PTUN Jakarta menilai pernyataan Jaksa Agung soal Tragedi Semanggi I dan II tak sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga termasuk tindakan melawan hukum.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jakarta menyatakan, pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait kasus Semanggi I dan II dalam rapat Komisi III DPR, 16 Januari 2020, merupakan tindakan melawan hukum. PTUN menilai tindakan Jaksa Agung tersebut cacat substansi dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Majelis hakim PTUN Jakarta yang diketuai Andi Muhammad Ali Rahman mengabulkan seluruh gugatan keluarga korban peristiwa Semanggi I dan II, Sumarsih dan Ho Kim Ngo, pada Rabu (4/11/2020). Putusan tidak dibacakan dalam sidang secara daring atau luring, tetapi diunggah di Direktori Putusan Mahkamah Agung RI.
Kasus itu bermula ketika Komisi III DPR menggelar rapat kerja dengan Jaksa Agung. Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung mengucapkan, ”… Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil Rapat Paripurna DPR yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.”
Tak terima atas pernyataan tersebut, keluarga korban pun mengajukan gugatan.
Dalam memeriksa perkara itu, majelis hakim menggunakan dua tolok ukur.
Pertama, hasil Rapat Paripurna DPR 9 Juli 2001 yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat sehingga diputuskan bahwa peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) diadili melalui pengadilan umum atau pengadilan militer.
Kedua, laporan akhir KPP HAM TSS tahun 2002 yang menyatakan sebaliknya. Dan, proses penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat TSS pun masih berjalan, tetapi terkendala persoalan teknis karena hasil penyelidikan Komnas HAM belum terdapat bukti permulaan yang cukup dan sulit untuk ditingkatkan ke penyidikan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai tindakan Jaksa Agung, selain mengandung kebohongan (bedrog), juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Jaksa Agung dinilai tak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2008 yang menyebutkan, dalam menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad hoc, DPR tidak dapat menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan serta penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Dalam hal ini, majelis hakim juga memahami kendala yang dihadapi dalam proses penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang melibatkan dua institusi tersebut, Komnas HAM dan kejaksaan.
”Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, pengadilan berkesimpulan bahwa tindakan pemerintah yang dilakukan oleh tergugat tersebut cacat substansi karena pernyataan tergugat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya sehingga perbuatan tergugat tersebut haruslah dinyatakan perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan,” demikian bunyi putusan PTUN.
Keadaan sebenarnya
Untuk menjaga tertib hukum dan transparansi dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II, majelis hakim mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan tentang keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berikutnya, sepanjang belum ada putusan yang sebaliknya.
”Kami berharap Jaksa Agung tidak banding dan menerima putusan serta melaksanakan perintah hakim sebagaimana tercantum dalam putusan dan menegaskan pemerintah masih ada kemauan untuk mengungkap perkara ini,” ujar kuasa hukum keluarga korban Semanggi II, Muhamad Isnur, saat konferensi pers virtual, Rabu.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, tim jaksa pengacara negara sebagai kuasa yang mewakili Jaksa Agung RI pada hari ini telah mendapatkan putusan hakim PTUN Jakarta. Atas putusan tersebut, tim jaksa pengacara negara selaku kuasa tergugat menyatakan sangat menghormatinya.
”Namun, karena putusan tersebut dirasakan tidak tepat, sesuai dengan ketentuan Pasal 122 ataupun 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 51 Tahun 2009, tim jaksa pengacara negara selaku kuasa tergugat akan mempelajari terlebih dahulu atas isi putusan tersebut dan yang pasti akan melakukan upaya hukum,” kata Hari dalam keterangan tertulisnya.
Direktur Amnesty International Usman Hamid menilai, putusan itu harus digunakan sebagai momentum baru untuk mendesak pemerintah dan DPR menuntaskan penyelesaian kasus Trisakti serta Semanggi I dan II melalui pengadilan HAM ad hoc.
”Saya ingin menegaskan kembali bahwa putusan PTUN ini sangat penting karena dapat meluruskan kesalahan memahami UU Pengadilan HAM oleh sebagian pihak, termasuk Jaksa Agung,” ujar Usman.