuk memudahkan pengelolaan dan pengurusan izin tanah untuk kepentingan investasi. Selama ini, investor yang ingin membuka usahanya kesulitan dalam pengadaan tanah. Bahkan, tidak jarang ketika izin lokasi sudah diperoleh, usaha itu tidak kunjung dapat diwujdukan karena ada mafia tanah yang bermain.
”Jadi, misalnya, ada orang yang dulu membeli tanah di kawasan industri harganya cuma Rp 50.000. Lalu ada orang yang telah mendapatkan izin lokasi ke situ, dijuallah tanah itu Rp 5 juta. Jadi kondisi yang semacam itu tak dimungkinkan lagi dengan adanya UU Cipta Kerja. UU ini mencegah spekulasi di bidang pertanahan,” tuturnya.
Sofyan menegaskan, negara tidak boleh kalah melawan mafia tanah. Keberadaaan Bank Tanah yang diatur di dalam UU Cipta Kerja memungkinkan pengelolaan tanah-tanah telantar untuk kepentingan umum, sosial, ekonomi, dan reforma agraria. ”Ini semua akan kami perbaiki. Negara tidak boleh kalah melawan mafia tanah,” ujarnya.
Terkait dengan Bank Tanah, Sofyan mengatakan, badan itu adalah milik negara. ”Karena ini merupakan badan milik negara yang mengakumulasi dan menggunakan tanah negara yang telantar, atau tanah dengan HGU (hak guna usaha) yang sudah tidak diperbarui, dan daripada tanah itu dibiarkan, maka diambil oleh negara untuk kepentingan umum, sosial, ekonomi, dan reforma agraria,” katanya.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mendorong pemerintah untuk mengikis ketimpangan-ketimpangan sumber agraria dan menyelesaikan konflik agraria sebagaimana klaim pemerintah.
Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Mohamad Muraz, mempertanyakan pembentukan Bank Tanah tersebut. Sebab, perannya sebenarnya dapat saja dilakukan oleh BPN. Alih-alih mengoptimalkan BPN, pemerintah membentuk Bank Tanah.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, keberadaan Bank Tanah sudah sejak lama diusulkan pemerintah. Lembaga yang sama juga disebutkan di Rancangan Undang-undang Pertanahan. Namun, lembaga itu dikritisi karena dikhawatirkan justru menjauhkan dari cita-cita reforma agraria.
Menurut dia, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tanah Terlantar, tanah-tanah yang telantar sepenuhnya digunakan untuk reforma agraria. Namun, menurut dia, dengan adanya Bank Tanah, kepentingannya tidak hanya untuk reforma agraria, tetapi dapat juga digunakan untuk kepentingan investasi dan ekonomi.
”Hal ini tentu semakin jauh dari tujuan dan semangat reforma agraria. Bahkan, Bank Tanah berpotensi menjadi spekulan versi pemerintah karena lembaga ini memiliki kewenangan yang sangat besar, mulai dari mengonsolidasi tanah hingga mengeluarkan izin HGU,” kata Dewi.