Banyak Pengaduan Publik Soal Bansos Tak Ditindaklanjuti
Banyak pengaduan masyarakat seputar Covid-19 yang masuk ke KPK dan Kemenpan dan RB yang belum ditindaklanjuti oleh instansi-instansi pemerintah terkait. Ini terutama soal bantuan sosial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak pengaduan masyarakat seputar Covid-19 yang belum ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ini terutama soal bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Namun, di luar yang telah diadukan, ditengarai masih banyak warga yang mengeluhkan penyaluran bantuan, tetapi memutuskan tidak melaporkannya karena takut.
Banyaknya pengaduan masyarakat seputar Covid-19 yang belum ditindaklanjuti pemerintah itu seperti terlihat dari laporan pengaduan yang masuk ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB). Dari laporan yang masuk ke Kemenpan dan RB periode Maret-Oktober 2020, baru 65 persen laporan yang selesai ditindaklanjuti.
Hal itu disampaikan oleh Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Pelayanan Publik Kemenpan dan RB Muhammad Imanuddin dalam diskusi ”Partisipasi Warga dalam Pemantauan Distribusi Bansos”, Kamis (26/11/2020).
Narasumber dalam acara tersebut adalah Direktur Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Indonesia Maria Kresentia, anggota tim Jaga Bansos Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Soraya Sri Anggarawati, Amanda Tan dari Lapor Covid-19, dan anggota staf Biro Perencanaan Kementerian Sosial Ria Permana.
Imanuddin mengatakan, untuk mempercepat penanganan Covid-19, Kemenpan dan RB meluncurkan aplikasi SP4N-Lapor!. Aplikasi itu diluncurkan berdasarkan payung hukum Surat Edaran (SE) Nomor 53 Tahun 2020 pada Maret lalu. Sejak diluncurkan hingga Oktober 2020, sudah ada 37.124 laporan yang masuk. Topik terbanyak yang dilaporkan adalah bantuan sosial, ekonomi masyarakat, dan penjarakan fisik selama pandemi Covid-19.
”Dari laporan masuk itu, tiga teratas instansi yang dilaporkan adalah Pemprov DKI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kepolisian RI. Kemensos (Kementerian Sosial) ada di urutan keempat setelah itu,” kata Imanuddin.
Menurut Imanuddin, data yang masuk ke SP4N-Lapor! itu telah diteruskan kepada instansi terkait untuk ditindaklanjuti. Hasilnya, baru 65 persen laporan yang ditindaklanjuti dan diselesaikan. Sebanyak 4 persen laporan sedang dalam proses penyelesaian. Sisanya, 16 persen belum ditindaklanjuti dan 15 persen belum terverifikasi oleh instansi terkait.
Soraya dari Jaga Bansos KPK menuturkan, total ada 1.708 laporan mengenai bantuan sosial yang masuk sejak Mei hingga 20 November 2020. Pengaduan paling banyak ditujukan kepada Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Sementara untuk pemerintah kabupaten dan kota, laporan paling banyak untuk Kota Surabaya, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang.
Dari seluruh laporan yang masuk, baru 588 yang ditindaklanjuti dan diselesaikan oleh instansi terkait. ”Dari pengalaman kami, memang masih banyak pemda yang kurang responsif menindaklanjuti laporan yang masuk ke Jaga Bansos sehingga wajar jika dari laporan itu, banyak yang tidak diselesaikan,” kata Soraya.
Kartu Prakerja
Dari permasalahan bansos yang ada, laporan yang paling banyak masuk ke KPK adalah mengenai program Kartu Prakerja.
Ada banyak laporan tentang tidak diprioritaskannya peserta yang sudah terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK). Akibatnya, banyak pendaftar yang gagal masuk untuk mendaftar program prakerja secara daring. Sementara permasalahan lainnya adalah potensi konflik kepentingan antara platform digital dan lembaga pelatihan. Pelatihan berbasis daring kualitasnya rendah dan dinilai tidak layak hingga metodenya yang kurang interaktif.
Khusus untuk bansos Covid-19, permasalahan yang muncul adalah data dan sistem informasi yang ada belum terintegrasi dengan baik. Data Kementerian Sosial dengan data riil di lapangan tidak sinkron sehingga banyak orang yang tidak terdata. Akses publik untuk melihat data penerima bansos juga belum satu pintu sehingga warga sulit mengecek data mereka.
Adapun untuk bantuan subsidi upah bagi karyawan dengan gaji di bawah Rp 5 juta, verifikasi terhadap data calon penerima kurang baik. Akibatnya, KPK melihat ada potensi kebocoran keuangan negara dalam program tersebut. Verifikasi kurang baik karena tidak ada mekanisme verifikasi faktual untuk memastikan kebenaran gaji karyawan di bawah Rp 5 juta.
Sebagai upaya pencegahan, KPK juga meminta masyarakat, terutama di daerah yang sedang menyelenggarakan pilkada, agar mengawasi pendistribusian bansos Covid-19. Soraya mengatakan, dana ini sangat rawan dipolitisasi di masa kampanye, terutama dari calon petahana.
Dari 270 daerah pilkada, sebanyak 18,1 persen daerah menganggarkan untuk program jaring pengaman sosial (JPS) di atas 40 persen dari total anggaran Covid-19. Adapun 24 daerah lainnya menganggarkan JPS lebih dari 50 persen dari anggaran Covid-19. Bahkan, ada dua daerah yang menganggarkan di atas 75 persen dari alokasi anggaran Covid-19. Daerah itu adalah Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
”Di daerah yang anggarannya sangat tinggi itu, rata-rata ada petahana maju kembali,” terang Soraya.
Takut lapor
Maria dari SPAK Indonesia menambahkan, dari pantauan di lapangan, banyak anggota SPAK di daerah yang mengeluhkan soal penyaluran dana bansos. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, ada keluhan masyarakat tidak tahu jenis-jenis bantuan apa saja yang diberikan saat pandemi Covid-19. Selain itu, ketidakakuratan data penerima bantuan, pembagian tidak merata, penerima bantuan ganda, hingga salah sasaran.
Ada pula laporan tentang kualitas bantuan sosial yang sangat buruk, seperti bahan pangan yang busuk, hingga tidak sesuai dengan kebutuhan. Ini menunjukkan ada indikasi pemda tidak memperhatikan kualitas bahan pangan yang disalurkan ke masyarakat.
”Terhadap laporan tersebut pun, warga masih takut untuk melaporkan karena mereka takut akan berdampak negatif bagi kehidupan mereka. Makanya, tugas dari sukarelawan dan anggota SPAK Indonesia adalah mengedukasi masyarakat agar mau dan berani melaporkan,” kata Maria.