Tolak Gugat ke MK, Jejaring Gerakan Rakyat Ancam Demo Besar-besaran Lagi
Sejumlah elemen masyarakat sipil menyatakan akan menggelar unjuk rasa besar-besaran untuk menolak UU Cipta Kerja. Mereka menolak membawa keberatan atas UU itu melalui jalur hukum, yaitu ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jejaring Gerakan Rakyat menolak menguji Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Mereka beralasan, dalam proses penyusunan dan pengesahan UU tersebut, pembentuk UU juga tidak tunduk pada aturan hukum. Sebagai gantinya, mereka akan menggelar demonstrasi besar-besaran pada 20-22 Oktober 2020.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia Nining Elitos dalam telekonferensi pers, Senin (12/10/2020), mengungkapkan, Jejaring Gerakan Rakyat yang terdiri atas 15 gerakan masyarakat sipil tidak memilih uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mempertanyakan sikap presiden yang meminta rakyat menuntut di jalur hukum. Padahal, menurut dia, pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah, pun tidak tunduk pada aturan hukum dalam UU Cipta Kerja.
Jejaring Gerakan Rakyat yang terdiri atas 15 gerakan masyarakat sipil tidak memilih uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut dia, syarat-syarat pembentukan UU yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dilanggar. Di antaranya, terkait asas keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses pembahasan rancangan undang-undang.
”Rakyat jangan dipaksa mengikuti prosedur hukum jika pembentuk undang-undang pun melanggar ketentuan hukum,” kata Nining.
Menurut Nining, dalam situasi genting seperti ini, justru diperlukan konsolidasi agar rakyat tidak hanya menjadi obyek, tetapi terlibat aktif dalam pembentukan perundang-undangan. Rakyat menagih haknya untuk dilibatkan secara aktif sebagai penentu kebijakan.
Nining menambahkan, pengabaian suara rakyat dalam proses legislasi sudah menjadi pola sejak tahun 2019. Ketika ada revisi UU KPK, penolakan publik diabaikan. Sekarang, praktik itu kembali berulang di undang-undang sapu jagat Cipta Kerja. Bahkan, setelah disetujui untuk disahkan pun, beredar banyak sekali versi yang membingungkan publik. Ketiadaan draf final ini pula yang menjadi alasan aliansi Gerakan Rakyat menolak uji materi di MK.
”Tata kelola negara saat ini semakin buruk,” kata Nining.
Pengabaian suara rakyat dalam proses legislasi sudah menjadi pola sejak tahun 2019. Ketika ada revisi UU KPK, penolakan publik diabaikan. Sekarang, praktik itu kembali berulang.
Sementara itu, Jarot Pamungkas dari Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI) mengatakan, pascademonstrasi besar-besaran pada 6-8 Oktober lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga dianggap membungkam suara kritis mahasiswa. Hal ini dilakukan melalui surat edaran Direktur Jenderal di Kemendikbud untuk mengarahkan mahasiswa mengkaji UU Cipta Kerja.
Bagi Jarot, imbauan untuk menguji UU Cipta Kerja ke MK mengandung jebakan sempurna. Sebab, independensi MK yang dipilih oleh presiden dan DPR dipertanyakan setelah revisi UU MK.
”Ada upaya sistematis dari pemerintah untuk mengarahkan mahasiswa agar tidak berdemo, tetapi melakukan kajian ilmiah. Menurut KRPI, ini adalah upaya menghadang pergerakan rakyat,” kata Jarot.
Oleh karena itu, Jejaring Gerakan Rakyat akan kembali turun ke jalan pada 20-22 Oktober. Aksi akan dilakukan serentak di sejumlah daerah di Indonesia. Tanggal tersebut dipilih karena memperingati saat UU sapu jagat (omnibus law) digagas oleh rezim pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Menurut Jejaring Gerakan Rakyat, aksi besar-besaran merupakan bentuk akumulasi kemarahan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan DPR. Ini akibat pembahasan undang-undang yang dilakukan sembunyi-sembunyi, praktik pengesahan undang-undang yang serba cepat, serta menihilkan partisipasi publik. Pada titik itulah, aliansi membutuhkan sikap pembangkangan sebagai penegasan kemarahan dan ketidakpercayaan.
Jejaring Gerakan Rakyat juga menyerukan bahwa mereka akan tetap turun ke jalan untuk memberikan tekanan politik kepada rezim hingga UU Cipta Kerja dicabut. Mereka juga akan membangun persatuan gerakan rakyat akar rumput nasional untuk menguatkan barisan perlawanan dan pembangkangan sipil yang lebih besar dan masif. Ini dilakukan agar rakyat memiliki posisi tawar (bargaining position) di hadapan pemerintah dan DPR.
Jejaring juga tetap akan melakukan konsolidasi, koordinasi, dan membentuk perlawanan dengan berbagai macam taktik di setiap wilayah untuk fokus menolak UU Cipta Kerja. Terakhir, mereka akan melawan segala bentuk kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, teror, dan pembungkaman kebebasan berbicara dan berserikat serta pengerahan kekuatan berlebih dalam penanganan demonstrasi. Baik itu yang dilakukan di jalan, di kampus, maupun di kawasan industri yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat sipil.
Dalam penanganan demonstrasi pun terlihat polisi menggunakan framing dan memfitnah pengkritik sebagai penyebar hoaks.
Kekerasan
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menuturkan, pengerahan kekuatan berlebih serta kekerasan dan intimidasi yang dilakukan polisi terhadap demonstran dan jurnalis, mengonfirmasi bahwa polisi adalah alat pemerintah. Polisi seharusnya dapat bersikap sebagai alat pemerintah yang di dalamnya terdapat tugas melindungi rakyat.
Kekerasan dan pembungkaman suara publik itu, lanjut Asfinawati, terlihat sudah direncanakan melalui telegram Polri tentang larangan demo menolak UU Cipta Kerja. Dalam penanganan demonstrasi pun terlihat polisi menggunakan framing dan memfitnah pengkritik sebagai penyebar hoaks. Bahkan, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ada aktor intelektualis yang menunggangi aksi.
”Jika dilihat, narasi dalang di balik kerusuhan ini sama dengan pola yang diterapkan pemerintah Orde Baru dulu,” kata Asfinawati.
Lebih lanjut Asfinawati menyebutkan, ada skandal besar dalam pengesahan UU Cipta Kerja. Menurut dia, dari proses pembahasan yang tidak transparan, pengesahan yang terburu-buru menunjukkan adanya skandal itu. Apalagi, saat ini masyarakat sedang berperang melawan pandemi sehingga ada banyak keterbatasan partisipasi. Pemerintah pun seharusnya lebih berfokus untuk menangani pandemi Covid-19 yang telah menyerang Indonesia lebih dari tujuh bulan lamanya.
Polisi telah bekerja secara profesional dalam menyikapi aksi demonstrasi yang dilakukan buruh dan mahasiswa pada 6-8 Oktober lalu. Polisi memang melakukan penangkapan terhadap demonstran, tetapi hal itu dilakukan karena tindakan anarkistis.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono sebelumnya mengatakan, polisi telah bekerja secara profesional dalam menyikapi aksi demonstrasi yang dilakukan buruh dan mahasiswa pada 6-8 Oktober lalu. Polisi memang melakukan penangkapan terhadap demonstran, tetapi hal itu dilakukan karena tindakan anarkistis. Namun, jika selama kurun waktu 1 x 24 jam tidak ada bukti permulaan yang cukup, para demonstran yang ditangkap itu akan dipulangkan. Sebaliknya, jika ada bukti permulaan yang cukup untuk dugaan pidana, polisi akan menyidik.
”Dari hasil penyidikan setelah penangkapan itu, ada yang ditahan dan ada juga yang berstatus wajib lapor,” ujar Awi.