Majelis Ulama Membolehkan Penggunaan Sel Tubuh Manusia sebagai Bahan Vaksin
Penggunaan sel tubuh manusia sebagai bahan produksi vaksin pada dasarnya berhukum haram. Fatwa Majelis Umum Indonesia membolehkan hal tersebut dengan sejumlah syarat.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Ulama Indonesia mengumumkan fatwa yang membolehkan penggunaan sel tubuh manusia sebagai bahan produksi obat dan vaksin secara bersyarat. Seruan fatwa itu keluar sebagai respons terhadap situasi darurat kesehatan pandemi Covid-19.
Fatwa penggunaan sel tubuh manusia atau human diploid cell itu diumumkan saat Musyawarah Nasional MUI, 25-26 November 2020. Salah satu Ketua MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, penggunaan sel dari bagian tubuh manusia untuk vaksin pada dasarnya berhukum haram dalam Islam, tetapi dibolehkan dengan berbagai syarat.
Syarat pertama adalah tiada bahan lain yang halal dan berkhasiat atau berfungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia. Kedua, obat atau vaksin itu hanya untuk pengobatan penyakit berat, yang apabila tanpa hal tersebut, dikhawatirkan terjadi dampak kemudaratan yang lebih besar bagi manusia. Ketiga, tidak ada bahaya yang memengaruhi kelangsungan hidup seseorang saat sel tubuhnya diambil sebagai bahan obat atau vaksin.
”Berdasarkan ketentuan dalam musyawarah nasional (Munas), penggunaan sel dari tubuh manusia hukumnya tetap haram karena bagian tubuh manusia (juz\'u al-insan) wajib dimuliakan. Namun, pandemi saat ini memicu kondisi kedaruratan sehingga hal tersebut dibolehkan dengan syarat yang mesti berlaku,” ucap Asrorun saat dihubungi, Sabtu (28/11/2020).
Asrorun merinci, pengambilan sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin harus berlandaskan niat tolong-menolong dan bukan dengan cara komersial. Praktik tersebut juga harus mendapat izin dari pendonor. Apabila sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal, perlu mendapat izin dari pihak keluarga.
Apabila sel tubuh yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, pengambilan hanya dibolehkan dengan sesuai syariat. Misalnya, sel tubuh berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis. Pengambilan sel juga dibolehkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau in vitro fertilization (IVF).
Asrorun menekankan, pengambilan sel tubuh itu sebatas untuk mengatasi kebutuhan mendesak. Sebab, kondisi penularan pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan sulit teratasi tanpa vaksin. ”Pemanfaatan sel hanya untuk kondisi kedaruratan (dharurah syar\'iyah) atau situasi mendesak (hajah syar\'iyah),” ucapnya.
Situasi pandemi di Indonesia semakin darurat lantaran kasus positif harian yang makin tinggi. Jumat (27/11/2020), penambahan kasus positif mencapai rekor harian baru untuk penambahan kasus 5.828 orang dan kematian 169 jiwa. Sementara rumah sakit di sejumlah daerah telah penuh dan tak mampu lagi menerima pasien Covid-19.
Penambahan kasus harian membuat total kasus Covid-19 di Indonesia kini sebanyak 522.581 pasien dengan 16.521 di antaranya meninggal. Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyatakan, penambahan kasus tersebut menjadi peringatan. ”Kasus positif dapat terus bertambah apabila tidak ada langkah serius dari masyarakat dan pemerintah daerah dalam mencegah penularan,” katanya.
Penambahan kasus Covid-19 membuat rumah sakit mulai dipenuhi pasien Covid-19. ”Kemarin (Kamis) saya mencarikan tempat perawatan untuk sejawat, sudah menelepon 56 rumah sakit di daftar rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta, tetapi semua penuh. Baru bisa masuk setelah ada pasien yang keluar karena meninggal,” ujar Tri Maharani, dokter emergensi yang menjadi sukarelawan di Laporcovid-19.
Adapun persentase kasus positif (positivity rate) di Indonesia masih di atas 5 persen atau belum aman menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Setidaknya sepekan terakhir sejak Minggu (22/11/2020), angka positivity rate masih berkisar 13,42 persen.
Antropolog kesehatan Universitas Indonesia, Vita Priantina Dewi, menilai perlunya pemahaman lokal dan interpretasi masyarakat terhadap pandemi Covid-19. Menurut dia, penjelasan mengenai protokol kesehatan harus dipertemukan dengan keinginan masyarakat. Pemerintah bisa memediasi dengan mengetahui fakta-fakta di lapangan, bagaimana warga memutuskan untuk mencegah pandemi di lingkungan masing-masing (Kompas, 27/11/2020).