Lingkaran kekerasan di Papua tidak saja mengorbankan masyarakat, tetapi juga aparat. Setelah penembakan terhadap pendeta di Kabupaten Intan Jaya pekan lalu, lebih dari seribu masyarakat mengungsi karena ketakutan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lingkaran kekerasan yang terjadi di Papua tidak saja mengorbankan masyarakat, tetapi juga aparat. Setelah kasus penembakan pendeta di Kabupaten Intan Jaya pada pekan lalu, lebih dari seribu masyarakat mengungsi karena ketakutan.
”Kami sangat menyayangkan hingga saat ini belum ada reaksi dari pemerintah,” kata Ketua Sinode Gereja Kristen Kemah Injil Indonesia (GKII), dalam konferensi pers yang diadakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Kamis (24/9/2020).
Sekretaris Umum PGI Jacky Manuputty mengatakan, jumpa pers ini diadakan agar pemerintah lebih memberi perhatian pada kekerasan yang terjadi di Papua. Saat ini, warga distrik Hitadipa melarikan diri ke hutan kerena ketakutan. Jumlah mereka diperkirakan mencapai sekitar 1500-1800 orang.
Pendeta Yeremia Zanambani, Pendeta GKII sekaligus tokoh suku Moni, Papua, tewas karena luka tembakan pada Sabtu, 19 September. Yeremia yang berusia sekitar 70 tahun adalah kepala sekolah Alkitab dan penerjemah Alkitab ke bahasa Moni.
Ketua GKII Sinode Wilayah 1 Papua Pendeta Petrus Bonyadone menceritakan kronologi yang terjadi. Yeremia dan istrinya, Miriam, pergi ke kandang babi hari Sabtu sore untuk memberi makan babi.
Mereka sempat bertemu tentara yang tengah menyisir Distrik Hitadipa tersebut karena adanya kontak tembak antara TNI dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) pada Kamis, 17 September. Kontak tembak itu menewaskan seorang prajurit TNI, Serka Sahlan, dan seorang tukang ojek dibacok.
Petrus yang mendapat cerita dari Miriam mengatakan, para tentara itu sempat menuduh Yeremia membawa makanan untuk KKB. Akan tetapi, setelah dijelaskan, para prajurit bisa menerima.
Menjelang malam, Miriam pulang duluan. Namun, ia sempat mendengar tembakan sekitar pukul 18.15 WIT. Ia langsung berbalik menuju ke kandang babi dan melihat Yeremia mengalami luka tembak di bahunya. Saat itu, dua perempuan dan seorang pria yang juga tengah memberi makan babi telah ada di samping Yeremia. ”Pendeta Yeremia yang bilang dia ditembak TNI,” kata Petrus.
Karena berbagai kendala, Yeremia tetap tinggal di tempatnya ditembak ditemani para saksi hingga mengembuskan napas terakhir sekitar tengah malam.
Keesokannya, ada surat dari KKB yang meminta agar Hitadipa dikosongkan karena KKB mau masuk. Pihak TNI juga meminta agar masyarakat pergi sehingga sekitar pukul 14.00 WIT, Minggu 20 September, masyarakat berduyun-duyun masuk ke hutan. ”Mereka lapar dan saya khawatir dengan kesehatan dan pendidikan,” kata Petrus.
Pendeta Andrikus Mofu, Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKII di Tanah Papua, menuntut diadakannya tim independen untuk menginvestigasi kekerasan yang terjadi di Papua.
Ia pun mengatakan, dibutuhkan ruang dialog. Pemerintah tidak bisa hanya menyelesaikan Papua dengan kekerasan atau operasi militer kemudian memberikan dana otonomi khusus (otsus).
Hal senada dikatakan Pendeta Hiskia Rollo sebagai Ketua Majelis Pekerja Harian PGI di Tanah Papua. ”Kami sudah terima otsus, tetapi malah yang terjadi kekerasan terus,” katanya.
Kapolda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw mengatakan, di lokasi tempat pendeta Yeremia ditembak merupakan tempat di mana banyak kelompok KKB.
Saat dikonfirmasi soal apakah Polda Papua akan melakukan investigasi terkait kasus pembunuhan ini, Paulus mengatakan, ia akan segera memberi penjelasan. Adapun Petrus Bonyadone mengatakan, belum ada pemeriksaan peluru. Sementara dua perempuan dan seorang laki-laki yang menjadi saksi saat ini juga tengah mengungsi.