Kuasa Kapital, Oligarki, dan HAM
Perlindungan HAM kerap dijauhkan dari soal politik dan kontestasi lokal. Padahal, trend oligarki dinsinyalir menguat jelang Pilkada 2020. Perlu kejelasan sumber pendanaan dan kampanye kandidat sebagai solusinya.
Kekuatan kapital yang selama ini dominan dikhawatirkan menyandera demokrasi dalam kekuatan oligarki. Untuk mengatasinya, perlu kejelasan sumber pendanaan dan kampanye kandidat saat Pilkada 2020.
Perlindungan hak-hak asasi manusia kerap dijauhkan dari pembicaraan soal politik dan kontestasi lokal. Padahal, kecenderungan oligarki yang menjadi perbincangan di tengah-tengah publik ditengarai menguat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Hal itu menunjukkan celah praktik oligarki yang ”berselingkuh” dengan kontestasi lokal dan ikut mengambil hak-hak warga.
Tidak mudah mengurai benang ruwet ”perselingkuhan” antara politik lokal, praktik oligarki, dan akibatnya pada pelanggaran hal asasi manusia (HAM). Keterkaitan itu berusaha dibaca dari tanda-tanda dan celah yang terbuka lebar bagi masuknya kepentingan pihak-pihak tertentu, orang berkuasa, atau ”orang kuat”, dan pemodal—yang umumnya pengusaha besar dengan kecenderungan pada pengelolaan sumber daya alam (SDA)—terhadap kontestasi lokal selama ini.
Dalam diskusi grup terarah yang diadakan Komisi Nasional HAM, Kamis (30/7/2020), secara daring, pengamat politik dan kebijakan publik Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin, Muhammad Uhaib As’ad, gusar dengan kecenderungan oligarki yang menguat saat pilkada.
Baca Juga: Esensi Demokrasi Terancam
Berdasarkan pengalamannya, sebagai peneliti politik lokal, Uhaib melihat kekuatan uang begitu dominan saat pilkada di Kalimantan. Ia pernah terlibat dalam penelitian politik lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, yang bekerja sama, antara lain, dengan Edward Aspinall, profesor bidang politik dari Australian National University (ANU); dan Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
”Kita paham betul dinamika politik lokal dikendalikan orang-orang kuat yang berlatar belakang pengusaha tambang. Para penguasa lokal inilah yang menjadi cukong dan mengendalikan irama permainan dinamika lokal, dan menjadi bandar yang mensponsori kontetasi elektoral.”
Dari kajiannya, Uhaib menyimpulkan, permainan politik uang saat pilkada sangat dominan. Mereka yang mempunyai uang adalah kelompok berkuasa secara ekonomi, yaitu pemodal dengan penguasaan yang luas atas SDA, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Para pengusaha tak jarang memodali calon kepala daerah yang akan bertarung di pilkada. Dinamika politik lokal, setidaknya yang ditangkap Uhaib di Kalsel, Kateng, dan Kaltim, adalah gambaran kecil fenomena serupa saat pilkada di wilayah lain.
”Kita paham betul dinamika politik lokal dikendalikan orang-orang kuat yang berlatar belakang pengusaha tambang. Para penguasa lokal inilah yang menjadi cukong dan mengendalikan irama permainan dinamika lokal, dan menjadi bandar yang mensponsori kontetasi elektoral,” katanya, lugas.
Menurut Uhaib, akibat demokrasi yang terjebak pada kekuatan kapital, demokrasi akhirnya tersandera kekuatan oligarki. Hanya orang-orang kuat dan mempunyai modal besar yang bisa berkontestasi masuk pilkada. Kalaupun pemilik modal itu tidak menjadi salah satu kontestan, mereka bisa bermain sebagai pemodal yang mengatur irama, seperti menentukan siapa calon bersaing. Adapun rakyat hanya dibutuhkan 5 menit di bilik suara, setelahnya mereka seolah dilupakan.
Hasilnya, kandidat terpilih yang ”disponsori” mau tidak mau akan kompromistis dengan kepentingan pemodal. Kondisi ini bisa menjadi malapetaka bagi daerah-daerah yang kaya SDA. Pasalnya, sebagai kepala daerah, mereka memberi izin konsesi lahan pertambangan, perkebunan, serta segala jenis pengelolaan SDA lainnya. Kontestasi lokal pun menjelma sebagai pasar gelap demokrasi karena muncul pemodal dan penjudi politik yang memperebutkan kursi demi kepentingannya.
”Kepala daerah didikte dengan kebijakan-kebijakan yang harus disesuaikan dengan pihak-pihak yang menjadi bandar saat pilkada. Inilah malapetaka demokrasi saat ini,” kata Uhaib.
HAM terabaikan
Hal senada dipaparkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) lewat catatannya pada 2019. Jatam menyebutkan, isu pengelolaan SDA dan lingkungan terabaikan, khususnya di sektor pertambangan, pengelola, serta investasinya sangat erat dengan momen-momen politik seperti pilkada dan pemilu. Tak heran jika catatan korupsi pun besar. Sepanjang 2019, sedikitnya 29 kepala daerah terjerat korupsi tambang dengan nilai kerugian triliunan rupiah. Hal itu belum dihitung dari kerugian sosial dan ekologis akibat korupsi tambang.
Karut-marut sektor pertambangan itu juga meningkatkan risiko bencana, tak hanya di kawasan sekitar tambang, tetapi juga melebar di kawasan hilir, seperti di Samarinda, Bengkulu, Morowali, dan Konawe Utara. Di sisi lain, ruang gelap pengaturan pertambangan juga memicu konflik, kekerasan, dan pelanggaran hak-hak masyarakat, utamanya masyarakat adat.
”Sektor pertambangan juga menyumbang konflik tak sedikit. Setidaknya terjadi 74 konflik warga dan tambang, 36 kasus kriminalisasi dan serangan terhadap aktivis tolak tambang dengan korban 205 orang,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jatam, beberapa waktu lalu.
Anggota Komnas HAM, Hairansyah, mengakui, pemerintah daerah paling banyak dilaporkan dalam dugaan pelanggaran HAM. Pemda memiliki peran penting dalam proses pemajuan perlindungan HAM di daerah. Kontestasi pilkada yang adil dan jujur sangat menentukan perlindungan HAM di daerah bisa diwujudkan.
”Kecederungan berbagai bentuk pelanggaran HAM tidak terlepas dari proses pilkada. Jika dalam proses itu yang lebih banyak diuntungkan kelompok oligarki, ini menjadi persoalan serius dalam penegakan HAM di Indonesia,” katanya.
”Kecederungan berbagai bentuk pelanggaran HAM tidak terlepas dari proses pilkada. Jika dalam proses itu yang lebih banyak diuntungkan kelompok oligarki, ini menjadi persoalan serius dalam penegakan HAM di Indonesia"
Konstitusi menyebutkan tanggung jawab pemenuhan HAM di tangan negara, termasuk pemda. Sebagai penanggung jawab, pemda yang terpilih seharusnya memberikan perhatian besar pada HAM. Namun, menurut Hairansyah, banyak kasus konflik agraria, SDA, lingkungan hidup, masyarakat adat, kelompok rentan, dan perburuhan yang justru melibatkan pemda sebagai pihak teradu. ”Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian kepala daerah bersangkutan. Pemda bisa berperan selesaikan soal HAM,” ujarnya.
Memengaruhi sistem
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor dalam focus group discussion (FGD) juga mengatakan, oligarki adalah suatu kondisi di mana segelintir orang memiliki kekayaan dan pengaruh menentukan kebijakan dan jalannya pemerintahan. Oligarki muncul karena ketimpangan sumber-sumber kekuasaan dan lemahnya transparansi. Tak terkecuali dalam praktik negara demokrasi, sepanjang masih ada ruang yang tertutup dan elite-elite yang tak tersentuh, baik di partai maupun di luar partai.
Kaum oligarki ini sangat cerdas dan terstruktur dengan baik. Mereka dapat hidup dalam parpol dan organisasi yang menyatakan dirinya demokratis. ”Jadi jangan pernah meremehkan eksistensi mereka karena mereka memiliki persistence (kegigihan) tinggi, serta banyak jurus untuk eksis demi mengamankan kepentingannya,” kata Firman.
Oligarki setidaknya mempunyai lima kepentingan, yaitu memastikan keberlanjutan ekosistem, bisnis, aset, dan kekayaannya; melindungi sumber- sumber dan jalur-jalur kepentingan ekonomi; menghindari redistribusi kekayaan termasuk pajak; memastikan kelancaran segenap urusan terkait bisnis; dan meminta perlakuan istimewa baik dari sisi kecepatan, kepastian, maupun keamanan.
”Untuk mencapai kepentingannya, ada potensi pelanggaran HAM, karena keinginan untuk diperlakukan istimewa itu menimbulkan ketidaksamaan perlakuan bagi semua pihak saat kontestasi, ataupun di tengah kehidupan bermasyarakat,” katanya.
Strategi oligarki pun dilakukan pada semua lini politik. Ia bisa masuk lewat pendekatan perseorangan dengan canggih, halus memikat, seperti mendekati aktor politik atau tokoh politik tertentu. Bahkan, tak jarang dia pun turun sendiri menjadi aktor politik. Oligarki juga masuk ke dalam parpol, yakni mendekati tokoh politik demi memperjuangkan kepentingannya dan institusi parpol itu. Mereka pun bisa menjadi penyandang dana bagi parpol.
”Tentu tak ada makan siang gratis dalam politik. Mereka bisa memengaruhi parpol, media, dan LSM. Bahkan, oligarki bisa masuk memengaruhi sistem politik dan unit-unitnya, seperti eksekutif, legislatif, militer, birokrasi, dan memengaruhi proses kebijakan,” ucap Firman.
Penyebab munculnya oligarki, tambah Firman, ialah disparitas ekonomi yang tajam, lemahnya pelembagaan demokrasi, politik biaya tinggi, dan lemahnya pemberdayaan masyarakat. Sepanjang hal-hal itu tak dapat diatasi, oligarki akan dengan mudah muncul dalam demokrasi. Sebagai sebuah sistem, demokrasi tak dapat mengatasi segala hal.
Oligarki pun menimbulkan sejumlah akibat buruk bagi demokrasi. Demokrasi hanya berjalan parsial, prosedural, dan kedaulatan rakyat terlihat hanya pada momen kontestasi elektoral. Demokrasi juga menjadi hanya melanggengkan oligarki lantaran kebijakan ditentukan oleh invisible hand atau tangan-tangan ”orang kuat” tak terlihat, terbelinya lembaga- lembaga demokrasi, dan pembungkaman masyarakat sipil. Akibatnya, terjadi manipulasi proses politik, mengukuhkan elitisme, dan ketidakseriusan membenahi demokrasi. Kesemuanya itu menumbuhkan benih-benih antidemokrasi.
Yang paling buruk, demokrasi tak segera menyejahterakan rakyat karena kebijakan diarahkan pada pemenuhan eksklusif para elite, pengusaha, dan rekanannya. Muncul pula kartel politik yang menyebabkan lambatnya distribusi kemakmuran.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menuturkan, regulasi buruk, tata kelola parpol yang belum demokratis, lemahnya penegakan hukum, dan kesadaran masyarakat yang rendah berkontribusi kian suburnya oligarki.
Saat pencalonan kepala daerah, Titi mengkritisi pemilihan kandidat yang terpusat di tangan dewan pimpinan pusat partai. Akibatnya, calon yang muncul tak selalu kader terbaik, tetapi bisa jadi diaspora politik yang diuntungkan karena popularitas, kekuatan modal, atau kekerabatan politik. Dari sisi regulasi, ambang batas pencalonan kepala daerah yang terlalu tinggi, baik untuk calon dari parpol maupun perseorangan, menghambat hadirnya calon- calon alternatif.
Upaya membuka transparansi dukungan dana bagi kandidat, misalnya dengan mengatur pelaporan dana kampanye dan membatasi belanja kampanye, belum optimal dan sekadar basa-basi karena tak ada sanksi tegas bagi pelanggar. Pengawasan atas dana kampanye pun bersifat administratif dan tak substantif. Demikian halnya pengaturan politik uang dan mahar politik yang belum sepenuhnya menjadi prioritas pembentuk undang-undang.
”Regulasi buruk, tata kelola parpol yang belum demokratis, lemahnya penegakan hukum, dan kesadaran masyarakat yang rendah berkontribusi kian suburnya oligarki.”
Kaitan antara kekuatan uang dan parpol kini kian menjadi salah satu celah oligarki bercokol. Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti pernah mengusulkan peta jalan (roadmap) pengendalian keuangan parpol pada 2015.
Baca Juga: Pilkada dan Upaya Menjaga Khitah Demokrasi
Parpol merupakan pintu masuk utama jabatan politik dan titik masuk pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, kejelasan sumber pendanaan parpol dan kampanye kandidat ataupun parpol saat pemilihan menjadi kunci.
Dalam rangka konsolidasi demokrasi, sistem keuangan parpol yang efektif dan efisien lebih dari sekadar sebagai tujuan. Sistem keuangan partai politik yang efektif dan efisien juga merupakan sarana memperkuat kontribusi parpol bagi demokratisasi dengan cara membantu menjamin pemilu yang bebas dan adil, meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraannya, serta meningkatkan transparansi dan partisipasi politik warga negara.