Muktamar IX PPP di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Desember 2020, diharapkan dapat menjadi pintu awal penyatuan seutuhnya partai. Persatuan jadi modal partai untuk bangkit setelah terpuruk pada Pemilu 2019.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyatuan unsur-unsur Partai Persatuan Pembangunan menjadi modal kekuatan partai untuk bangkit dari keterpurukan. Perpecahan kepengurusan PPP masih menyisakan sejumlah persoalan internal sehingga Muktamar IX PPP di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Desember 2020, diharapkan dapat menjadi pintu awal penyatuan seutuhnya partai.
Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat, saat dihubungi, Selasa (3/11/2020), mengatakan, dirinya masih merupakan Ketua Umum PPP dan memiliki struktur kepengurusan hingga tingkat wilayah dan cabang.
Kepengurusan Muktamar Jakarta terbuka untuk persatuan atau islah dengan PPP pimpinan Suharso Monoarfa yang diakui pemerintah. Namun, persatuan itu sebaiknya bukan hanya di mulut, melainkan ditunjukkan dengan aksi nyata berupa pelibatan dan pendayagunaan semua komponen di dalam PPP.
”Penyatuan itu bukan yang bersifat lips service, melainkan penyatuan yang betul-betul bisa merangkul semua pihak. Kalau hanya lips service, itu tidak ada gunanya karena itu bisa dinilai oleh konstituen dan grass root dan juga umat Islam yang menginginkan PPP ini menyatu,” kata Humphrey.
Perpecahan PPP, menurut Humphrey, menjadi salah satu penyebab partai mengalami kemunduran dalam koordinasi mesin partai dan raihan suara dalam Pemilu 2019. Soal mendasar yang harus diselesaikan oleh PPP ialah mengatasi perpecahan di internal partai. Bukan semata-mata terkait dengan organisasi hasil Muktamar Jakarta, melainkan juga semua komponen yang ada di PPP.
”Semua pihak harus dirangkul. Saya terus terang bukan pesimis, melainkan saya melihat tidak ada kebangkitan PPP kalau tidak ada penyatuan. Ini yang harus disadari semua pihak, termasuk yang mau muktamar. Ini tidak bisa hanya di mulut saja. PPP belum ada penyatuan. Saya sudah mencoba mengarah ke sana, tetapi belum jadi agenda bagi pihak lain,” ujarnya.
Humphrey menampik dirinya menginginkan jabatan tertentu. Satu hal yang dikehendakinya ialah penyatuan PPP. Ia pun menilai rasa kecintaan kader di akar rumput kepada PPP masih besar, tetapi perpecahan tidak bisa dibiarkan terus-menerus.
”Bolanya saat ini ada di teman-teman yang akan mengadakan muktamar sebab mereka yang memiliki SK. Saya dari awal bersedia islah untuk dirangkul. Saya minta itu dan malah Suharso menawarkan jabatan kepada saya, tetapi saya tidak mau. Bukan itu maksud saya. Saya mau semua komponen dirangkul. Kalau niat saja belum ada, apalagi melaksanakannya,” katanya.
Sudah dirangkul
Wakil Ketua Umum PPP yang juga Ketua Organizing Committee (OC) Muktamar IX PPP Amir Uskara mengatakan, islah sudah ditunjukkan dengan pelibatan sejumlah pengurus PPP hasil Muktamar Jakarta. Beberapa panitia OC dan Steering Committee (SC/Komite Pengarah) Muktamar IX PPP adalah pendukung PPP Muktamar Jakarta.
Namun, apakah para pendukung Muktamar Jakarta itu akan dimasukkan ke dalam kepengurusan atau struktur partai, hal itu amat tergantung kepada Ketua Umum PPP terpilih dan formatur partai.
”Kami tentu tidak bisa katakan mereka pasti masuk ke dalam struktur partai karena itu kan kewenangan dari ketua umum dan formatur. Namun, hal itu pastilah menjadi pemikiran teman-teman yang masuk ke dalam formatur. Tentu kami tidak mau setelah muktamar ini ada riak-riak lain. Dengan demikian, muktamar ini dapat menuntaskan semua persoalan PPP,” katanya.
Menurut Amir, kondisi partai yang bergulat dengan perpecahan internal memang melelahkan. Konflik internal itu bahkan berlangsung hampir lima tahun sehingga harus diakhiri untuk kebaikan bersama.
Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi mengatakan, nama-nama pendukung Muktamar Jakarta yang menjadi panitia muktamar di Makassar antara lain Ahmad Ghozali Harahap, Joe Hasyim, dan Endin AJ Soefihara.
Sejarah konflik
Berdasarkan catatan Kompas, konflik internal di PPP terjadi pada 2014 atau setelah Suryadharma Ali mundur dari jabatan Ketua Umum PPP pasca-penetapan dirinya sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya, PPP terbelah menjadi kubu Suryadharma Ali dan Romahurmuziy. Kubu Romahurmuziy terlebih dahulu menggelar Muktamar PPP di Surabaya, Jawa Timur, dengan keputusannya menetapkan Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP. Setelah itu, giliran kubu Suryadharma Ali menggelar Muktamar PPP di Jakarta dan menetapkan Djan Faridz sebagai Ketua Umum PPP.
Akibatnya, muncul kepengurusan ganda PPP. Setiap kubu saling mengklaim yang paling benar. Tak sebatas itu, mereka kemudian saling menggugat di pengadilan.
Pada 2016, diupayakan islah melalui Muktamar PPP yang digelar di Pondok Gede, Jakarta Timur. Dari muktamar itu, dihasilkan kepengurusan yang pengurusnya representasi dari kedua kubu yang bertikai, yaitu kubu Muktamar PPP Jakarta dan Surabaya. Meski demikian, konflik tak juga usai. Djan Faridz menolak hasil Muktamar Pondok Gede.
Menjelang Pemilu Presiden 2019, konflik itu kembali tampak di permukaan. PPP kubu Djan Faridz mendukung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, sedangkan PPP kubu Romahurmuziy mendukung kompetitornya, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yang kemudian terpilih pada Pilpres 2019.
Konflik juga tak usai sekalipun Djan Faridz kemudian digantikan oleh Humphrey Djemat, sementara Romahurmuziy digantikan oleh Suharso Monoarfa setelah Romahurmuziy ditangkap tangan korupsi oleh KPK.
Akibat konflik tersebut, raihan suara PPP di Pemilu 2019 turun dari 6,53 persen pada 2014 menjadi 4,52 persen pada 2019. Raihan tersebut merupakan yang terendah sejak PPP pertama kali mengikuti Pemilu 1977.