Kembalinya TNI ke Garis Depan
Dua pekan terakhir, publik terlibat kontroversi terkait kerumunan di beberapa tempat di Ibu Kota, lalu diikuti pencopotan baliho oleh TNI. Penataan kewenangan dalam menjaga ketertiban umum perlu dievaluasi.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kamis (19/11/2020), mengadakan inspeksi ke Korps Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus), Korps Marinir, dan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Paskhas). Hadi, di depan prajurit, menegaskan kembali tentang pentingnya persatuan bangsa.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Achmad Riad menjelaskan, inspeksi ini bertujuan untuk mengecek kesiapan satuan-satuan khusus. Ia memberikan konteks soal adanya kelompok-kelompok yang mengedepankan identitas yang telah diwaspadai.
”TNI tidak boleh lengah. Pengecekan kesiapan ini yang menjadi bentuk pengabdian TNI. Kita tidak menyebut nama, tapi mewaspadai,” katanya.
Tindakan Panglima TNI itu dalam strategi militer disebut sebagai memberikan efek gentar.
Tindakan Panglima TNI itu dalam strategi militer disebut sebagai memberikan efek gentar. Tujuannya, mengirimkan sinyal risiko ganjaran berat kepada pihak lain agar pihak lain itu membatalkan niatnya. Cara ini tetap dalam batasan TNI sebagai alat negara. Penggunaan kekuatan TNI tergantung dari keputusan politik negara. Hal ini terlihat dari jawaban Achmad Riad saat ditanya wartawan apakah TNI akan menindak Rizieq Shihab.
”Hari ini adalah tentang kesiapan TNI. Kalau soal menangkap, ada undang-undang yang mengatur TNI, yaitu dari politik negara. Semua harus berdasarkan perintah dari negara,” kata Achmad Riad.
Baca juga: DPR Minta Aparat Lebih Tegas Terapkan Protokol Kesehatan
Prinsipnya, TNI adalah alat negara yang hanya bisa digerakkan oleh politik negara. Ini esensial dalam negara demokrasi. Sistem ini tidak hanya menjadi implementasi supremasi sipil, tetapi juga melindungi TNI karena negara, dalam hal ini pemerintah, adalah sebagai penanggung jawab.
Apa yang terjadi?
Inspeksi Hadi Tjahjanto serupa dengan pernyataan yang dibuatnya, Sabtu (14/11/2020) malam. Saat itu ia didampingi Panglima Komando Pasukan Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad), Komandan Komando Operasi Khusus, Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korps Marinir, dan Komandan Korps Paskhas. ”Ingat, siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI. Hidup TNI!” kata Hadi.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam buku 75 Tahun TNI mencatat, pada 1945-2020, sebanyak 72 persen karakter ancaman bersifat internal.
Beberapa jam sebelumnya, masyarakat dibingungkan dengan adanya dugaan pelanggaran protokol kesehatan pada acara yang digelar Rizieq Shihab di Petamburan, Jakarta. Tak hanya Satgas Covid-19 yang mengirimkan 20.000 masker, Polres Jakarta Pusat juga menyiapkan rekayasa lalu lintas untuk mengantisipasi banyak pihak yang hadir.
Posisi TNI dalam arsitektur keamanan yang belum sempurna memang sulit. Fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah menangkal setiap bentuk ancaman militer serta ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dalam buku 75 Tahun TNI, mencatat, pada 1945-2020, sebanyak 72 persen karakter ancaman bersifat internal. Ini berarti, walau tak lagi melaksanakan fungsi sosial-politik, peran TNI tak jauh dari tugas menjaga stabilitas.
Dalam obrolan nonformal dengan beberapa pejabat TNI, ada kegeraman terhadap penanganan kepulangan dan kegiatan Rizieq. Di tengah penegakan protokol kesehatan, tindakan yang mengumpulkan massa dianggap jemawa.
Tindakan institusi-institusi negara yang seharusnya bekerja, seperti intelijen, pemerintah daerah, dan Polri, kurang optimal. Kelemahan intelijen yang tak memperkirakan membeludaknya massa terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang sehari sebelum kedatangan Rizieq mengatakan aparat agar ”biasa saja”. Namun, kedatangan Rizieq pada 10 November, dilanjutkan acara di Megamendung 13 November, dan Petamburan 14 November dihadiri ribuan orang.
Terkait protokol kesehatan, Mahfud pada 16 November sempat menyinggung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar meminta penyelenggara mematuhi protokol. Mahfud juga menegur aparat keamanan. ”Kepada aparat keamanan, kepada aparat keamanan, kepada aparat keamanan, pemerintah meminta untuk tidak ragu dan agar bertindak tegas dalam memastikan protokol kesehatan dipatuhi dengan baik,” kata Mahfud.
Upaya TNI adalah menjadi dinamisator agar pihak yang lain bekerja lebih optimal sesuai dengan tugasnya. Ini juga untuk mencegah kesan hukum dan negara seakan tak berdaya. TNI pun kembali ke garis depan.
Baca juga: Jangan Maklumi Pelanggar Protokol Kesehatan
Risiko tinggi
Tindakan TNI ini berisiko sangat tinggi. Ia harus menghadapi masyarakat Indonesia yang tengah dalam keadaan terbelah. Dari sisi TNI, doktrin pertahanan semesta mengharuskan kemanunggalan TNI dengan rakyat, ibarat ikan hidup di air. Berhadapan dengan rakyatnya sendiri akan melemahkan TNI.
Di sisi lain, memberikan efek gentar ibarat berdiri di tepi jurang. Salah langkah sedikit, jurang bisa longsor. Hal ini mulai terlihat ketika Panglima Kodam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman mencabut baliho Rizieq. Mulai timbul pro-kontra di masyarakat.
Tindakan TNI ini berisiko sangat tinggi. Ia harus menghadapi masyarakat Indonesia yang tengah dalam keadaan terbelah.
Panglima TNI 2002-2006 Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto mengatakan, sesuai dengan UU TNI, dalam Operasi Militer Selain Perang, TNI bertugas membantu Polri dan pemda dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Dengan dasar itu serta melihat situasi dan kondisi di tengah masyarakat yang tidak menentu dan berpotensi merusak persatuan bangsa, langkah yang dilakukan Pangdam Jaya adalah upaya proaktif. Tindakan prajurit TNI yang bersama satpol PP menurunkan baliho di wilayah Kodam Jaya menenteramkan masyarakat. Penggunaan panser pun dilihat sebagai kewajiban Pangdam menjaga keselamatan anak buahnya.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan, penurunan baliho terkait dengan peristiwa pelanggaran protokol kesehatan. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pelibatan TNI dalam Percepatan Penanganan Covid-19, tindakan itu belum bisa dikatakan melanggar aturan.
”Keterlibatan TNI ini sebagai dukungan upaya percepatan agar pelanggaran protokol kesehatan tidak terulang dan masih dalam koridor tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka di Keppres Nomor 7 Tahun 2020,” katanya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur mengatakan, keterlibatan TNI membuat TNI berhadapan langsung dengan warga, berpotensi melanggar aturan, dan berbahaya bagi demokrasi atau prinsip rule of law. Sesuai dengan Ketetapan MPR No VI/2000, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara. Tugas utama menjaga ketertiban dan keamanan, misalnya, di tangan polisi. Jika TNI langsung berhadapan dengan masyarakat, hal itu bisa berpotensi melanggar aturan.
Keterlibatan TNI membuat TNI berhadapan langsung dengan warga, berpotensi melanggar aturan, dan berbahaya bagi demokrasi atau prinsip rule of law.
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochammad Nurhasim, mengatakan, menjaga ketertiban umum adalah tugas pemerintah daerah, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Namun, jika mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri, peran menjaga ketertiban umum diberikan kepada kepolisian.
”Sifatnya grey area. Ranah tanggung jawab antara satpol PP dan Polri harus diperjelas. Sementara dalam konteks kemarin, TNI, kok, masuk dengan menurunkan baliho. Itu wilayah sipil. Ini semua perlu ditata,” ucap Nurhasim.
Kembalinya TNI ke garis depan kalau memang menjadi keputusan politik negara harus dilaksanakan dengan hati-hati, baik oleh pemerintah maupun TNI. Pemerintah yang harus mendefinisikan apa dan siapa ancaman negara serta apa tugas aparatur negara, termasuk TNI, mengatasi ancaman itu.
Penegakan hukum yang adil seharusnya ada di depan. Jika ada pihak yang harus dihukum karena baliho atau pernyataan yang provokatif, biar pengadilan yang memutuskan. Jangan sampai berlaku prinsip: siapa yang berani, dia yang menang.