Benahi Tata Kelola Parpol agar Pilkada Lebih Berkualitas
Wacana untuk mengubah sistem pilkada langsung kembali muncul. Namun, kalangan masyarakat sipil mengingatkan bahwa hal yang mendesak dibenahi adalah tata kelola partai politik.
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan kepala daerah langsung belum sepenuhnya memenuhi harapan publik untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas. Wacana untuk mengubah sistem pilkada kembali muncul. Namun, masyarakat sipil mengingatkan bahwa yang mendesak dibenahi adalah tata kelola partai politik.
Sebab, masalah yang timbul dari pilkada lebih banyak bersumber dari elite politik. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi hari kedua Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kamis (15/10/2020).
Pada hari kedua, diskusi mengambil tema ”Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada”. Narasumber diskusi itu adalah Kastorius Sinaga, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; Peneliti Indonesia Corruption Watch Almas Sjafrina; dan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Lucius Karus. Diskusi dimoderatori Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte.
Kastorius Sinaga mengatakan, secara institusional pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah di Indonesia sudah melalui perjalanan panjang. Pada masa Orde Lama, yaitu sekitar tahun 1948, sudah ada semangat desentralisasi. Namun, pada saat pergantian rezim ke Orde Baru sekitar tahun 1965, pemerintahan dikembalikan ke pola sentralisasi. Kepala daerah dipilih secara tidak langsung oleh DPRD. Hal itu berlangsung cukup lama selama pemerintahan Soeharto.
Relasi pemerintah pusat dan daerah hanya menjadi patron klien. Pemerintah pusat memiliki kewenangan amat besar untuk menentukan kebijakan di daerah. Baru setelah Reformasi 1998, kembali ada desakan desentralisasi. Lalu, pada periode 2005 kepala daerah kembali dipilih secara langsung. Tahun 2015-2018, bahkan pilkada dilaksanakan secara langsung dan serentak di sejumlah daerah.
”Setelah mengalami perjalanan panjang itu sekarang secara konsep kita hendak menuju proses demokrasi yang berkualitas. Salah satu aspek yang sedang dipertimbangkan adalah membenahi sistem pilkada menjadi lebih baik,” kata Kastorius.
Menurut dia, evaluasi pelaksanaan pilkada langsung yang telah berjalan selama 15 tahun ini belum menunjukkan indikator ideal. Masih ada banyak masalah dalam pelaksaan pilkada di Indonesia. Kepala daerah banyak yang terjerat kasus korupsi karena biaya pilkada yang mahal. Biaya pilkada, misalnya, bisa mencapai Rp 23 miliar. Sementara jika dilihat dari pendapatan kepala daerah, selama satu periode jabatan lima tahun hanya bisa mengumpulkan uang Rp 2 miliar.
Baca juga: Evolusi Sirkulasi Elite Daerah
Kastorius kemudian mengatakan, muncul pertanyaan, dari mana kepala daerah itu mendapatkan modal politik jika akan maju kembali. ”Atau bagaimana mengembalikan modal yang dipakai saat pencalonan? Selain itu, pilkada juga dianggap memunculkan fenomena dinasti politik di daerah. Akibatnya, semakin melanggengkan politik oligarki,” katanya.
Itulah sebabnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membuka wacana untuk melaksanakan pilkada secara asimetris. Wacana itu sudah diperkenalkan sejak 2019. Pilkada asimetris adalah memberlakukan metode pemilihan secara berbeda di masing-masing daerah. Indikatornya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kematangan Demokrasi Daerah.
”Pilkada langsung sebagai wahana perwujudan demokrasi itu sangat baik. Akan tetapi, pemerintah juga tidak bisa abai melihat berbagai permasalahan yang muncul. Kalau dicari apa akar masalahnya? Jangan-jangan di sistem pilkada itu sendiri,” kata Kastorius.
Menurut dia, pilkada asimetris tidak sepenuhnya mencabut metode pemilihan langsung kepala daerah. Pilkada asimetris akan mensyaratkan indikator IPM dan Indeks Kematangan Demokrasi Daerah sebagai penentu metode pemilihan yang digunakan. Pilkada langsung, menurut evaluasi dari Kemendagri, dianggap telah memperpanjang politik identitas, juga biaya demokrasi yang besar.
Baca juga: Ubah Sistem Pilkada Bukan Solusi
Memang, Kastorius tidak memungkiri bahwa pilkada langsung juga telah melahirkan sejumlah pemimpin daerah berprestasi. Misalnya, di Surabaya (Jawa Timur) Banyuwangi (Jatim), hingga Sulawesi Selatan. Namun, dampak negatif dari pelaksanaan pilkada serentak itu juga tetap harus dievaluasi dan diperbaiki.
Mendagri yakin konsep pilkada asimetris ini dapat mengatasi masalah yang ada saat ini. Pilkada asimetris tidak menghilangkan aspek demokratis pemilihan. Nantinya, sistem itu juga bisa dimodifikasi seperti membuat konvensi partai sebelum pemilu dilakukan di DPR. Konvensi akan menentukan cara untuk mendapatkan sosok yang tepat sebagai kandidat kepala daerah. Menurut Kastorius, ide pilkada asimetris ini juga masih terbuka untuk dikritisi.
Korupsi politik
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengkritisi banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Berdasarkan temuan ICW sepanjang 2010-2019, terdapat setidaknya 294 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Jumlah itu masih mungkin bertambah karena data ICW didasarkan analisis pemberitaan media terhadap kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian.
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengatakan, angka tersebut cukup tinggi. Apalagi, jika dilihat lebih detail, ada irisan antara korupsi dengan pemenangan pilkada. Sejumlah tersangka mengatakan modus mereka adalah untuk mengumpulkan modal, atau mengembalikan modal pilkada.
Bahkan, untuk kasus korupsi mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija, secara spesifik dikatakan bahwa motif korupsi adalah untuk keperluan pemenangan pilkada. Dengan motif tersebut, Atty Suharti mengumpulkan dana dari proyek-proyek infrastruktur daerah.
”Ada irisan antara pilkada dan korupsi. Dari temuan kami, memang ada relevansi antara politik uang atau pengeluaran ilegal untuk keperluan pilkada yang biayanya besar,” kata Almas.
Lebih lanjut, Almas mengatakan, berdasar pengakuan para tersangka, biaya tinggi pilkada biasanya terkait dengan mahar politik kepada parpol, suap penyelenggara, dan dana saksi TPS.
Adapun terkait faktor yang menyebabkan kepala daerah korupsi adalah tingginya biaya politik, terutama di pos pengeluaran tak resmi. Selain itu, juga adanya masalah terkait fungsionalisasi parpol, yaitu penentuan kandidat yang didukung dan diusung. Hal lain, juga karena tren hukuman kepala daerah masih rendah sehingga kurang menimbulkan efek jera.
Kajian ICW, rata-rata vonis kepala daerah hanya enam tahun empat bulan. Bahkan, ICW menilai ada disparitas putusan yang mencolok jika dilihat dari kerugian negara. Mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, misalnya, divonis 3 tahun dengan nilai suap Rp 61 miliar. Adapun mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah yang merugikan negara hingga Rp 346 miliar divonis 4 tahun.
Melihat fenomena itu, Almas tidak sepenuhnya setuju dengan usulan pilkada asimetris. Menurut temuan ICW, jumlah anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi juga banyak.
Jumlah anggota DPR atau DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi sepanjang 2010-2019 sebanyak 586 orang. Ini menunjukkan bahwa DPRD juga bukan lembaga yang bersih dari praktik korupsi. Melihat fenomena ini, menurut Almas, usulan pilkada tidak langsung melalui DPRD tidak menyelesaikan akar persoalan.
Elite politik
Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, menyalahkan rakyat soal permasalahan yang sebenarnya berkutat pada level elite politik sangat tidak adil. Persoalan mendesak yang perlu direformasi saat ini adalah tata kelola parpol. Problem yang muncul dalam pilkada saat ini bermuara pada persoalan politik. Misalnya, soal rekrutmen calon kepala daerah yang tertutup dan bergantung pada pimpinan pusat.
Kedua, calon yang direkrut pun tidak melewati tahapan seleksi yang terbuka. Ini semua tergantung pada penugasan parpol yang tidak jelas parameternya. Akibatnya, pencalonan kepala daerah pun rawan terjadi mahar politik yang mahal. Praktik mahar politik ini pun sulit diawasi oleh Bawaslu. Dengan segala persoalan tersebut, seharusnya mendagri mampu mengusulkan kepada DPR tentang revisi UU Parpol.
”Sejak dahulu mengapa yang coba diutak-atik adalah sistem pemilunya, sementara aturan parpol dibiarkan saja. Padahal, muara persoalan ini ada di parpol,” kata Lucius.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menambahkan, jika dilihat dari perspektif pemilih, saat ini pemilih semakin cerdas dan beradaptasi dengan pemilihan langsung kepala daerah. Sementara itu, kontribusi partai politik untuk menghadirkan calon-calon yang akan bertarung di pilkada sangat besar.
Masalahnya, persoalan yang berkelindan dalam pilkada tidak lepas dari tidak berfungsinya kelembagaan parpol secara efektif. Hulu dari persoalan pilkada saat ini adalah pada partai politik. Oleh karena itu, seharusnya hal-hal yang direvisi adalah untuk memastikan fungsi parpol secara efektif seperti penguatan sistem kaderisasi. Selain itu, juga perlu dipikirkan alokasi dana publik untuk penyelenggaraan pilkada.
Peneliti CSIS Arya Fernandes menambahkan, pilkada langsung saat ini adalah opsi paling baik untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan publik sehingga opsi pilkada langsung harus dipertahankan.
Menurut dia, hal-hal yang mendesak untuk diperbaiki adalah proses rekrutmen calon kepala daerah yang harus diatur lebih rinci sehingga rakyat tidak disuguhkan pada pilihan yang terbatas, misalnya, fenomena calon tunggal dan dinasti politik.
Selain itu, penting pula untuk didorong sistem pemilu serentak lokal dan nasional. Jika ada kepala daerah yang tidak bekerja dengan baik, akan terjadi sistem penghukuman untuk pilkada selanjutnya di level nasional. Sistem yang ada saat ini belum memungkinkan adanya penghukuman bagi parpol jika tidak mampu memenuhi harapan publik di tingkat daerah.