Survei Indo Barometer menunjukkan kepuasan publik selama setahun pertama periode kedua pemerintahan Joko Widodo lebih baik dibandingkan setahun pertama periode pertama. Antisipasi ketidakpuasan yang mulai meningkat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode kedua lebih baik dibandingkan satu tahun di periode pertama. Meskipun demikian, pemerintah diharapkan tidak lantas melupakan sejumlah persoalan yang rentan mengikis tingkat kepuasan tersebut.
Berdasarkan survei Indo Barometer pada 1.200 responden di 34 provinsi, tingkat kepuasan masyarakat selama satu tahun pemerintahan Jokowi di periode kedua sebesar 64,6 persen. Survei tersebut dilakukan pada 10-17 Oktober 2020. Ada beberapa faktor yang meningkatkan rasa kepuasan masyarakat, yaitu kerja nyata, merakyat, dan pembangunan infrastruktur.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan hasil survei pada 14-22 September 2015, tingkat kepuasan satu tahun pemerintahan Jokowi periode pertama hanya 46 persen. Survei tersebut juga mengambil sampel 1.200 responden di 34 provinsi. Ada beberapa alasan tingkat kepuasan di bawah 50 persen, salah satunya, penurunan ekonomi.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, dalam diskusi virtual bertema ”Enam Tahun Pemerintahan Jokowi”, Rabu (4/11/2020) malam, mengatakan, sebetulnya di 2020 ini, masyarakat juga merasa tidak puas akibat perekonomian yang menurun karena pandemi Covid-19. Namun, faktor utama penurunan ekonomi antara 2015 dan 2020 dinilai berbeda oleh masyarakat.
”Waktu (2015) itu, kan, ada perlambatan atau krisis ekonomi sehingga semua produk-produk komoditas Indonesia yang menjadi andalan, seperti batubara, menurun. Tetapi, saya menduga masyarakat melihat bahwa situasi dan kondisi ekonomi sekarang ini disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu Covid-19. Ini tentu menarik kenapa ada situasi ekonomi yang cukup berat, tetapi tingkat kepuasan ke Pak Jokowi masih lumayan,” ujar Qodari.
Diskusi yang digelar Ikatan Keluarga Alumni Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, itu dihadiri sejumlah narasumber, antara lain, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh, Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari, dan sosiolog UNS Drajat Tri Kartono.
Antisipasi ketidakpuasan
Meskipun demikian, Qodari menambahkan, pemerintahan Jokowi di periode kedua ini juga perlu mengantisipasi ketidakpuasan publik yang mulai tumbuh akibat pandemi Covid-19. Di antaranya, publik menganggap penanganan pandemi masih lambat, data penerima bantuan sosial tidak akurat, pasien Covid-19 yang semakin banyak, dan kebijakan Jokowi tidak konsisten.
”Jadi kalau ingin supaya tingkat kepuasannya meningkat, ya, masalah-masalah tersebut tentunya yang harus diberikan sentuhan penyelesaian oleh pemerintah pusat,” ucap Qodari.
Hasil survei Indo Barometer juga memotret respons baik masyarakat terhadap kinerja pemerintahan daerah. Terhadap pemerintah provinsi, misalnya, tingkat kepuasan masyarakat mencapai 58,4 persen. Lalu, jika dihadapkan pada tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota, hasilnya lebih tinggi, yakni 63,4 persen.
”Jadi, ada pola makin ke pemerintah daerah, ini makin tinggi tingkat kepuasannya. Saya kira ini cukup bisa dipahami karena memang tentunya di lapangan, pemerintah daerah yang terdepan dan paling sering berinteraksi dengan masyarakat, di luar program-program dari pemerintah pusat itu membutuhkan waktu lebih panjang untuk bisa sampai ke masyarakat,” tutur Qodari.
Ujian kepemimpinan
Ganjar Pranowo melihat, tantangan selama satu tahun pemerintahan Jokowi di periode pertama ini sangat terjal akibat pandemi.
Namun, momentum tersebut harus dijadikan sebagai ujian kepemimpinan, tak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.
”Ujian mentalnya begitu berat dan luar biasa dan kita dituntut bekerja sangat keras. Perubahan yang sangat dahsyat. Maka yang tak siap, akan tergilas. Dan itulah, kreatif dan inovatif menjadi kata kunci untuk menghadapinya,” ujar Ganjar.
Selain itu, ia menekankan, dalam menghadapi pandemi, pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi di antara seluruh pemangku kepentingan, baik masyarakat, wirausaha, maupun perguruan tinggi, menjadi sangat penting untuk ikut berkontribusi secara riil bagi penanganan dampak pandemi.
”Penanganan pandemi ini tentu saja tak bisa kita serahkan kepada Presiden atau pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah dan seluruh anak bangsa harus merasa dan wajib terpanggil untuk menyelesaikan persoalan,” kata Ganjar.
Zudan Arif Fakrulloh menambahkan, di tengah pandemi ini, pemerintahan harus terus bisa bekerja dengan cepat.
Hal tersebut, menurut dia, terefleksi dari kepemimpinan Jokowi yang responsif atas setiap permasalahan.
Tak berhenti di sana, saat ini pemerintahan juga dituntut berani untuk berpikir out of the box sehingga semua tidak dipandang dengan paradigma normatif.
”Jadi kalau ada masalah, dipetakan cepat, kemudian berpikir cepat, dan mengambil keputusan dengan cepat. Di bawahnya, di ruang eksekusinya juga harus cepat. Kalau diringkas, berpikir cepat, bertindak cepat, semua persoalan akan tertangani dengan baik,” ucap Zudan.
Sementara itu, Abdul Kharis Almasyhari mengkritik pola komunikasi pemerintahan Jokowi yang tidak mampu menenangkan situasi publik. Belakangan ini, situasi negeri dianggap gaduh akibat sejumlah kebijakan yang muncul, salah satunya Undang-Undang Cipta Kerja.
”Jangan sampai maksud baik pemerintah dipersepsi salah atau sebaliknya di masyarakat. Ini berarti kegagalan komunikasi,” kata Abdul.