DPR Minta Pemerintah Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI
DPR meminta pemerintah memperbaiki substansi dalam rancangan perpres yang mengatur pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Pembahasan aturan itu diharapkan tak terburu-buru. Serap masukan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah memperbaiki Rancangan Peraturan Presiden tentang Perbantuan Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Penanganan Terorisme sebelum aturan tersebut dibahas oleh DPR. Dalam pertemuan, Rabu (30/9/2020), DPR telah menyampaikan hal-hal yang perlu diperbaiki kepada pemerintah.
Anggota Komisi III DPR yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Arsul Sani mengatakan, pembicaraan pada Rabu itu dilakukan secara tertutup antara DPR dan pemerintah. DPR diwakili oleh utusan dari Komisi III dan Komisi I, serta unsur pimpinan DPR. Adapun pemerintah diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Dalam pertemuan itu, pemerintah telah menyatakan siap untuk memperbaiki draf rancangan perpres yang sebelumnya diserahkan kepada DPR untuk dibahas. Sejak draf rancangan perpres itu dikirimkan ke DPR hampir empat bulan lalu, belum sekalipun dibahas oleh DPR lantaran dinilai masih ada substansi yang harus diperbaiki oleh pemerintah.
”Masih ditunggu sampai Senin besok. Tepatnya rancangan perbaikan setelah pemerintah mendengarkan apa yang disampaikan oleh DPR, baik berdasarkan aspirasi yang diterima DPR dari kalangan masyarakat sipil maupun dari angggota DPR sendiri,” kata Arsul saat dihubungi. Jumat (2/10/2020).
Menurut Arsul, DPR dapat menyelesaikan pembahasan soal rancangan perpres itu pekan depan jika pemerintah bisa segera memperbaikinya.
Sejumlah perbaikan perlu dilakukan pemerintah karena beberapa substansi di dalam rancangan perpres tidak sejalan dengan semangat undang-undang (UU) induknya, yakni UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No 34/2004 tentang TNI.
Di lapangan, jika aturan dalam rancangan perpres itu diterapkan juga, dikhawatirkan akan terjadi tarik-menarik kewenangan antara polisi dan tentara.
Arsul mengatakan, DPR dapat memahami dalam situasi dan skema tertentu, tentara dibutuhkan untuk mengatasi persoalan terorisme. Namun, harus ada aturan yang jelas pada titik mana hal itu diperlukan. Sebab, merujuk pada UU No 5/2018, pendekatan yang dibangun oleh negara dalam mengatasi terorisme ialah penegakan hukum, bukan pendekatan militer.
”Yang harus ditentukan bukan basis peristiwa terorismenya, tetapi level ancamannya terhadap kepala negara atau terhadap obyek vital nasional. Otoritas yang menentukan level ancaman ini di banyak negara bisa macam-macam. Sebagai contoh, kalau di Inggris yang menentukan adalah perdana menteri. Sementara di Indonesia, sekalipun tidak eksplisit di dalam UU No 15/2018 tetapi kami berharap soal-soal level ancaman itu ditetapkan oleh presiden atau BNPT,” katanya.
UU No 5/2018, antara lain, memberikan porsi kepada BNPT sebagai pihak utama yang bertanggung jawab dalam pencegahan terorisme. Oleh karena itu, menurut Arsul, jika tugas perbantuan TNI diperlukan dalam upaya pencegahan itu, sebaiknya TNI dalam hal ini sifatnya membantu BNPT. Kemudian, dalam upaya itu, tetap BNPT yang merupakan penanggung jawab atau leading sector.
Persoalannya di dalam rancangan perpres, TNI diberi peran untuk menangkal terorisme. Dalam hal ini, menurut Arsul, terjadi ketidakjelasan peran karena penangkalan juga masih merupakan bagian dari pencegahan terorisme yang merupakan kewenangan BNPT menurut UU Terorisme.
Benturan juga berpotensi terjadi antara polisi dan TNI dalam penindakan kasus terorisme. Sebab, UU memberikan kewenangan kepada polisi sebagai penegak hukum untuk menyelidiki dan menyidik kasus-kasus terorisme. Kemudian dalam rancangan perpres, TNI diberikan pula kewenangan penyelidikan.
Hal ini berpotensi mengaburkan peran polisi sebagai penegak hukum dan peran tentara sebagai penjaga kedaulatan. ”Pelibatan TNI dalam penindakan ini berbasis peristiwa terorisme. Yang salah satunya itu tidak diatur secara jelas ialah karena polisi itu punya kewenangan. Lalu, bagaimana kalau dua-duanya jalan. Bagaimana mekanisme koordinasi dan sebagainya,” kata Arsul.
Peran tidak jelas
Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, menambahkan, rancangan perpres yang substansinya kabur itu mencerminkan belum jelasnya pemisahan peran dan tugas antara polisi dan TNI dalam kehidupan bernegara.
Pascareformasi, Indonesia belum memiliki UU Keamanan Nasional atau Keamanan Negara yang secara tegas memisahkan antara keamanan dan ketertiban masyarakat yang berada di bawah kendali kepolisian dan keamanan negara yang berada di bawah kewenangan TNI.
”Sejak 2005, UU itu belum tuntas dibahas. Padahal, itu menjadi UU induk bagi pengaturan yang jelas antara kamtibmas dengan keamanan nasional. Sementara yang sudah ada saat ini ialah UU TNI, UU Polri, yang seharusnya merupakan turunan atau anak dari UU Kamnas itu,” katanya.
Pengaturan yang tidak jelas terhadap peran TNI di dalam penanganan kasus terorisme, menurut Effendi, adalah imbas dari ketiadaan UU Keamanan Nasional yang mengatur perannya bersama polri dalam keamanan nasional. ”TNI di dalam perpres tersebut melakukan tugas perbantuan. Apakah tidak ada kata lain dari perbantuan. Nanti lama kelamaan, TNI menjadi pembantu polisi. Ini harus kita bedakan karena aturan apa pun, apakah itu perpres, keppres, ataupun kepmen, rujukannya adalah UU,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Imparsial, Al Araf, mengatakan, banyak pengaturan di dalam Perpres TNI itu yang bertentangan dengan UU di atasnya, yakni UU TNI dan UU Pemberantasan Terorisme.
Sebagai contoh, di dalam rancangan perpres diatur mengenai pendanaan TNI dalam penanganan terorisme itu dapat berasal dari APBN, APBD, dan pemasukan lainnya. Sementara itu, UU TNI secara tegas mengatur TNI hanya mendapatkan anggaran dari APBN, bukan dari sumber lain.
Hal lainnya ialah ketidakjelasan pada kondisi apa TNI dapat dilibatkan dalam penanganan terorisme. Tanpa kejelasan kondisi itu, dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Dengan berbagai persoalan itu, menurut Al Araf, pemerintah dan DPR sebaiknya tidak terburu-buru membahas rancangan perpres tersebut. ”Sebaiknya sebelum perpres itu disetujui, baik pemerintah maupun DPR mendengarkan masukan dari publik,” katanya.