Rencana pemerintah memperpanjang otonomi khusus di Papua dan Papua Barat perlu didahului evaluasi dan penegakan hukum 19 tahun pelaksanaannya selama ini. Hal itu agar rencana perpanjangan itu bisa membawa kemajuan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah memperpanjang otonomi khusus di Papua dan Papua Barat perlu didahului evaluasi dan penegakan hukum terhadap pelaksanaannya selama 19 tahun belakangan ini. Kurangnya pengawasan dan banyaknya penyelewengan membuat otonomi khusus selama ini kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Hal ini disampaikan Imron Cotan, mantan Duta Besar Indonesia untuk China dan Australia, yang juga pemerhati masalah Papua dan politik global, Jumat (18/9/20). Imron mengatakan, selama ini sudah sekitar Rp 130 triliun dana otsus disalurkan ke Papua. Akan tetapi, sektor-sektor yang disasar, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi rakyat, tidak berkembang dengan maksimal. ”Kurang pengawasan, jadinya orang asli Papua jadi tidak mendapat manfaatnya,” kata Imron.
Kurang pengawasan, jadinya orang asli Papua jadi tidak mendapat manfaatnya.
Akibatnya, timbul rasa frustrasi di kalangan masyarakat. Rasa frustrasi ini yang kemudian mudah dimanipulasi sehingga jadi gerakan-gerakan. Imron mengatakan, pemerintah, menurut rencana, akan melakukan beberapa perubahan terkait dengan pengucuran dana otsus setelah Desember 2021. ”Akan ada satuan-satuan jangka pendek dan peranan kuat dari lembaga-lembaga adat dan agama yang akan diakomodasi,” kata Imron.
Pendeta Esmond Walilo, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jayawijaya, Papua, mengatakan, sudah 19 tahun otsus diadakan, tetapi orang Papua tetap merasa menderita. Dana yang datang dari pusat turunnya hanya ke pemerintah daerah. Adapun lembaga adat dan gereja yang membutuhkan harus mengajukan dengan prosedur yang sulit. Sementara banyak pejabat pemda yang diduga melakukan penyelewengan. ”Sudah 19 tahun tidak ada evaluasi. Di Papua itu bupati-bupati jam terbangnya tinggi. Tidak jelas untuk apa mereka jalan-jalan,” kata Esmond.
Masalah penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum pemda ini yang membuat uang otonomi khusus dari pusat tidak turun sampai ke masyarakat. Esmond mengatakan, pernah juga ada bupati-bupati yang diperiksa karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, kasusnya tidak banyak yang berlanjut. ”Menurut saya, perlu evaluasi secara menyeluruh untuk oknum-oknum yang tidak jelas,” kata Esmond.
Saya lihat, seakan-akan terjadi pembiaran terhadap pejabat-pejabat di sini yang menyelewengkan (anggaran otsus).
Secara rinci, Pendeta Alexsander Mauri, yang juga Sekretaris FKUB Jayawijaya, menambahkan, untuk bidang pendidikan misalnya, pemerintah punya program 1.000 doktor. Akan tetapi, dalam perjalanannya banyak siswa yang pulang karena uangnya tidak dikirim. Sementara untuk bidang kesehatan banyak anggaran yang justru habis di tingkat birokrasi. Lembaga agama dan lembaga adat yang mengajukan kebutuhan anggaran dipersulit oleh pemerintah daerah, bahkan terkadang dikaitkan dengan pemihakan saat pilkada.
”Saya lihat, seakan-akan terjadi pembiaran terhadap pejabat-pejabat di sini yang menyelewengkan (anggaran otsus),” kata Alexsnder. Ia mengatakan, evaluasi perlu, tidak saja dilakukan secara menyeluruh, tetapi juga transparan. Evaluasi itu juga harus diikuti dengan penegakan hukum sehingga oknum-oknum yang bersalah akan dihukum. ”Intinya adalah bagaimana pemerintah daerah hadir di hati masyarakat,” kata Alexander.