Menyerang pembela HAM berarti menyerang demokrasi. Tanpa pembela HAM, demokrasi tidak akan berjalan maksimal. Tanpa pembela HAM, maka perwujudan tata kelola negara maupun penegakan hukum akan sulit berjalan dengan baik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Melindungi pembela hak asasi manusia atau HAM dari intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan berarti turut menjaga ruang kebebasan bagi masyarakat dan tegaknya demokrasi. Namun, di Indonesia yang menganut prinsip demokrasi, indimidasi terhadap pembela HAM masih terjadi.
Hal itu terungkap di dalam diskusi daring bertema “Penegakan HAM: Darurat Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Pembela HAM?” yang diselenggarakan Imparsial, Jumat (5/6/2020).
Panelis dalam diskusi daring itu ialah Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam, Direktur Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) Damairia Pakpahan, dan Direktur Imparsial Al Araf.
Damairia mengatakan, dari catatannya, pada 2019 ada 3 aktivis atau pembela HAM di sektor atau isu lingkungan hidup yang meninggal dunia. Sementara itu, satu orang aktivis lainnya mengalami percobaan pembunuhan. Demikian pula pada peristiwa gelombang unjuk rasa antara 23-26 September 2019, lima orang meninggal, yakni 3 orang di Jakarta dan 2 orang di Kendari.
Pada masa pandemi Covid-19, Damairia melanjutkan, situasi kebebasan berekspresi tidak kunjung membaik. Pada 21 Maret 2020, terdapat 2 petani meninggal di Sumatera Selatan karena berkonflik dengan perusahaan. Demikian pula warga penolakan warga Tumpang Pitu, Banyuwangi, yang menolak tambang emas kemudian dibubarkan dengan paksa oleh kepolisian.
Yang belum lama terjadi, kata dia, adalah kasus dapur darurat di Yogyakarta yang didatangi petugas kepolisian. Kemudian terjadi ancaman, teror, dan intimidasi terhadap calon pembicara dan penyelenggara diskusi ilmiah di Yogyakarta.
“Jadi kasus yang terjadi tidak hanya dialami aktivis, tetapi juga terjadi pada konteks komunitas. Pembela HAM di tingkat komunitas mengalami intimidasi sampai yang serius adalah terbunuh,” kata Damairia.
Menurut Damairia, pembela HAM tidak hanya sebatas aktivis, namun juga komunitas. Semisal komunitas berbasis geografis, komunitas transgender. Pembela HAM pun dapat disematkan kepada siapapun yang memang bergerak memperjuangkan HAM.
Meskipun sebuah negara menganut sistem politik demokrasi, tetapi tidak serta merta negara tersebut akan dengan mudah memperkuat dan memajukan HAM
Menurut Al Araf, kejadian-kejadian yang dialami aktivis maupun komunitas tersebut memperlihatkan pembela HAM masih rawan mengalami berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan. Hal itu memperlihatkan bahwa meskipun sebuah negara menganut sistem politik demokrasi, tetapi tidak serta merta negara tersebut akan dengan mudah memperkuat dan memajukan HAM. Yang terjadi justru sebaliknya, negara malah melakukan pembatasan-pembatasan untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
“Bahwa di Indonesia demokrasi dianut dan HAM tertulis dalam kontitusi, namun nyatanya banyak terjadi kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Memang secara umum pasca (Presiden) Abdurrahman Wahid turun (sebagai presiden), terjadi penurunan dan pengabaian HAM yang terus berlanjut sampai sekarang. Itu ironis,” kata Al Araf.
Menurut dia, pelanggaran HAM yang terjadi tersebut memperlihatkan realitas politik di Indonesia memang mengabaikan penghormatan terhadap HAM. Sementara HAM hanya dilakukan secara normatif, perlindungan bagi pembela HAM dari sisi regulasi masih bermasalah.
Anam mengatakan, tanpa kontribusi pembela HAM, maka berbagai kebebasan juga tidak akan dapat dinikmati masyarakat. Demikian pula tanpa pembela HAM, maka perwujudan tata kelola negara maupun penegakan hukum akan sulit berjalan dengan benar.
“Menyerang pembela HAM itu berarti menyerang demokrasi. Tanpa pembela HAM, demokrasi tidak akan berjalan maksimal. Dan tanpa pembela HAM maka HAM tidak bisa dinikmati. Ancaman bagi pembela HAM adalah ancaman bagi semua,” kata Anam.
Menurut Anam, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Pada lapisan pertama, terdapat kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak senang jika dikritik. Pada lapisan berikutnya, terdapat beberapa kebijakan yang memang membuat ruang kebebasan berpendapat dipersempit, termasuk dengan hadirnya media sosial. Sebab, media sosial telah menghasilkan pendengung (buzzer) yang memang sengaja diciptakan.
Sebenarnya, Anam melanjutkan, terdapat perkembangan yang baik di institusi penegak hukum, seperti kepolisian, terkait penegakan HAM dan perlindungan terhadap pembela HAM. Namun, hal itu masih perlu didorong agar tidak hanya bersifat insidental, tetapi menjadi mekanise yang dijalankan oleh keseluruhan aparat penegak hukum.