Area Luar Arena Kampanye Rentan Pelanggaran Protokol Kesehatan
Potensi pelanggaran protokol kesehatan tidak hanya terjadi di arena kampanye Pilkada 2020. Pelanggaran terhadap protokol pencegahan penyebaran Covid-19 justru rentan terjadi di area luar arena kampanye.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim pemenangan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah cenderung tidak mampu menjaga penerapan protokol kesehatan di luar tempat kampanye. Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia, satuan polisi pamong praja, dan satuan tugas Covid-19 daerah diharapkan membubarkan kerumunan guna mencegah penularan Covid-19 dari pelanggaran protokol kesehatan tersebut.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, potensi pelanggaran protokol kesehatan tidak hanya terjadi di arena kampanye. Pihaknya menemukan pelanggaran protokol kesehatan juga terjadi di luar arena kampanye. Sayangnya, Bawaslu tak mempunyai kewenangan untuk melakukan penindakan karena berada di luar lokasi kampanye yang sudah ditentukan.
Saat berada di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, misalnya, ia mendapati kampanye pertemuan terbatas yang sesuai dengan protokol kesehatan. Tim pemenangan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan, seperti peserta kampanye maksimal 50 orang, menggunakan masker, dan menjaga jarak fisik.
Namun, ketika berada di luar lokasi kampanye, terjadi kerumunan massa yang mengabaikan jaga jarak sehingga melanggar protokol kesehatan. Pelanggaran seperti itu biasanya terjadi ketika pasangan calon menghadirkan tokoh nasional atau juru kampanye yang menarik perhatian masyarakat.
”Bawaslu tidak bisa berdiri sendiri, harus dengan lembaga lain, terutama kepolisian, satgas Covid-19, dan TNI. Sebab, seandainya tidak ada pilkada, kepolisian, Satgas Covid-19, dan TNI pun harus memastikan penerapan protokol kesehatan,” kata Abhan saat webinar bertajuk ”Kampanye di Masa Pandemi”, Selasa (10/11/2020).
Selain Abhan, hadir sebagai pembicara Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto; Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Saan Mustofa; dan Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim.
Menurut Abhan, lembaga lain, seperti Polri, TNI, dan satpol PP, memiliki tugas dan kewenangan untuk memastikan seluruh aktivitas, terutama di luar rumah, sesuai dengan protokol kesehatan. Kewenangan itu diberikan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 serta Maklumat Kepala Polri.
Mereka bisa menindak pelanggar protokol kesehatan yang terjadi di luar arena kampanye dengan sanksi pidana sesuai undang-undang. Setidaknya, ada dua undang-undang yang bisa digunakan untuk menjerat pelanggar protokol kesehatan, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No 8/2016 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
”Tidak ada undang-undang yang mengatur pidana kepada pelanggar protokol kesehatan saat pemilihan kepala daerah. Kami hanya bisa memberikan sanksi administratif dengan hukuman maksimal pengurangan jatah kampanye selama tiga hari,” ucap Abhan.
Dia berharap seluruh lembaga tersebut hadir saat pelaksanaan kampanye. Sebab, tidak semua kampanye di daerah-daerah dihadiri Polri, TNI, dan satpol PP sehingga penindakan sulit dilakukan Bawaslu yang kewenangannya terbatas.
”Kami berharap semuanya bisa berada di lapangan. Sebab, tidak semua daerah sama, ada daerah yang koordinasinya baik sehingga semua lembaga lengkap dan ada yang sebaliknya,” katanya.
Dukungan dari pihak-pihak lain sangat diperlukan, terutama di sisa 25 hari masa kampanye. Saat mendekati masa tenang, kegiatan kampanye tatap muka biasanya cenderung meningkat sehingga potensi pelanggaran protokol kesehatan semakin tinggi.
Berdasarkan pengawasan Bawaslu di 10 hari keempat kampanye Pilkada 2020 di 270 daerah, pada 26 Oktober-4 November 2020, sebanyak 16.574 kegiatan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas digelar calon. Sebanyak 397 kegiatan kampanye di antaranya melanggar protokol kesehatan. Dari jumlah itu, 300 kegiatan kampanye mendapatkan peringatan tertulis dan 33 kegiatan dibubarkan.
Jumlah pelanggaran pada 10 hari keempat menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Pada 10 hari pertama masa kampanye (26 September-5 Oktober 2020), Bawaslu mencatat ada 237 kampanye yang melanggar protokol kesehatan. Kemudian pada 10 hari selanjutnya (6-15 Oktober 2020), jumlah pelanggaran protokol kesehatan meningkat menjadi 375 kegiatan kampanye. Pada 10 hari ketiga (16-25 Oktober 2020), pelanggaran protokol kesehatan sempat menurun menjadi 306 kegiatan kampanye.
Di sisi lain, kampanye menggunakan media sosial menurun sejak 10 hari kedua masa kampanye. Pada 6-15 Oktober 2020, kampanye di media sosial tercatat 98 kegiatan dan pada 10 hari berikutnya menurun menjadi 80 kegiatan. Adapun pada 10 hari keempat menurun menjadi 56 kegiatan.
Menurut Gaffar, pandemi Covid-19 seharusnya menjadi peluang untuk melakukan perubahan paradigma dalam berkampanye. Kampanye tradisional, seperti tatap muka atau pertemuan, harus diubah menjadi kampanye digital. ”Ini bukan hanya soal metode kampanye, melainkan juga mentalitas paslon,” katanya.
Menurut dia, kampanye digital lebih efektif menarik dukungan dibandingkan dengan kampanye tradisional. Dalam kampanye tradisional, tidak banyak terjadi interaksi antara pamer kekuatan dan peningkatan perolehan suara. Perserta kampanye sering kali bukan pemilih paslon, bahkan sebagian ada massa bayaran yang diminta untuk datang ke acara kampanye sekadar untuk menunjukkan kekuatan kepada lawan.
Sementara dalam kampanye digital, lebih banyak interaksi antara pamer kekuatan dan peningkatan perolehan suara. Asalkan paslon bisa menggunakan cara-cara yang lebih informatif, edukatif, dan interaktif, peluang untuk mendapatkan pemilih jauh lebih besar.
”Kampanye digital bisa menekan biaya politik, paslon tidak perlu membeli suara dan pengerahan massa sehingga potensi korupsi bisa dikurangi,” ucap Gaffar.
Menurut Saan, kampanye dalam jaringan (daring) masih tidak terlalu efektif menarik dukungan. Sebab, pengguna media sosial sebagian besar merupakan masyarakat kelas menengah ke atas sehingga tidak mampu menjangkau semua kalangan.
”Di masa pandemi, paslon tidak bisa maksimal dalam berkampanye. Berkampanye di media sosial aksesnya terbatas, sedangkan kampanye tatap muka dengan jumlah banyak bisa mendapatkan sanksi dari Bawaslu,” katanya.
Henri mengatakan, salah satu kesulitan dalam memaksimalkan kampanye daring adalah infrastruktur digital yang belum mencakup semua wilayah di Indonesia. Setidaknya ada 12.500 desa yang belum terjangkau jaringan internet sehingga tidak bisa mengakses konten-konten kampanye daring.
Meskipun demikian, ia mendukung perluasan penggunaan kampanye daring dalam masa pandemi. ”Paslon perlu kreatif untuk membuat kontennya viral dan mendapatkan banyak dukungan pemilih,” ucapnya.