Guru Besar UGM: Perppu Langkah Konstitusional Perbaiki Pasal Bermasalah UU Ciptaker
Fakultas Hukum UGM menilai UU Cipta Kerja masih sisakan persoalan serius. Mereka meminta Presiden Jokowi keluarkan perppu untuk membatalkan pasal-pasal bermasalah tersebut karena prosedural dan substansinya bermasalah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengkritisi pasal-pasal bermasalah dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Baik dari sisi prosedural maupun substansi, UU Cipta Kerja dinilai masih menyisakan persoalan serius. Mereka meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan pasal-pasal bermasalah tersebut.
Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan, sejak masih berbentuk Rancangan Undang Undang, FH UGM sudah membuat kajian tentang regulasi tersebut. Setelah disetujui di DPR pada 5 Oktober lalu, kemudian ditandatangani oleh Presiden pada 2 November lalu, UGM kembali menyusun kertas kebijakan. Kertas kebijakan disusun untuk mengkaji sejauh mana perubahan dari draf RUU versi pemerintah dengan yang disetujui oleh DPR di paripurna. Kajian dilakukan tidak hanya pada UU, tetapi juga pada naskah akademik.
“Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum dan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan sosial,” kata Sigit.
"Catatan kritis itu dilakukan untuk sejumlah klaster yaitu peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi persyaratan investasi, tata ruang, kehutanan, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, kemudahan investasi, perlidungan, pemberdayaan koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perpanjakan, pertanahan, dukungan riset dan inovasi, sanksi pidana hingga politik hukum"
Catatan kritis itu dilakukan untuk sejumlah klaster yaitu peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi persyaratan investasi, tata ruang, kehutanan, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, kemudahan investasi, perlidungan, pemberdayaan koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perpanjakan, pertanahan, dukungan riset dan inovasi, sanksi pidana hingga politik hukum.
Dari sisi hukum, guru besar Hukum Pidana UGM Eddy OS Hiariej mengatakan, sanksi yang tersebar di sejumlah klaster UU Sapu Jagat itu tidak memenuhi kriteria sebagai hukum pidana administrasi karena sebagian besar sanksi pidana dirumuskan secara kumulasi. Ada tumpang tindih pengaturan di sejumlah klaster soal sanksi administrasi dan pidana. Misalnya, ada pengecualian untuk perbuatan yang dilakukan masyarakat yang tinggal di hutan diberikan sanksi administrasi. Tetapi, pada ketentuan lain, dikenakan sanksi pidana.
“Ini akan menimbulkan multi interpretasi dalam penegakan hukum,” kata Eddy.
Eddy menambahkan, dalam prinsip hukum seharusnya berta-ringannya sanksi dijatuhkan berdasarkan derajat dampak bahaya yang ditimbulkan. Di UU Cipta Kerja, pasal 70 terkait dengan penggunaan lahan tanpa izin dikenai pidana penjara dan denda. Namun, pada Pasal 70 ayat (3), penggunaan lahan tanpa izin yang menyebabkan kematian justru dikenai sanksi pidana penjara atau denda. Hal itu menjadi kontradiktif, karena tindakan pidana dengan dampak lebih berat, justru mendapatkan hukuman yang lebih ringan.
Selain itu, UU Sapu Jagat ini dibentuk dengan menyatukan lebih dari 70 klaster UU. Seharusnya, tindak pidana yang sama meskipun di klaster berbeda, juga mendapatkan sanksi hukuman yang sama. Namun, pembentuk UU ternyata tidak melakukan sinkronisasi terhadap ancaman hukuman untuk tindak pidana yang sama di UU tersebut. Akibatnya, ada disparitas pidana dan ketidakadilan dalam penegakan hukum.
“Contohnya di klaster pengelolaan lingkungan hidup, tindak pidana yang mengakibatkan kematian dihukum maksimal satu tahun. Tetapi, di klaster lain yaitu perikanan, pidana yang menyebabkan kematian diancam hukuman maksimal 6 tahun,” kata Eddy.
Menurut Eddy, ketidaksinkronan sanksi pidana di masing-masing klaster yang berakibat pada disparitas pemidanaan tersebut merupakan kesalahan fatal pembentuk UU. Sebab, sanksi pidana itu tidak boleh diatur dalam peraturan turunan UU. Yang berhak mengatur sanksi pidana itu adalah peraturan level UU atau peraturan daerah. Sebab, pencantuman hukuman pidana hanya boleh dilakukan atas persetujuan rakyat (no punishment, without representative).
“Artinya, untuk memperbaiki sanksi pidana yang ada di UU Cipta Kerja ini hanya ada kemungkinan melalui peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), atau dilakukan legislative review,” kata Eddy.
Eddy juga mengatakan bahwa ketidaksinkronan sanksi pidana di UU Ciptaker ini sangat mungkin digugat di MK karena menimbulkan disparitas pemidanaan dan ketidakadilan hukum. Apabila digugat di MK, Eddy yakin pasal-pasal itu berpotensi dibatalkan oleh MK.
“Artinya, untuk memperbaiki sanksi pidana yang ada di UU Cipta Kerja ini hanya ada kemungkinan melalui peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), atau dilakukan legislative review”
Dinilai ortodok dan otoriter
Guru Besar Hukum Agraria UGM Maria SW Sumardjono secara tegas mengatakan bahwa dalam klaster pertanahan, UU Ciptaker sangat elitis, ortodoks, dan otoriter. Sebab, hukum tersebut diberlakukan untuk melakukan kehendak sepihak dari penguasa. Substansi dalam klaster pertanahan dianggap memberikan karpet merah bagi investor. Aturan mengenai Badan Bank Tanah misalnya, mempermudah penyediaan tanah dan kemudahan perizinan usaha hanya melalui persetujuan.
Kedudukan hak pengelolaan (HPL) sebagai “fungsi” dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas bagi pihak ketiga untuk menjalankan usahanya dengan memperoleh hak atas tanah di atas HPL. Hak guna bangunan (HGB) di atas HPL dijadikan primadona karena mayoritas jenis pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB belum berakhir, dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak setelah diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Ketentuan ini, menurut dia, berpeluang diuji di MK karena secara khusus WNA dan badan hukum asing diperkenankan memiliki apartemen/rusun yang tanah bersamanya berstatus HGB. Hal itu melanggar putusan MK, TAP MPR IX/2001, Undang-Undang Pokok Agraria, dan Nawacita khususnya program kelima.
“Program bank tanah misalnya, sangat mempermudah investor untuk memperoleh tanah. Ide ini sangat tidak sesuai dengan kebijakan reforma agraria yang digagas Presiden Jokowi,” kata Maria.
Pelanggaran prosedur
Sementara itu, pengajar hukum administrasi negara UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan, terkait dengan teknis pembentukan UU, banyak aspek prosedural yang diterabas. Pada akhirnya, proses yang tidak tertib administrasi itu terbukti menghasilkan pasal-pasal problematik. Padahal, aspek prosedural itu sangat penting sebagai cara untuk menjaga keadilan ketika negara berhadapan dengan warga negara.
Saat sudah disetujui di rapat paripurna DPR misalnya, draf RUU yang beredar berubah-ubah. Masyarakat mendapatkan berbagai versi RUU dengan jumlah halaman yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa ada perubahan substansi pada RUU setelah disetujui di DPR. Substansi Pasal 5 dan 6 UU Ciptaker misalnya, terbukti berubah setelah persetujuan di DPR. Di naskah UU 11/2020, Pasal 6 merujuk pada ketentuan Pasal 5 yang tidak tercantum. Padahal, di draf versi 905 halaman, terbukti ada Pasal 5 ayat (1) dan (2).
“Ada gejala hapus menghapus pasal setelah persetujuan dan pengesahan di DPR. Ini pelanggaran formil yang luar biasa,” kata Zainal.
Dengan temuan pelanggaran prosedural yang serius itu, Zainal berharap MK dapat membatalkan seluruh UU Cipta Kerja. Sebab, MK pernah membatalkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah karena salah merujuk pasal. Ini menunjukkan bahwa, aspek prosedural tidak boleh lagi dilakukan dalam proses penyusunan UU.
“Ada gejala hapus menghapus pasal setelah persetujuan dan pengesahan di DPR. Ini pelanggaran formil yang luar biasa”
Kini, setelah masih banyak kesalahan ditemukan di UU yang sudah ditandangani presiden dan mendapat nomor dalam lembaran negara, menurut Zainal ide yang paling konstitusional adalah menerbitkan perppu. Menerbitkan perppu lebih konstitusional jika dibandingkan dengan distribusi II yang tidak ada rujukan hukumnya.
Terkait dengan catatan terhadap UU Cipta Kerja itu, FH UGM merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengambil langkah baik executive review maupun legislative review. Meskipun UU dibentuk dengan iktikad baik, kecerobohan yang terjadi tidak boleh dibiarkan. Ketidakpastian hukum yang muncul dari regulasi tersebut bahkan dikhawatirkan justru membuat investor tidak berminat masuk ke Indonesia. Sigit juga menegaskan bahwa anotasi tersebut adalah bentuk kajian intelektual akademis untuk mengkritisi kebijakan pemerintah.
“Ke depan, agar proses penyusunan UU dibuat dengan tertib administrasi, dan proses deliberasi yang partisipatif sehingga ada masyarakat dapat mengkritisi substansinya,” kata Sigit.