Berkas Perkara ”Red Notice” Joko Tjandra Dinyatakan Lengkap
Saat ini, kejaksaan menunggu pelimpahan tahap II atau penyerahan tersangka dan barang bukti dari penyidik Polri. Mengenai wacana penggabungan surat dakwaan Joko Tjandra, jaksa akan memutuskan setelah pelimpahan tahap II.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persidangan kasus penghapusan Joko Tjandra dari red notice atau daftar pencarian orang Interpol semakin dekat. Hal ini setelah berkas perkara kasus dengan empat tersangka tersebut telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung. Di persidangan kelak, kasus Joko Tjandra diharapkan kian terang benderang, termasuk bisa mengungkap pihak-pihak lain yang terlibat, yang belum terungkap saat penyidikan oleh Polri,
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020), mengatakan, berdasarkan hasil koordinasi penyidik Bareskrim Polri dan jaksa peneliti pada Kejaksaan Agung (Kejagung), berkas perkara red notice itu telah dinyatakan lengkap.
Empat tersangka dalam kasus itu adalah Joko Tjandra dan Tommy Sumardi (pengusaha) sebagai pemberi suap dan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo (mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri) serta Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte (mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri) sebagai penerima suap.
Kasus penghapusan nama Joko Tjandra dari red notice atau daftar pencarian orang (DPO) Interpol mencuat setelah Joko bebas keluar masuk Indonesia pada Juni lalu sekalipun statusnya saat itu masih buron.
Setelah Joko ditangkap Bareskrim Polri, akhir Juli lalu, penyidik menemukan bukti dugaan suap dalam kasus penghapusan Joko dari red notice. Salah satu barang bukti adalah uang 20.000 dollar Amerika Serikat. Joko merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung pada 2009.
Dengan berkas sudah dinyatakan lengkap, Argo melanjutkan, Bareskrim Polri bersama Kejagung akan melakukan koordinasi lebih lanjut untuk pelimpahan tahap II atau penyerahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan.
Dalam kasus red notice ini, penyidik Bareskrim Polri sebenarnya telah melimpahkan berkas penyidikan ke Kejagung, awal September lalu. Namun, setelah diteliti oleh Kejagung, berkas dinyatakan belum lengkap sehingga dikembalikan ke penyidik Polri. Pada 21 September lalu, penyidik kembali menyerahkan berkas ke Kejagung setelah dilengkapi sesuai petunjuk jaksa.
Selain kasus red notice, penyidik juga telah melimpahkan kembali berkas penyidikan kasus dugaan surat jalan palsu untuk Joko Tjandra. Juga berkas perkara untuk tiga tersangka, yaitu Joko Tjandra, Anita Kolopaking (bekas pengacara Joko Tjandra), dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono membenarkan bahwa berkas perkara red notice Joko Tjandra untuk empat tersangka telah dinyatakan lengkap pada Senin (5/10/2020). Selanjutnya, Kejagung menunggu pelimpahan tahap II dari penyidik Polri.
”Kalau nantinya tahap dua diterima penuntut umum, kemudian administrasi penanganan perkara itu bisa diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat atau Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” tambahnya.
Adapun untuk persidangan, akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena kasus itu termasuk kasus korupsi.
Ditanyakan soal wacana penggabungan berkas dakwaan untuk tersangka Joko Tjandra dalam kasus yang ditangani Kejagung dan Polri, Hari mengatakan hal itu jadi kewenangan jaksa penuntut umun. Keputusan baru akan diambil setelah penyidik Bareskrim Polri melakukan pelimpahan tahap II.
”Ada teori penggabungan surat dakwaan terhadap pelaku tindak pidana ketika dia melakukan tindak pidana itu terdakwanya satu orang, tapi dia melakukan beberapa tindak pidana dengan waktu dan tempat yang berbeda,” katanya.
Selain dalam kasus red notice, Joko Tjandra ditetapkan Kejagung sebagai tersangka dalam kasus pengurusan fatwa bebas bagi Joko dari Mahkamah Agung. Kasus ini melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Khusus untuk Pinangki, saat ini sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Keraguan publik
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, mengapresiasi langkah Polri yang sejak awal terbuka dalam menangani kasus yang melibatkan Joko Tjandra sekaligus kecepatannya menangani perkara tersebut.
Meski demikian, menurut dia, publik masih menyimpan keraguan apakah kasus ini dapat dibuka secara terang benderang apabila diselidiki oleh Polri.
Kekhawatiran ada konflik kepentingan dan upaya melindungi institusi pun masih ada. Oleh karena itu, sejak awal sebenarnya publik berharap kasus ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi jika mengacu peraturan perundang-undangan, KPK memiliki tugas menangani kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
”Namun karena ego sektoral yang masih besar, akhirnya kasus tetap ditangani Polri. Sekarang, ketika kasus akan masuk ke persidangan, ini menjadi ujian bagi kewibawaan Polri bagaimana mereka membuka kasus ini secara terang benderang,” kata Abdul.
”Saya berharap Polri jangan tanggung. Unsur korupsinya harus dibuka secara transparan kepada publik. Ini juga untuk menjawab keraguan publik bahwa penanganan perkara oleh polisi serius sesuai asas keadilan hukum,” tambahnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, pun melihat, kasus Joko Tjandra yang melibatkan dua perwira tinggi Polri, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, menjadi ujian bagi wibawa Polri.
Oleh karena itu, unsur dakwaan harus disusun dengan mempertimbangkan pemberian efek jera. Sebab, kasus tersebut melibatkan aparat yang seharusnya menegakkan hukum. Karena ulah mereka, masyarakat tidak percaya pada hukum.
Selain itu, apabila memang ada aliran dana yang diterima keduanya, dakwaan dapat diperluas ke pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Aliran dana harus ditelusuri dengan baik. Ini merupakan upaya pemidanaan maksimal untuk memenuhi unsur pemberatan pemidanaan karena status tersangka adalah penegak hukum.
Kurnia juga berharap di persidangan perkara penghapusan red notice Joko Tjandra nantinya dapat diungkap fakta-fakta baru yang belum terungkap pada masa penyidikan. Misalnya, apakah ada keterlibatan dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam penghapusan nama Joko Tjandra di daftar pelintasan.
Selain itu, apakah ada keterlibatan oknum lain selain Tommy Sumardi yang membantu Joko melobi para perwira tinggi Polri. Hal lainnya, mengungkap dugaan adanya politikus yang terlibat dalam melobi para perwira tinggi Polri.