Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan akan mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Jaksa Agung melakukan perbuatan melawan hukum. Banding diajukan karena ada kelalaian hakim dalam putusan tersebut
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dinilai lalai dan mengambil putusan terhadap pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait kasus Semanggi I dan II dalam rapat Komisi III DPR, 16 Januari 2020, hanya berdasarkan penafsiran dan asumsi. Oleh karena itu, jaksa pengacara negara sebagai kuasa hukum Jaksa Agung Republik Indonesia akan mengajukan banding.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Feri Wibisono dalam konferensi pers, Kamis (5/11/2020), mengatakan, jaksa pengacara negara akan mengambil upaya hukum banding. Sebab, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dinilai mengandung banyak kelalaian.
”Kami melihat banyak sekali kelalaian hakim dalam pemeriksaan perkara ini. Atas dasar begitu banyaknya kelalaian dan kesalahan ini, demi kebaikan, kami akan lakukan upaya hukum,” kata Feri.
Jaksa pengacara negara akan mengambil upaya hukum banding. Sebab, putusan PTUN Jakarta dinilai mengandung banyak kelalaian.
Sebelumnya, PTUN Jakarta menyatakan, tindakan Jaksa Agung di rapat Komisi III DPR terkait kasus Semanggi I dan II merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab, pernyataan itu cacat substansial dan mengandung kebohongan. Jaksa Agung diperintahkan majelis hakim PTUN Jakarta untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya terkait peristiwa Semanggi I dan II di dalam forum rapat kerja Komisi III DPR yang berikutnya (Kompas, 5/11/2020).
Feri mengatakan, PTUN Jakarta dinilai keliru memberikan pertimbangan hukum terkait pernyataan Jaksa Agung di rapat kerja Komisi III pada 16 Januari 2020. Informasi yang diberikan Jaksa Agung dalam raker dengan DPR RI semestinya tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan atau bukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat dijadikan obyek sengketa.
Kemudian kepentingan penggugat, yakni orangtua korban, adalah pada penanganan perkara hak asasi manusia (HAM) berat, bukan pada proses jawab menjawab pada raker Komisi III DPR RI. Orangtua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di raker Komisi III DPR RI.
”Kepentingan dari kedua penggugat berkaitan dengan penanganan perkara. Sementara yang menjadi obyek sengketa adalah ucapan Jaksa Agung di raker Komisi III DPR. Hakim salah karena mencampuradukkan kepentingan yang menjadi syarat proses pemeriksaan suatu perkara,” ujar Feri.
Kepentingan penggugat, yakni orangtua korban, adalah pada penanganan perkara HAM berat, bukan pada proses jawab menjawab pada raker Komisi III DPR RI. Orangtua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di raker Komisi III DPR RI.
Sementara surat terbuka kepada Presiden tanggal 5 Maret 2020 agar menindaklanjuti penanganan kasus HAM berat dinilai tidak dapat dikategorikan sebagai upaya banding administratif yang ditujukan kepada pernyataan Jaksa Agung dalam raker Komisi III DPR RI. Demikian pula PTUN Jakarta dinilai mengabaikan keterangan ahli dalam persidangan.
Menurut Feri, hakim PTUN Jakarta juga dinilai mengabaikan bukti berupa video rekaman dan saksi yang diajukan tergugat. Di dalam video rekaman tidak ada pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan, ”Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”.
Demikian pula pertimbangan bahwa tindakan Jaksa Agung itu adalah cacat substansi sehingga harus dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dinilai tidak disertai penjelasan tentang peraturan yang dilanggar. Hakim dinilai memformulasikannya berdasarkan keyakinan saja tanpa bukti yang memadai.
”Putusan ini adalah putusan yang tidak benar dan kami harus melakukan banding atas suatu putusan yang tidak benar dan tidak berdasarkan hukum acara yang seharusnya dilaksanakan,” kata Feri.
Pertimbangan bahwa tindakan Jaksa Agung itu adalah cacat substansi sehingga harus dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dinilai tidak disertai penjelasan tentang peraturan yang dilanggar.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, semestinya Jaksa Agung tidak melakukan upaya hukum banding terhadap putusan PTUN Jakarta. Sebaliknya, Jaksa Agung diharapkan melaksanakan putusan tersebut karena sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
”Putusan itu memberikan dasar formal bahwa ada impunitas yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Dengan upaya hukum banding, Jaksa Agung bukan menjadi pihak yang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, tetapi malah membuat upaya penyelesaian menjadi tertutup,” kata Asfinawati.
Menurut Asfinawati, kasus gugatan tersebut tidak sama dengan kasus sengketa biasa. Sebab, gugatan tersebut menyangkut pelanggaran HAM yang di dalamnya terdapat korban. Demikian pula Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) telah memberikan hasil penyelidikan awal dari Tragedi Semanggi I dan II kepada Jaksa Agung. Namun, selama ini berkas kasus pelanggaran HAM berat dikembalikan ke Komnas HAM karena dianggap tidak memenuhi syarat formil dan materiil.
Jika Jaksa Agung mengambil upaya hukum banding, Jaksa Agung dianggap tidak hanya mengabaikan kasus pelanggaran HAM berat, tetapi juga termasuk sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Jika Jaksa Agung mengambil upaya hukum banding, lanjut Asfinawati, Jaksa Agung dianggap tidak hanya mengabaikan kasus pelanggaran HAM berat, tetapi juga termasuk sebagai pelaku pelanggaran HAM. Sebab, pengembalian berkas perkara tersebut adalah tindakan aktif yang membuat kasus pelanggaran HAM berat mandek.
”Sebagai penyelidik, tugas Komnas HAM adalah menemukan ada pelanggaran HAM, bukan untuk mencari bukti. Komnas HAM bisa diminta bantuan mencari bukti, tetapi itu atas perintah Jaksa Agung. Dan untuk Tragedi Semanggi I dan II, Komnas HAM sudah memberikan hasil penyelidikan. Kalau Jaksa Agung banding, kan, malah aneh,” ujar Asfinawati.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, dirinya menyambut baik putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan yang diajukan keluarga korban kasus Semanggi I dan II. Taufik berharap agar Jaksa Agung dapat menerima putusan tersebut dan tidak banding.
”Jalankan saja perintah pengadilan dalam amar putusan tersebut. Menurut saya, melaksanakan putusan adalah langkah terbaik. Selain sebagai bentuk komitmen negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM, sikap tersebut juga menjadi contoh bahwa negara patuh pada putusan pengadilan, terlebih jika pelaksanaan putusan tersebut untuk kepentingan rakyat,” ujar Taufik.
Jalankan saja perintah pengadilan dalam amar putusan tersebut. Menurut saya, melaksanakan putusan adalah langkah terbaik.
Menurut Taufik, ketika menjawab pertanyaannya tentang penuntasan kasus Semanggi I dan II pada Rapat Kerja Komisi III dengan Jaksa Agung, 20 Januari 2020 lalu, Jaksa Agung sebenarnya telah menyatakan keinginannya untuk melakukan penuntasan kasus Semanggi I dan II. Namun, terdapat beberapa kendala terkait kelengkapan pembuktian.
Dengan pernyataan yang pernah disampaikan tersebut, menurut Taufik, semestinya tidak ada hal yang memberatkan bagi Jaksa Agung untuk melaksanakan amar putusan PTUN Jakarta. Taufik pun berjanji akan mengawal putusan PTUN itu dalam kerja Komisi III dengan Jaksa Agung berikutnya.