Sanksi Tegas untuk Menindak Kerumunan Massa Selama Pilkada Belum Ada
Penegakan hukum dengan menggunakan hukum pidana umum menjadi satu-satunya solusi untuk menindak pelanggar protokol kesehatan selama tahapan pilkada. Hingga saat ini, KPU belum mengatur sanksi tegas untuk pelanggaran itu.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan Kepala Daerah 2020 memasuki tahapan penetapan pasangan calon, Rabu (23/9/2020) ini. Di tengah tahapan Pilkada 2020 yang sedang berlangsung, belum ada sanksi tegas untuk menindak pelanggar protokol kesehatan. Apabila sanksi tegas tak bisa diatur dalam Undang-Undang Pilkada, solusinya adalah memperkuat penegakan hukum di lapangan.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ratna Dewi Pettalolo, mengatakan, lembaga yang tergabung dalam kelompok kerja (pokja) pencegahan pelanggaran protokol kesehatan pada Pilkada 2020 sudah mendiskusikan celah hukum untuk pelanggar protokol kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (21/9/2020) lalu, disebutkan tentang kemungkinan penggunaan Pasal 69 E UU Pilkada yang mengatur tentang pada saat kampanye dilarang mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi Covid-19 hanya berisi sanksi administratif.
Namun, dari hasil diskusi pokja yang terdiri dari Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, Kejaksaan RI, dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 disimpulkan, kerumunan massa di tengah tahapan pilkada tak bisa langsung ditafsirkan sebagai gangguan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum.
Di sisi lain, lanjutnya, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi Covid-19 hanya berisi sanksi administratif. Dia menilai, sanksi tersebut masih lemah dan menimbulkan dilema ketika pokja menindak pelanggar protokol kesehatan pada tahapan Pilkada 2020.
”Jadi, jalan terbaik untuk mempertegas pengendalian massa adalah diatur di level undang-undang. Namun, hal ini juga tak mungkin karena terbatasnya waktu. Alternatif lain adalah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang -undang (perppu) untuk merumuskan secara jelas subyek yang akan dikenai sanksi,” ujarnya, Selasa (23/9/2020), dalam diskusi daring bertajuk ”Pilkada Pandemi di Antara Kerumunan Massa”.
Jalan terbaik untuk mempertegas pengendalian massa adalah diatur di level undang-undang. Namun, hal ini juga tak mungkin karena terbatasnya waktu. Alternatif lain adalah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang -undang (perppu).
Diskusi juga dihadiri oleh anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, dan peneliti The Indonesian Institute, Rifqi Rachman.
Dewi melanjutkan, Bawaslu menemukan 243 kasus yang terindikasi melanggar protokol kesehatan sewaktu pendaftaran pasangan calon awal September lalu. Tahapan berikutnya yang berpotensi memicu kerumunan massa adalah masa kampanye. Oleh sebab itu, usulan perubahan PKPU Nomor 4/2017 tentang kampanye harus menitikberatkan pengendalian massa.
Penegakan hukum
Apabila perppu tidak memungkinkan dibuat, lanjutnya, pilihan lain adalah memaksimalkan penegakan hukum oleh aparat yang tergabung dalam pokja, dalam hal ini Polri, dengan pendekatan tindak pidana umum. KPU pun melalui revisi PKPU harus mempertegas sanksi ketika terjadi pelanggaran jumlah peserta kampanye.
Dia menambahkan, pengendalian massa dalam Pilkada 2020 tak akan berjalan lancar jika hanya mengandalkan penyelenggara pemilu. Dia mengapresiasi pemerintah daerah yang sudah menerbitkan instruksi untuk membubarkan kampanye jika terjadi kerumunan massa.
”Ini tindakan tepat agar kerumunan massa bisa dihindari,” katanya.
I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, penetapan pasangan calon melalui sidang pleno berjalan tanpa mengundang kandidat. Hasilnya diumumkan di papan pengumuman, situs KPU, dan akun resmi media sosial KPU.
KPU, lanjutnya, juga bersurat kepada pasangan calon yang sudah ditetapkan untuk mematuhi protokol kesehatan ketika pengundian dan pengambilan nomor urut yang berlangsung pada Kamis (24/9/2020). Pasangan calon beserta tim kampanye yang mendatangi KPU diminta melakukan rotasi atau datang secara bergantian.
”Hari ini, bagi pasangan calon yang sudah ditetapkan, meski dalam suasana gembira, jangan sampai mengerahkan massa. Manfaatkan media sosial,” ujarnya.
Dia memastikan, KPU sudah menyosialisasikan tahapan pilkada dengan protokol kesehatan ini kepada semua pasangan calon. Jika terjadi pelanggaran, tak ada lagi alasan pasangan calon tersebut tak mendapat informasi.
Dia melanjutkan, KPU masih merampungkan sejumlah perubahan ketentuan dalam PKPU Nomor 6/2020. Hingga tadi malam, pembahasan masih berjalan. Perubahan ini untuk mengantisipasi kerumunan massa. ”Mudah-mudahan besok sudah diundangkan dan menjadi pegangan penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat,” ujarnya.
Dalam PKPU Nomor 10/2020 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 6/2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19, peserta pilkada masih bisa menggelar pertemuan terbatas serta tatap muka dan dialog dengan batasan peserta 50 orang. Peserta debat publik dibatasi 50 orang dan rapat umum dibatasi 100 orang.
KPU diminta tetap membuka opsi penundaan Pilkada 2020. Ini karena kerumunan massa pada masa kampanye tak sekadar hadir. Mereka adalah bagian dari strategi elektoral.
Selain mencegah dan mengantisipasi kerumunan, KPU pun menyiapkan sejumlah sanksi administratif yang dimungkinkan oleh undang-undang. Sanksi itu antara lain memberikan teguran tertulis, menghentikan kegiatan kampanye, bahkan membubarkan kampanye setelah berkoordinasi dengan Bawaslu. Selain itu, ada juga pelarangan kampanye dalam waktu tertentu berdasarkan jenis kampanye yang dilanggar.
Peneliti The Indonesian Institute, Rifqi Rachman, meminta KPU tetap membuka opsi penundaan Pilkada 2020. Ini karena kerumunan massa pada masa kampanye tak sekadar hadir. Mereka adalah bagian dari strategi elektoral.
Dia khawatir, setiap tahapan pilkada akan memicu kluster baru. Hal ini dibuktikan dengan tahap pendaftaran pada awal September lalu. ”Penundaan pilkada dimungkinkan dalam undang-undang selama disetujui oleh KPU, pemerintah, dan DPR,” ujarnya.