Tim Kejaksaan Agung kembali menangkap buron kasus korupsi sehingga di tahun ini Kejagung sudah menangkap 66 buron. Namun, Kejagung diingatkan agar segera menangkap 39 buron kasus korupsi yang diduga lari ke luar negeri.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Adhyaksa Monitoring Centre Intelijen Kejaksaan Agung RI bersama tim intelijen Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Jumat (11/9/2020), menangkap Imron Rosadi. Imron merupakan terpidana kasus korupsi yang menjadi buron selama tujuh tahun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono dalam keterangan tertulis, Jumat (11/9/2020), mengatakan, Imron Rosadi ditangkap tim Kejaksaan pada Jumat (11/9/2020) siang di rumahnya di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Adapun Imron Rosadi adalah buron ke-66 yang ditangkap kejaksaan pada tahun ini.
”Yang bersangkutan berhasil ditangkap atau diamankan di tempat tinggalnya di Griya Alam Sentul, Bogor, Jawa Barat, tanpa perlawanan,” kata Hari.
Imron Rosadi adalah mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kota (BPBK) Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Tempat tinggalnya juga tercatat berada di Perumdam, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.
Hari mengatakan, Imron adalah terpidana perkara korupsi pekerjaan pembangunan tiga kantor kelurahan dan sembilan kantor kecamatan tahun anggaran 2006-2007 Kota Bengkulu. Akibat perbuatannya, keuangan negara dirugikan Rp 1,871 miliar.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 379K/Pid.Sus /2012 tanggal 14 Februari 2013, Imron diputus bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana penjara selama empat tahun. Selain itu, Imron juga dipidana denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
”Rencananya, terpidana akan diterbangkan ke Bengkulu untuk menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bengkulu,” ujar Hari.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Yenti Garnasih mengatakan, penangkapan buron oleh tim kejaksaan adalah tanggung jawab dari kejaksaan sebagai eksekutor. Penangkapan itu seharusnya diikuti dengan evaluasi menyeluruh karena ternyata jumlah buron sangat banyak.
”Itu adalah tanggung jawab penegak hukum, jadi sebenarnya bukan kebanggaan atau pencapaian. Sebab, mengapa dulu tinggal mengeksekusi putusan, tetapi tidak segera dilaksanakan,” kata Yenti.
Menurut Yenti, aparat penegak hukum mesti mengevaluasi dan mencari penyebab terpidana menjadi buron. Bisa jadi penyebabnya kelalaian atau mungkin juga ada fasilitas dari oknum penegak hukum. Dengan mencari penyebab dan memperbaikinya, ke depan tak ada lagi terpidana yang buron.
Selain itu, lanjut Yenti, Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya diharapkan segera menangkap 39 buron kasus korupsi yang diduga lari ke luar negeri. Selain melakukan koordinasi antarpenegak hukum, fungsi intelijen juga perlu diperkuat karena sebagaimana kasus Joko S Tjandra, bisa jadi ada dari buron tersebut yang pernah masuk ke Indonesia.