Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu\'ti menyatakan, UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR bersama pemerintah masih menyisakan banyak persoalan. Meski begitu, seluruh elemen masyarakat diimbau untuk menahan diri.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah masih menyisakan banyak persoalan. Meski begitu, seluruh elemen masyarakat diimbau untuk menahan diri dengan tidak melakukan unjuk rasa karena dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru.
Imbauan itu salah satunya datang dari Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang disampaikan melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020). ”Sebaiknya semua elemen masyarakat dapat menahan diri dan menerima keputusan DPR sebagai realitas politik,” katanya.
Mu’ti menegaskan, sejak awal Muhammadiyah sudah meminta kepada DPR untuk menunda, bahkan membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Selain karena masih dalam masa darurat pandemi Covid-19, usulan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja juga masih banyak yang kontroversial.
Bukan hanya itu, RUU tersebut juga tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari masyarakat. Padahal, semestinya sebuah RUU disusun dengan pertimbangan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat.
Sejumlah usulan Muhammadiyah dan organisasi lainnya memang diakomodasi oleh DPR. Lima UU terkait dengan pendidikan yang awalnya diusulkan pemerintah akhirnya dikeluarkan dari UU Cipta Kerja.
Soal perizinan ini memang akan diatur dalam peraturan pemerintah. Karena itu, Muhammadiyah akan wait and see bagaimana isi peraturan pemerintahnya.
Meski begitu, menurut Mu’ti, masih banyak masukan yang belum diakomodasi dalam UU Cipta Kerja. Salah satunya beberapa pasal yang mengatur soal perizinan.
”Soal perizinan ini memang akan diatur dalam peraturan pemerintah. Karena itu, Muhammadiyah akan wait and see bagaimana isi peraturan pemerintahnya,” ujar Mu’ti. Karena itu, Muhammadiyah belum memutuskan untuk mengajukan uji materi UU Cipa Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat juga diharapkan memilih jalan konstitusional dengan mengajukan uji materi ke MK apabila menemukan pasal yang memberatkan atau merugikan. Penyampaian keberatan melalui unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan permasalahan baru karena digelar saat Covid-19 belum berhasil dikendalikan.
”Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru,” ujarnya. Tak hanya potensi penularan Covid-19, unjuk rasa juga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial-politik lainnya.
Lebih jauh, menurut Muti, jika elemen masyarakat diimbau menahan diri, pemerintah diminta untuk bisa memahami suasana psikologis dan kekecewaan masyarakat. ”Pemerintah hendaknya tidak menggunakan pendekatan kekuasaan semata dalam menanggapi masyarakat yang kecewa,” kata Mu’ti. Pemerintah semestinya membuka dialog dengan masyarakat, terutama mereka yang keberatan dengan UU Cipta Kerja.
Berdialog
Secara terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo juga mengimbau masyarakat yang belum bisa menerima UU Cipta Kerja untuk memilih berdialog dengan pemerintah dan DPR. Terutama terkait pasal-pasal yang dianggap merugikan masyarakat, khususnya buruh.
Dialog diperlukan agar ditemukan kesepahaman antara pembuat UU dan masyarakat. Jika kesepahaman tak juga ditemukan, Bambang menyarankan agar mengambil langkah konstitusional dengan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke MK.
Pemerintah harus segera melakukan sosialisasi, memberikan penjelasan maksud dari sejumlah pasal atau butir-butir yang dinilai masih bermasalah.
Bambang juga mendorong pemerintah untuk segera melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja. ”Pemerintah harus segera melakukan sosialisasi, memberikan penjelasan maksud dari sejumlah pasal atau butir-butir yang dinilai masih bermasalah,” tuturnya.
Ketentuan yang masih bermasalah di antaranya perihal upah minimum kabupaten/kota (UMK), nilai pesangon, perjanjian kerja waktu tertentu atau kontrak seumur hidup, serta pekerja alih daya (outsourcing); pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan. Selain itu, juga perihal waktu kerja yang dinilai terlalu eksploitatif, hak cuti, ketiadaan jaminan pensiun serta kesehatan bagi pekerja outsourcing, dan kemudahan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.
Sosialisasi, kata Bambang, penting dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama kalangan buruh. Selain itu, juga untuk melawan hoaks terkait UU Cipta Kerja yang marak beredar di masyarakat.