Polisi Dinilai Sewenang-wenang Tangani Para Demonstran
Penanganan terhadap para demonstran yang menolak RUU Cipta Kerja pada pekan lalu dinilai berlebihan. Polisi dinilai melakukan kekerasan terhadap demonstran. Namun, Polri menegaskan arapatnya sudah bertindak profesional
Oleh
Edna C Pattisinan dan Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat Kepolisian Negara RI dinilai bertindak sewenang-wenang dalam menangkap para demonstran dan melakukan tidak kekerasan terhadap wartawan. LBH Jakarta menilai banyak terjadi salah tangkap.
”Hingga kini, kami tidak bisa mengakses orang-orang yang ditahan. Dari sekitar 1.000-an orang yang ditangkap di Jakarta, ada 441 yang mengadu kepada kami,” kata Kepala Advokasi dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, Minggu (11/10/2020).
Ada banyak informasi kalau banyak orang yang ditangkap hanya karena berada di sekitar tempat demo. (Nelson Nikodemus Simamora)
Ia mengatakan, hal ini merupakan bentuk tindak sewenang-wenang Polri. ”Ada banyak informasi kalau banyak orang yang ditangkap hanya karena berada di di sekitar tempat demo,” kata Nelson.
Ia pun menyesalkan Polri tidak membuka akses pengacara terhadap orang-orang yang ditangkap pada saat demonstrasi. Ketidaktransparanan ini, menurut Nelson, telah beberapa kali terjadi seperti saat demonstrasi pada 21-22 Mei 2019 dan saat demonstrasi tolak perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi pada bulan September 2019.
Nelson mengatakan, tidak jelas pasal yang mendasari penangkapan orang-orang tersebut. Menurut dia, kalaupun mereka ditangkap karena berbuat rusuh, perlu ada bukti yang kuat.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mengeluarkan pernyataan sikap terkait kekerasan yang dilakukan Polri terhadap jurnalis yang meliput demonstrasi. Kekerasan itu terjadi terhadap para jurnalis tengah meliput adegan kekerasan yang dilakukan Polri.
Anggota Polri seharusnya juga diproses karena melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan. AJI mencatat setidaknya 28 jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Ketua AJI Abdul Manan mengatakan, Polri memengintimidasi wartawan, merusak alat liputan, dan menghapus hasil liputan.
Manan mengatakan, anggota Polri seharusnya juga diproses karena melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan. AJI mencatat setidaknya 28 jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak RUU ”Omnibus Law” Cipta Kerja. Data tersebut dihimpun AJI dari 38 kota dari seluruh Indonesia.
”Di Jakarta paling banyak,” kata Manan.
Selain itu, di Surabaya dan Samarinda juga ada masing-masing enam kasus dan di Semarang dan Palu masing-masing tiga kasus.
Menanggapi dugaan salah tangkap, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono, Senin (12/10), mengatakan, polisi sudah bekerja secara professional. Menurut dia, penangkapan saat demo RUU Cipta Kerja dilakukan saat terjadi tindakan anarkistis. Apabila selama kurun waktu 1 x 24 jam tidak ada bukti permulaan yang cukup, akan dipulangkan. Sebaliknya, jika ada bukti permulaan yang cukup untuk dugaan pidana, polisi akan menyidik.
”Dari hasil penyidikan setelah penangkapan itu, ada yang ditahan dan ada juga yang berstatus wajib lapor,” ujar Awi.
Polisi sudah bekerja secara profesional. Penangkapan saat demo RUU Cipta Kerja dilakukan saat terjadi tindakan anarkistis.
Adapun, terkait dugaan kekerasan terhadap wartawan saat meliput demo UU Cipta Kerja kemarin, Brigjen (Pol) Awi menyesalkan kejadian tersebut. Menurut dia, hal itu akan menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi aparat dalam menghadapi demo anarkistis.
Awi juga menyarankan kepada wartawan untuk lebih berhati-hati saat meliput demo yang rusuh. Untuk menjaga keselamatan wartawan, Awi meminta agar polisi tetap berada di belakang barisan polisi, saat berhadapan dengan massa yang anarkistis.
”Ke depan, kami juga berharap bagi rekan-rekan media yang meliput demo agar dibekali seragam rompi pers dari setiap media dan tanda pengenal sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan tersebut,” kata Awi.
Agar dugaan kekerasan dapat diproses hukum, menurut Awi, wartawan diminta untuk melaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Apabila telah dilaporkan ke SPKT, laporan tersebut akan ditindaklanjuti.