Komnas HAM: Ubah Pendekatan Penanganan Konflik di Papua
Usai mengungkapkan hasil investigasi penembakan Pendeta Yeremia di Kabupaten Intan Jaya, Papua, Komnas HAM akan laporkan hasilnya ke Menko Polhukam. Pendekatan kekerasan harus dibuang dan diganti sosial-budaya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan melaporkan hasil investigasi kematian Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Komnas HAM juga akan merekomendasikan ke pemerintah untuk mengubah pendekatan penyelesaian konflik bersenjata di Papua. Di tengah situasi yang belum kondusif, Komnas HAM meminta pemerintah tidak menambah jumlah aparat TNI ke wilayah tersebut.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, saat dihubungi, Selasa (3/11/2020), mengatakan, Komnas HAM akan bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD untuk menyerahkan laporan investigasi kematian Pendeta Yeremia. Selain itu, Komnas HAM juga akan memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah.
Pertama, Komnas HAM mendesak pemerintah untuk melakukan penegakan hukum pro-yustisia terhadap para pelaku kekerasan dan pembunuhan. Baik pelaku dari anggota TNI maupun kelompok kriminal bersenjata (KKB) harus diproses hukum. Para pelaku tidak bisa dibiarkan kebal hukum untuk memberikan keadilan bagi korban. Selain itu, Komnas HAM juga berharap ada komitmen dari pemerintah untuk menjamin peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Dalam rentetan kekerasan dan pembunuhan di Intan Jaya Papua, baik sipil maupun militer sudah ada yang menjadi korban. Perlu ada komitmen bersama untuk memutus rantai kekerasan di Papua.
”Dalam rentetan kekerasan dan pembunuhan di Intan Jaya Papua, baik sipil maupun militer sudah ada yang menjadi korban. Perlu ada komitmen bersama untuk memutus rantai kekerasan di Papua,” kata Beka.
Sebelumnya, Komnas HAM mengungkapkan Pendeta Yeremia diduga ditembak dari jarak dekat. Yeremia mengalami luka tembak di lengan sebelah kiri yang diperkirakan dari jarak kurang dari 1 meter. Tim juga meyakini ada penyiksaan sebelum Yeremia ditembak. Sebab, ada luka di lengan kiri dan luka jeratan di bagian leher. Terduga pelaku penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Yeremia adalah prajurit TNI di Komando Rayon Militer Persiapan Hitadipa (Kompas, 3/11/2020).
Akibat rentetan kejadian kekerasan tersebut, Beka menyebut situasi dan kondisi di Intan Jaya saat ini belum kondusif. Oleh karena itu, menambah pasukan TNI yang bukan pasukan organik (satgas) dianggap justru akan memperkeruh suasana. Penambahan pasukan akan menambah trauma masyarakat. Penambahan pasukan non-organik juga dikhawatirkan justru menambah eskalasi dan memperluas konflik.
”Di saat seperti ini, saya kira langkah pemerintah untuk menambah jumlah aparat, terutama non-organik, bukan menjadi solusi. Lagi pula, saat ini di Papua tidak ditetapkan status operasi militer, mengapa harus ditambah pasukan?” kata Beka.
Komnas HAM menilai rentetan kekerasan dan pembunuhan di Papua akhir-akhir ini tidak berdiri sendiri. Ada konflik serius antara sipil dan militer yang membutuhkan pendekatan dialog yang humanis. Menurut dia, ada upaya stigmatisasi dan tuduhan keterlibatan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) kepada sejumlah warga.
Ketika ada pihak-pihak yang coba mengklarifikasi informasi itu pun, sering dikatakan berita bohong atau hoaks. Akibatnya, masyarakat semakin tidak percaya kepada aparat. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin siklus kekerasan akan berulang di tempat yang sama.
”Apakah tidak ada cara lain selain pendekatan keamanan? Mengapa tidak coba berdialog dulu dengan masyarakat dan pemerintah daerah setempat,” kata Beka.
Menurut Beka, penambahan jumlah pasukan non-organik di Papua harus dilakukan dengan menetapkan status keamanan di Papua. Pasukan non-organik dapat ditambah ketika ada status operasi militer atau perang di Papua. Ketika tidak ada perang di Papua, seharusnya penanganan gangguan keamanan cukup dilakukan oleh polisi.
”Masyarakat Papua itu trauma dengan kehadiran militer karena di sana sudah ada siklus kekerasan yang terus berulang. Ini yang kemudian menjadi penghalang komunikasi sipil-militer. Perlu ada dialog dan rekonsiliasi,” kata Beka.
Selain itu, TNI juga seharusnya membekali pasukan yang bertugas di daerah konflik dengan aturan-aturan internasional. Indonesia, misalnya, sudah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berisi tentang larangan penyiksaan terhadap sipil. Aparat penegak hukum di Indonesia, termasuk TNI, harus patuh terhadap ratifikasi internasional ini. Jika seluruh aparat memahami hal itu, diharapkan tidak ada lagi penyiksaan yang dilakukan kepada warga sipil. Apabila ada pelanggaran hukum, sebaiknya pelaku juga diproses secara hukum. Seharusnya tidak ada arogansi aparat dalam penyelesaian konflik di Papua.
Perlu pembekalan sosial-budaya
Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko mengatakan, aparat keamanan baik TNI maupun Polri belum mengedepankan pendekatan sosial-budaya dalam menangani konflik di Papua. Sebagai peneliti masalah Papua, Bambang sudah kerap menyampaikan agar pimpinan dan prajurit TNI/Polri yang akan ditugaskan di Papua mendapatkan pembekalan sosial-budaya dan adat istiadat masyarakat setempat sebelum bertugas. Dengan demikian, akan tercipta pendekatan keamanan yang lebih manusiawi. Selama ini, konflik di Papua masih banyak diselesaikan dengan pendekatan operasi militer atau semata-mata pendekatan keamanan.
”Padahal, konflik di Papua itu kompleks, tidak bisa diselesaikan semata-mata hanya dengan operasi militer. Harus dilacak akar masalahnya dan diselesaikan bersama dengan pemangku kebijakan daerah,” kata Bambang.
Oleh karena itu, sebagai akademisi, Bambang menyarankan agar pemerintah dan panglima TNI mendahulukan komunikasi dengan kepala daerah dalam penanganan konflik di Papua. Kepala daerah harus diajak bicara karena mereka lebih paham situasi dan kondisi setempat. Selama ini, banyak kepala daerah mengeluh karena tidak dianggap oleh pimpinan TNI saat ada penambahan pasukan non-organik di Papua.
Pendekatan keamanan dengan menerjunkan satgas dalam operasi militer, kata Bambang, tidak akan bisa menghentikan konflik keamanan di Papua. Sebab, ada lingkaran setan balas dendam dari masyarakat. Banyak masyarakat yang akhirnya menjadi simpatisan aktif kelompok kriminal bersenjata (KKB) karena ingin balas dendam. Bagi masyarakat Papua, ada semacam prinsip kepala harus diganti dengan kepala. Apabila ada keluarga mereka menjadi korban operasi militer, mereka akan bergerilya memburu prajurit yang terlibat membunuh keluarga mereka. Lingkaran setan ini tidak pernah bisa dihentikan tanpa ada perubahan pendekatan dialogis. Pendekatan itu seharusnya melibatkan tokoh adat, gereja, dan pemda.
”Selain itu, menurut saya juga penting untuk mengoptimalkan struktur organik TNI/Polri di kodim, koramil, polres, atau polsek agar bisa bekerja sama dengan pemda dan kepala daerah dalam menangani konflik di Papua,” kata Bambang.
TNI selalu berusaha bersikap profesional dalam melaksanakan tugasnya, terutama di daerah konflik.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Achmad Riad mengatakan, TNI selalu berusaha bersikap profesional dalam melaksanakan tugasnya, terutama di daerah konflik. Menurut dia, TNI tidak perlu dibekali khusus karena prinsip-prinsip itu sudah melekat di jati diri TNI. Prinsip-prinsip jati diri TNI itu di antaranya mengikuti kebijakan politik negara yang menganut demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum naisonal, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
”Jati diri TNI adalah tentara rakyat, tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia. Selain itu, tentara juga pejuang, tentara nasional, dan profesional,” kata Achmad.
Terkait dengan hasil investigasi Komnas HAM, Achmad mengatakan bahwa TNI berpedoman pada hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Kemenko Polhukam.