Pembubaran Lembaga Nonstruktural Masih Bisa Berlanjut
Sebanyak 10 lembaga nonstruktural dibubarkan Presiden Joko Widodo, sehingga total 37 lembaga sudah dibubarkan sejak awal pemerintahan Jokowi. Langkah pembubaran lembaga ini masih bisa berlanjut.
Oleh
Suhartono/FX Laksana AS/Iqbal Basyari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Upaya pemerintah merampingkan birokrasi berlanjut dengan pembubaran 10 lembaga nonstruktural. Dengan pembubaran ini, berarti total sudah 37 lembaga nonstruktural yang dibubarkan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Langkah pembubaran pun berpotensi dilanjutkan demi menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien. Reformasi struktural, menurut Presiden, sudah tak bisa ditunda lagi.
Pembubaran 10 lembaga nonstruktural (LNS) itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Jokowi, Kamis (26/11/2020).
Kesepuluh lembaga itu meliputi Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura, Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan, dan Komisi Pengawas Haji Indonesia. Selain itu, Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Badan Pertimbangan Telekomunikasi, Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Olahraga Profesional Indonesia, dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Dengan pembubaran 10 LNS ini, berarti total sudah sebanyak 37 LNS yang dibubarkan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2014. LNS yang dibubarkan tersebut adalah LNS yang dibentuk dengan payung hukum peraturan presiden, keputusan presiden, dan peraturan pemerintah. Di luar LNS yang dibentuk dengan payung hukum tersebut, ada setidaknya 71 LNS yang dibentuk dengan dasar undang-undang. Khusus untuk ini, belum ada yang dibubarkan. Mekanisme pembubaran harus dengan merevisi undang-undang pembentukan LNS sehingga dibutuhkan persetujuan DPR.
Presiden Jokowi dalam pidatonya saat puncak peringatan Hari Ulang Tahun Ke-49 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Minggu (29/11), mengatakan, reformasi struktural tidak bisa ditunda lagi. Salah satunya, kelembagaan pemerintahan yang gemuk, tumpang tindih, dan tidak efisien harus segera diintegrasikan.
Percepatan reformasi struktural itu, ditekankan Presiden, harus pula dibarengi dengan percepatan reformasi birokrasi. Untuk ini, transformasi digital dalam kerja-kerja birokrasi harus dipercepat.
Debirokratisasi
Menteri Sekretaris Negara Pratikno saat dihubungi Kompas mengatakan, pembubaran 10 LNS bagian dari langkah besar pemerintah untuk melakukan reformasi struktural. Reformasi ditempuh dengan deregulasi dan debirokratisasi seperti yang sudah dimulai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Semangatnya Presiden adalah reformasi struktural untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Deregulasi dan debirokratisasi di antaranya dengan pemangkasan dan penyederhanaan lembaga dan birokrasi agar tidak terjadi tumpang tindih sehingga setiap lembaga dan prosedur dapat lebih efisien dan efektif. Sejauh tidak relevan dan tumpang tindih, Presiden bisa membubarkan lagi dan membentuk lembaga baru untuk merespon perubahan yang terjadi di tengah perkembangan teknologi dan digitalisasi," ujar Pratikno.
Menurut dia, di tengah kompetisi di antara negara-negara yang kian ketat, langkah besar pemerintah tersebut akan terus berlanjut. Sebab, untuk memenangkan kompetisi, dibutuhkan kecepatan, ketepatan dan efisiensi.
"Inilah kunci untuk memenangkan global competition yang sekarang ini terjadi. Kalau negara-negara lain sudah baik, maka Indonesia Maju harus lebih baik lagi dari negara-negara di dunia," tambahnya.
Dihubungi terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumulo mengatakan, pembubaran LNS juga untuk mengefisienkan anggaran negara.
"Pembubaran lembaga karena adanya keterkaitan tugas dan fungsi dengan kementerian dan lembaga (K/L) lainnya. Lalu, mengurangi pemborosan kewenangan dan efisiensi APBN, dan menyederhakan birokrasi untuk mempercepat proses pengambilan keputusan," kata Tjahjo.
Jembatan publik
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, menilai tepat langkah pemerintah yang terus mengkaji keberadaan LNS. Jika LNS tak lagi dibutuhkan atau bahkan membuat kerja birokrasi menjadi tidak efektif dan tidak efisien, LNS tersebut memang harus dibubarkan atau diintegrasikan ke kementerian/lembaga yang ada.
”Indikator efektif salah satunya adalah mampu menjembatani kepentingan publik dengan pemerintah,” katanya.
Pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Agustinus Subarsono, pun menilai tepat kebijakan pemerintah itu. ”Dari sudut keuangan negara, ini merupakan penghematan. Dari sudut pemberdayaan kementerian, kementerian yang diberi tugas pelimpahan akan terjadi pemberdayaan karena harus melakukan pekerjaan yang tadinya tidak dilakukan sepenuhnya,” ujarnya.
Adapun Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi menilai, langkah pemerintah memberikan sinyal bahwa pemerintah ingin melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien dan efektif. Ini sejalan dengan harapan masyarakat, termasuk kalangan dunia usaha.