Kebutuhan akan perlindungan terhadap pembela HAM, khususnya perempuan, sudah sangat mendesak . Pasalnya, mereka sering kali mendapat ancaman kekerasan dan kriminalisasi. Pemerintah dan DPR diminta memerhatikan hal ini
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan jaminan perlindungan bagi pembela Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pembela HAM, terutama perempuan, rentan menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi saat menjalankan tugasnya.
Desakan tersebut digaungkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Imparsial, Elsam, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Kalyanamitra, Yayasan Peduli Sindroma Down (Yapesdi), Migrant Care, LBH Apik, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Solidaritas Perempuan.
Langkah yang ditempuh yaitu dengan membentuk sistem perlindungan bagi pembela HAM, khususnya juga membentuk sistem perlindungan khusus terhadap perempuan pembela HAM melalui koordinasi yang efektif antarlembaga
Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, Koalisi Pembela HAM mendesak Pemerintah dan DPR memberikan jaminan perlindungan bagi pembela HAM di Indonesia. Langkah yang ditempuh yaitu dengan membentuk sistem perlindungan bagi pembela HAM, khususnya juga membentuk sistem perlindungan khusus terhadap perempuan pembela HAM melalui koordinasi yang efektif antarlembaga.
“Salah satunya dengan memperkuat klausul perlindungan terhadap pembela HAM dalam revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” kata Ardi dalam webinar bertajuk “Orasi Tokoh dan Media Briefing Hari Perempuan Pembela HAM Internasional”, Minggu (29/11/2020).
Koalisi Pembela HAM juga meminta agar Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Regulasi ini diharapkan memberikan jaminan normatif perlindungan perempuan dari berbagai bentuk ancaman kekerasan yang didasarkan pada identitas perempuan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga didesak untuk membangun mekanisme perlindungan pembela HAM yang berperspektif gender. Selain itu, mereka meminta agar mempromosikan isu pembela HAM perempuan di tingkat lokal dan nasional dengan memberikan edukasi kepada berbagai pihak terkait isu gender.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga didesak untuk membangun mekanisme perlindungan pembela HAM yang berperspektif gender
Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, sepanjang melakukan pembelaan HAM, ia mengaku sering mendapat ancaman kekerasan dan menjadi korban kriminalisasi yang merugikan para pembela HAM. Ironisnya, belum ada mekanisme untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
“Indonesia sudah sangat darurat untuk membuat regulasi untuk pembela HAM, minimal dengan melakukan revisi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” katanya.
Ancaman juga sering kali diterima Direktur LBH Apik Siti Zuma saat mendampingi perempuan korban kekerasan. Sejak awal 2020 hingga saat ini, setidaknya ada tiga kali ancaman kekerasan yang dialami. Ancaman kekerasan dilakukan oleh kelompok preman, bahkan dari keluarga korban kekerasan seksual yang didampingi.
Ia berharap agar ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap perempuan pendamping HAM. Regulasi itu diyakini bisa membuat mereka bekerja lebih maksimal dalam memperjuangkan keadilan.
“Bekerja di tengah ancaman itu tidak nyaman. Jika ada ancaman, konsentrasi menjadi terbelah,” ucap Siti.
Perempuan pembela HAM seringkali tidak peduli terhadap kebutuhan diri sendiri dan cenderung mendahulukan kebutuhan orang lain
Co-Founder Yapesdi Dewi Tjakrawinata menuturkan, perempuan pembela HAM seringkali tidak peduli terhadap kebutuhan diri sendiri dan cenderung mendahulukan kebutuhan orang lain. Dalam hal kesehatan, misalnya, ada perempuan pembela HAM yang meninggal akibat sakit dan kurang mendapatkan pertolongan yang memadai. Ia juga mendorong perempuan pembela HAM untuk bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk meningkatkan jaminan kesehatannya.
“Ada anggapan bahwa perempuan yang dibela lebih sengsara sehingga mengabaikan kebutuhannya sendiri,” katanya.
Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo, mengatakan, perempuan pembela HAM harus dilihat berdasarkan kompetensi dan karya, bukan atas dasar belas kasihan. Sebab sikap meremahkan dan merendahkan bisa terjadi kepada perempuan pembela HAM.
“Di Papua, tekanan terhadap perempuan pembela HAM tidak hanya berasal dari keluarga inti, tetapi juga dari keluarga besar,” ucapnya.