Diduga Sebarkan Hoaks UU Cipta Kerja, Seorang Perempuan Ditangkap di Makassar
FE (36) ditangkap polisi karena diduga menyebarkan hoaks melalui akun Twitter tentang RUU Cipta Kerja. Namun, peneliti SAFEnet, Ika Ningtyas, menilai konten itu tidak bisa dikategorikan sepenuhnya kabar bohong.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang perempuan berinisial FE (36) ditangkap Direktorat Tindak Pidana Siber Polri karena menyebarkan kabar bohong atau hoaks melalui akun Twitter tentang Rancangan UU Cipta Kerja yang disetujui DPR. FE ditangkap di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (8/10/2020) malam, kemudian dibawa ke Mabes Polri, Jakarta.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, di Jakarta, Jumat (9/10/2020), mengatakan, FE ditangkap berdasarkan hasil patroli siber dari Direktorat Tindak Pidana Siber Polri. Melalui akun Twitter @videlyae, FE diduga mengunggah informasi mengenai 12 pasal di UU Sapu Jagat Cipta Kerja.
Sebanyak 12 pasal yang disebarkan itu di antaranya adalah aturan tentang uang pesangon, upah minimum regional (UMR), dan hak cuti yang dihilangkan. Menurut Argo, informasi tersebut salah dan masuk dalam kategori berita bohong. Unggahan tersebut juga dianggap membuat masyarakat terprovokasi.
”Yang bersangkutan mengunggah 12 pasal UU Cipta Kerja setelah disahkan oleh DPR. Kami sudah memiliki catatan waktu kapan dia mengunggah hal tersebut. Informasi yang dia sebarkan juga sangat bertolak belakang dengan pasal yang diatur di UU Cipta Kerja,” kata Argo.
Dalam tangkapan layar yang menjadi barang bukti terlihat, akun @videlyae mengunggah 13 poin dalam RUU Cipta Kerja yang dianggap menyengsarakan rakyat. Dari 13 poin yang disebutkan itu di antaranya uang pesangon dihilangkan, upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dihapus, upah buruh dihitung per jam, semua hak cuti dihilangkan, dan alih daya diganti dengan kontrak seumur hidup.
Selain itu juga tidak akan ada status karyawan tetap, perusahaan dapat melakukan PHK kapan pun secara sepihak, jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, tenaga kasir asing bebas masuk, dan buruh dilarang protes, ancamannya PHK. Libur hari raya juga hanya pada tanggal merah, tidak ada penambahan cuti, serta istirahat di hari Jumat cukup satu jam, termasuk shalat Jumat.
Selain tangkapan layar akun Twitter milik tersangka, polisi juga menyita ponsel dan kartu sim ponselnya. Semua itu akan dijadikan barang bukti untuk penyelidikan kasus penyebaran berita bohong tersebut.
Argo Yuwono menyebutkan, hoaks yang disebar akun tersebut telah memicu eskalasi dan keonaran di mana-mana. Di Makassar, Sulsel, demo besar-besaran juga terjadi untuk menolak RUU Cipta Kerja ini. Kepada penyidik, pelaku mengaku bahwa motif untuk menyebarkan informasi tersebut adalah karena kecewa terhadap regulasi yang disahkan secara cepat dan minim partisipasi masyarakat itu. Apalagi, saat ini posisi tersangka sedang tidak bekerja.
”Tersangka baru kami datangkan semalam dari Makassar, Sulawesi Selatan. Sampai saat ini masih kami periksa dan dalami,” terang Argo.
Atas perbuatan tersebut, tersangka dijerat Pasal 14 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Tindakan represif
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Ika Ningtyas mengatakan, penangkapan FE yang diduga menyebarkan hoaks RUU Cipta Kerja menunjukkan bahwa aparat bersikap represif, baik di ruang nyata maupun ruang maya. Menurut dia, argumen polisi bahwa unggahan di Twitter pelaku penyebar hoaks bersifat provokatif dan menimbulkan keonaran tidaklah terbukti.
Sebab, motif para demonstran turun ke jalan sebenarnya bukan hanya dipengaruhi oleh informasi keliru itu. Banyak demonstran yang turun ke jalan karena memprotes proses legislasi yang cepat, tertutup, dan tidak mendengarkan aspirasi dari rakyat.
Dibandingkan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) lain yang masuk ke DPR, seperti RUU Perlindungan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Data Pribadi, UU Cipta Kerja yang terdiri atas 70 kluster itu terlalu cepat dibahas. Bahkan, pemerintah hanya menargetkan 100 hari pembahasan sebelum disahkan.
”Ini menunjukkan aparat masih bersikap represif dan tidak melindungi warga, baik yang di jalanan maupun di dunia maya. Sepanjang aksi dua hari ini masih terlihat praktik intimidasi dan persekusi yang dilakukan oleh aparat,” kata Ika.
Menurut Ika, dibandingkan dengan menangkap pelaku penyebaran hoaks, pemerintah dan aparat sebaiknya lebih fokus mendengarkan aspirasi masyarakat. Pemerintah selama ini dianggap tidak mendengarkan aspirasi publik dalam proses legislasi, baik itu revisi UU KPK, UU Mineral dan Batubara, maupun UU Sapu Jagat Cipta Kerja. Protes publik adalah wujud dari eskalasi ketika suara mereka ditinggalkan saat proses legislasi.
Lebih lanjut, Ika Ningtyas juga melihat 13 poin UU Cipta Kerja yang diunggah pelaku tidak bisa dikategorikan sepenuhnya kabar bohong. Dalam hal penghapusan upah sektoral, misalnya, hal itu memang diatur dalam draf UU Cipta Kerja final yang beredar di kalangan masyarakat sipil. Nantinya, aturan upah sektoral itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Selain itu, soal penghapusan pesangon, juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, memang ada bentuk pengurangan pesangon yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Kesimpangsiuran informasi yang diperoleh publik itu juga sebagai dampak dari tidak transparannya proses legislasi di DPR.
”Bagaimana masyarakat dapat mengetahui informasi yang pasti jika proses legislasi sampai pengesahan tertutup dan serba cepat? Bahkan, anggota DPR pun tidak mendapatkan draf final sebelum rapat paripurna pengesahan,” kata Ika.
Ika juga khawatir penangkapan pelaku penyebaran hoaks UU Cipta Kerja dapat dijadikan alat untuk membungkam suara kritis masyarakat. Apalagi, berita hoaks yang dimaksud polisi itu tidak berhubungan langsung dengan aksi protes dan demonstrasi.
”Tugas polisi itu melindungi rakyat, bukan mengamankan UU Cipta Kerja demi oligarki,” kata Ika.