Ujian Konsolidasi pada Periode Kedua Jokowi
Beda sikap di kabinet kerap mengemuka selama setahun pertama periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Hal serupa berpotensi kian intens mendekati Pemilu 2024.
”Tidak ada visi-misi menteri, adanya visi-misi Presiden dan Wakil Presiden”. Kalimat itu disampaikan Presiden Joko Widodo saat mengenalkan anggota Kabinet Indonesia Maju di halaman Istana Merdeka, Jakarta, 23 Oktober 2019.
Peringatan mengenai visi-misi tunggal itu pun kembali ditegaskan Presiden saat memberikan arahan dalam sidang kabinet perdana yang digelar sehari setelah penetapan kabinet, 24 Oktober 2019. Presiden bahkan sampai meminta para menterinya untuk mencatat.
”Ini tolong dicatat karena dalam lima tahun yang lalu ada satu, dua, tiga menteri yang masih belum paham mengenai ini,” ujar Presiden kala itu.
Rupanya pengalaman memimpin kabinet pada periode pertama pemerintahannya bersama Jusuf Kalla menjadi pertimbangan Presiden untuk menegaskan tentang tidak adanya visi-misi menteri. Saat itu, tak jarang menteri menyampaikan keterangan yang berbeda kepada publik, bahkan terkesan berbantah dan berdebat mengenai sebuah program atau kebijakan.
Karena itu, dalam rapat kabinet perdana yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan semua menteri, Presiden mengingatkan agar keputusan yang sudah diambil dalam rapat tak perlu diributkan lagi di hadapan publik.
”Kalau ada perubahan-perubahan atas kondisi-kondisi tertentu,
marilah kita tarik lagi dalam rapat internal atau rapat terbatas,” kata Presiden.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun mengingatkan bahwa kerja kabinet adalah kerja tim yang dikoordinasikan para menteri koordinator. Karena itu, para menteri diminta menghilangkan ego sektoral, ego kementerian, karena untuk membangun sebuah negara besar tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri.
Namun, baru lima bulan berjalan, perbedaan pernyataan dari pemerintah sudah dirasakan publik.
Persoalan seputar akibat pandemi Covid-19 langsung menjadi batu
ujian Kabinet Indonesia Maju. Tidak hanya urusan kinerja dan penyerapan anggaran yang lamban, komunikasi yang tidak sinkron juga terus terjadi.
Menjelang libur Idul Fitri 2020, misalnya, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan bahwa pemerintah memperbolehkan masyarakat mudik, tetapi statusnya menjadi orang dalam pemantauan (ODP) Covid-19. Saat itu banyak elemen masyarakat, termasuk ormas Islam, menyerukan masyarakat untuk tidak mudik karena khawatir meningkatkan risiko penularan Covid-19 di daerah.
Pernyataan Fadjroel itu lalu direvisi Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. ”Yang benar adalah: pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang disebarkan melalui grup percakapan Whatsapp pewarta Istana.
Ketidakkompakan kabinet rupanya tercium juga oleh Presiden. Berkali-kali ia mengingatkan agar semua kementerian dan lembaga mengesampingkan ego sektoral, terutama dalam penanganan Covid-19. Upaya pengendalian harus dilakukan secara terpadu agar lebih efektif.
”Tidak ada lagi ego sektoral, ego kementerian, ego lembaga, ego kedaerahan. Apalagi jalan sendiri-sendiri. Itu harus kita hilangkan,” kata Presiden dalam rapat terbatas mengenai percepatan penanganan Covid-19 di Istana Merdeka, Senin (29/6/2020).
Wacana perombakan
Presiden juga melihat kinerja kabinet masih biasa-biasa saja. Langkah luar biasa yang seharusnya ditempuh untuk menghindari krisis multidimensi akibat pandemi tak terlihat, bahkan serapan anggaran masih rendah. Hal itu membuat Presiden jengkel dan meluapkan amarahnya dalam sidang kabinet paripurna, 18 Juni lalu.
Sampai-sampai Jokowi melontarkan ancaman untuk merombak
kabinet. ”Langkah apa pun yang extraordinary (luar biasa) akan
saya lakukan untuk 267 juta rakyat, untuk negara. Bisa saja membubarkan lembaga, bisa reshuffle, sudah kepikiran ke mana-mana saya,”
katanya.
Baca juga: Rangkap Jabatan Menteri Ancam Fokus Kerja
Saat itu, kebetulan banyak masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam penanganan Covid-19, khususnya terkait dengan penyaluran berbagai bantuan sosial dan pemulihan ekonomi nasional. Jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-11 Juli 2020 menunjukkan, 87,8 persen responden tidak puas dengan kinerja menteri.
Kemarahan Jokowi membuat banyak kalangan menduga kabinet akan segera dirombak. Sejak saat itu pula isu perombakan kabinet terus berembus. Pada 22 Agustus, misalnya, muncul kabar semua menteri tak boleh meninggalkan ibu kota karena sewaktu-waktu Presiden akan memanggil. Beredar pula nama 18 menteri yang disebut-sebut akan dicopot dari jabatannya.
Mensesneg Pratikno lantas menepis isu perombakan kabinet itu. Ia menyampaikan, semua menteri tengah berkonsentrasi menangani krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi.
Namun, pernyataan itu tak menghentikan kasak-kusuk tentang perombakan kabinet. Ada yang menyatakan reshuffle dilakukan bulan September, ada pula yang menyampaikan saat satu tahun pemerintahan pada Oktober ini. Namun, nyatanya, sampai saat ini reshuffle kabinet masih sebatas isu.
Pertaruhan
Periode kedua pemerintahan seorang Presiden memang menjadi pertaruhan, tak terkecuali bagi Jokowi. Guncangan dari anggota kabinet berpotensi terjadi, apalagi ketika mendekati pemilu. Demi meraih suara publik pada pemilu selanjutnya, bukan tidak mungkin masing-masing berusaha berebut ”panggung”.
Ini terutama karena Jokowi tak mungkin lagi maju pada pemilu berikutnya. Bisa jadi, guncangan itu lebih besar pada periode kedua Jokowi karena ia bukan pemimpin parpol sehingga mungkin dibutuhkan upaya ekstra untuk bisa mengendalikan gerak koalisi atau menterinya yang berasal dari parpol.
Guncangan itu setidaknya terlihat pada periode kedua pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika mendekati Pemilu 2019, misalnya, parpol-parpol pendukung pemerintah mulai berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Padahal, kala itu Yudhoyono juga Ketua Umum Partai Demokrat, partai pemenang Pemilu 2014.
Berkaca pada hal itu, menurut peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, yang dihubungi pada Senin (19/10), Jokowi harus memiliki kendali penuh terhadap menteri-menterinya.
Caranya, dengan melakukan evaluasi yang berimbang kepada semua menteri, baik yang berasal dari parpol maupun non-parpol. Hasil evaluasi itu yang kemudian dijadikan pertimbangan ketika akan merombak kabinet. Dengan demikian, perombakan tidak melihat pada dukungan parpol ke pemerintahannya.
”Kalau Presiden tidak puas dengan kinerjanya, buat apa dipertahankan. Terlebih lagi menteri punya kewajiban mengelola anggaran triliunan rupiah. Kalau tidak disalurkan untuk kepentingan publik, buat apa dipertahankan,” kata Arya.
Satu tahun pemerintahan
Evaluasi dan konsolidasi kabinet, menurut pengajar ilmu politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, idealnya dilakukan dengan memanfaatkan momen satu tahun pemerintahan.
Evaluasi juga semestinya dilakukan terhadap capaian visi-misi selama satu tahun pertama pemerintahan Jokowi-Amin.
”Jokowi saya kira bisa keluar dari kutukan periode kedua jika bisa melakukan evaluasi atas capaian visi-misinya dalam setahun pertama periode kedua ini. Jokowi masih memiliki waktu, sumber daya, dan dukungan menuntaskan visi-misinya pada periode kedua,” ujarnya.
Para menteri juga perlu fokus pada peranan masing-masing. Tidak ada alasan bagi mereka untuk mengabaikan visi-misi Jokowi-Amin dan lebih mengutamakan kepentingan politik masing-masing.
”Semua program kementerian itu harus dalam kendali visi-misi Jokowi-Amin. Kalau memang sudah tidak sepakat, tidak usah menjadi bagian dari kabinet. Kalau kemudian momentum di dalam kabinet itu dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral, ya, tidak apa-apa asalkan itu tidak terlepas dari visi-misi Jokowi sehingga koordinasi dan sinergi kepemimpinan itu masih terjadi. Kalau tidak, ini bahaya karena kabinet sekadar menjadi pijakan mereka, para politisi, untuk kepentingan lain,” kata Mada.
Soliditas koalisi
Sejauh ini, parpol pendukung Jokowi-Amin mengklaim tidak ada persoalan di internal koalisi.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan, koalisi tetap solid sekalipun pada tahun pertama periode kedua pemerintahan Jokowi dihadapkan pada tantangan yang berat, terutama menghadapi pandemi Covid-19. Kunci soliditas itu, menurut dia, terletak pada komunikasi yang intens.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menambahkan, kalaupun ada perbedaan pandangan di antara parpol koalisi pendukung pemerintah ataupun dengan Presiden, perbedaan itu selalu bisa terjembatani.
”Tentu dinamika dan perbedaan pandangan yang bahkan bisa dilihat di permukaan akan terjadi. Tetapi, begitu kami bertemu dan mencapai sepakat, apa yang kita sepakati akan kita pegang di ruang publik sekali pun,” ujar Arsul.
Baca juga: Setumpuk Harapan kepada Jokowi-Amin
Terkait dengan kinerja para menteri, menurut Arsul, sejauh ini PPP melihat semua masih mengikuti koridor kebijakan dan keputusan Presiden. Kalau terkesan ada kinerja kementerian belum sesuai harapan, faktornya lebih banyak karena langgam kerja menteri bersangkutan. Bukan berarti menteri itu tak mengikuti kehendak Jokowi.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro pun menegaskan, kabinet tetap solid membantu Presiden.
”Presiden memimpin kabinet untuk bekerja sungguh-sungguh dan meningkatkan intensitas saat pandemi ini. Kabinet juga telah menunjukkan kerja secara baik berdasarkan arahan Presiden,” katanya.
Soliditas pemerintahan plus koalisi parpol pendukung pemerintah menjadi kunci untuk membawa bangsa ini keluar dari persoalan-persoalan yang kini dihadapi. Itu pula yang menjadi kunci agar visi-misi Jokowi-Amin bisa terealisasi hingga akhir masa jabatan mereka pada 2024. Dengan bayang-bayang guncangan politik yang sering terjadi pada periode kedua pemerintahan Presiden, konsolidasi menjadi ujian Jokowi pada periode kedua pemerintahannya.