Tim Gabungan Usut Penembakan Pendeta dan Prajurit TNI di Papua
Tim investigasi gabungan terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat Papua serta akademisi. Komnas HAM mendesak agar pelaku penembakan dihukum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera membentuk tim investigasi gabungan untuk mengungkap kasus penembakan pendeta dan prajurit TNI di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, beberapa waktu lalu.
Tak sebatas mengungkap kasus itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta aparat penegak hukum menghukum para pelakunya. Komnas HAM tidak ingin kasus kekerasan ini bernasib sama dengan kasus-kasus sebelumnya yang tak diproses hukum.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam jumpa pers secara daring, Kamis (1/10/2020), mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menugaskannya untuk mengungkap kasus penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa pada Sabtu, 19 September. Tak hanya mengungkap kasus itu, Presiden juga meminta agar penembakan yang membuat prajurit TNI Pratu Dwi Akbar Utomo tewas, pada hari yang sama, diusut.
Untuk itu, pemerintah berencana membentuk tim investigasi gabungan. Tim akan terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat Papua serta akademisi. ”Tim segera dibentuk dalam waktu dekat ini untuk melaporkan fakta-fakta hasil investigasi kepada Presiden melalui Menko Polhukam,” kata Mahfud.
Pembentukan tim investigasi gabungan dibutuhkan karena pengusutan kasus penembakan oleh kepolisian dihalang-halangi.
Selain itu, Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni ternyata mengendalikan pemerintahan dari luar wilayahnya. Bupati tersebut diduga berada di daerah Kabupaten Teluk Bintuni, yang berada di Papua Barat.
Jangan terhasut
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga mengimbau masyarakat tidak mudah terhasut dengan berbagai peristiwa yang terjadi di Papua, beberapa pekan terakhir. Menurut dia, setiap September atau menjelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), selalu terjadi keributan di Papua.
Kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) yang memiliki agenda memisahkan diri dari Indonesia bekerja sama dengan warga negara asing, ataupun gerakan internal masyarakat, untuk memerdekakan diri.
”Tahun 1963 sudah pernah ada referendum yang dibuat oleh PBB di Papua, itu sudah disahkan dan tidak ada penolakan. Sehingga bagi pemerintah, kebersatuan Papua dan Papua Barat dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sudah final. Tidak ada jalan lain lagi bagi Papua untuk meminta kemerdekaan,” tutur Mahfud.
Secara terpisah, komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengapresiasi langkah pemerintah membentuk tim investigasi gabungan. Menurut dia, langkah tersebut membuktikan keseriusan pemerintah.
Namun, yang tak kalah penting adalah memproses hukum pelaku penembakan. Selama ini, dari pantauan Komnas HAM, banyak kasus kekerasan di Papua yang tidak diproses hukum. Selain menimbulkan rasa ketidakadilan, juga menimbulkan impunitas terhadap pelaku kekerasan.
”Semoga tim yang dibentuk itu bekerja dengan baik dan hasilnya maksimal,” kata Beka.
Komnas HAM, menurut Beka, juga mencoba menginvestasi kasus penembakan pendeta dan prajurit TNI tersebut. Namun, tim investigasi belum bisa mencapai Intan Jaya karena situasi keamanan yang masih rawan. ”Tim kami masih menggali keterangan dari pihak-pihak terkait. Namun, tim memang belum sampai ke Intan Jaya karena situasinya belum reda,” tambahnya.