Jumlah Pengadilan Tutup karena Covid-19 Terus Bertambah
Mahkamah Agung tengah menyiapkan peraturan yang lebih detail terkait persidangan pidana secara daring. Selain untuk mencegah pegawai atau hakim terinfeksi Covid-19, hal itu bagian dari percepatan transformasi sidang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengadilan menutup pelayanan publik karena pegawainya terindikasi positif Covid-19. Untuk mengantisipasi penumpukan perkara, Mahkamah Agung saat ini tengah menyiapkan peraturan tentang persidangan pidana secara daring atau virtual. Selain regulasi, MA dituntut menyediakan dukungan anggaran untuk menopang sidang virtual.
Awal pekan ini, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) menutup pelayanan publik selama satu pekan sejak Selasa (25/8/2020). Pelayanan publik sepenuhnya ditutup kecuali yang bersifat mendesak.
Bambang Nurcahyono dari Humas PN Jakpus, Selasa (25/8/2020), menyampaikan, penutupan pelayanan publik dimulai sejak 25 Agustus hingga 1 September. Keputusan itu tertuang dalam Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No W10-U/7740/KP.04.2/8/2020 tertanggal 24 Agustus 2020. Surat dikeluarkan setelah sejumlah hakim dan pegawai PN Jakpus dinyatakan reaktif dari hasil tes cepat (rapid test).
Totalnya berjumlah sembilan orang. Mereka pun telah diminta untuk melakukan pemeriksaan tes usap (swab test). ”Saat ini kami masih menunggu hasil tes usap tersebut karena butuh waktu 2-4 hari sampai hasil tes diketahui,” ujar Bambang saat dikonfirmasi ulang, Kamis (27/8/2020).
Akibat penutupan pelayanan publik tersebut, sidang perkara pidana, perdata, korupsi, maupun hubungan industrial ditunda selama sepekan ke depan. Salah satunya sidang dugaan korupsi Jiwasraya. Persidangannya ditunda sampai 7 September mendatang.
Selain PN Jakpus, dua pegawai di lingkungan PN Serang juga dinyatakan positif Covid-19. Meskipun demikian, PN Serang tetap melakukan pelayanan publik. Sejumlah sidang kasus pidana, terutama yang masa penahanannya hampir habis pun, tetap digelar dengan protokol kesehatan. PN Serang hanya memberlakukan pembagian kerja 50:50 untuk pegawai bekerja di kantor dan bekerja dari rumah.
Sebelumnya, di PN Denpasar Bali, pelayanan publik ditutup selama 14 hari karena tiga hakim dan dua pegawai dinyatakan positif terpapar Covid-19. Di Surabaya, Jawa Timur, Pengadilan Agama juga ditutup sementara lantaran tujuh hakim dan 27 pegawai positif Covid-19. Di Pengadilan Negeri Parepare, Sulawesi Selatan, pelayanan juga ditutup menyusul tiga pegawai positif terpapar virus korona.
Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, memang benar ada sejumlah pengadilan yang ditutup karena terkonfirmasi ada hakim dan pegawai positif Covid-19.
Menurut dia, pengadilan rata-rata menutup pelayanan sepekan hingga 14 hari kerja. Penutupan dilakukan untuk penyemprotan disinfektan dan sterilisasi ruangan. Dengan demikian, untuk persidangan, terutama perkara dengan masa penahanan masih lama, disarankan ditunda. Adapun perkara yang sudah hampir habis masa penahanannya tetap disidangkan agar perkara tidak batal demi hukum.
”Ketua MA, kan, juga sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Kerja di Era Normal Baru. Salah satunya mengatur tentang persidangan perkara pidana secara virtual atau telekonferensi untuk mengutamakan keselamatan dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19,” terang Abdullah.
Meskipun demikian, menurut Abdullah, tidak semua perkara pidana dapat disidangkan secara virtual. Kendalanya, sarana prasarana yang belum terpenuhi. Misalnya saat sidang digelar dari lembaga pemasyarakatan, ada yang tidak bisa memenuhi fasilitas karena banyaknya wilayah pengadilan yang dilayani. Selain itu, kerap terjadi masalah teknis jaringan internet saat penyelenggaraan sidang virtual.
Dari sisi pencari keadilan pun, masih banyak yang belum siap dengan persidangan virtual. Ada yang menganggap sidang virtual membebani mereka. Pasalnya, mereka harus mempersiapkan infrastruktur, baik alat komunikasi maupun koneksi internet.
Meskipun ada pro dan kontra, menurut Abdullah, MA saat ini tengah menggodok rancangan peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang akan lebih detail mengatur sidang pidana secara virtual. Langkah tersebut dilakukan sebagai antisipasi dan mitigasi penyebaran virus korona baru.
Dalam aturan itu, akan diatur pedoman sidang perkara pidana yang harus dihadiri terdakwa, saksi, majelis hakim, dan panitera pengganti dalam satu ruangan sidang. Dalam keadaan tertentu, majelis hakim dapat menetapkan persidangan secara virtual. Keadaan tertentu itu misalnya saat kondisi pandemi, sidang yang membahayakan misalnya kasus terorisme, hingga persidangan yang terkendala jarak dan geografis di daerah terpencil. Sidang virtual dapat digelar sepanjang ada pertimbangan keamanan dan keselamatan.
”Pandemi ini menjadi momentum percepatan transformasi sidang manual ke virtual. Sebab, sejak 2018, MA sudah melakukan sidang virtual dengan e-Court dan e-litigasi, tetapi itu masih terbatas pada perkara perdata,” terang Abdullah.
Saat ini, draf perma tersebut sudah ada di pimpinan MA. Selanjutnya, jika disetujui, akan masuk ke proses harmonisasi sebelum diundangkan. Perma juga merupakan pengembangan dari surat keputusan bersama Kementerian Hukum dan HAM, MA, dan aparat penegak hukum pada April lalu. Perma akan mengisi kekosongan hukum acara pidana mengenai persidangan virtual karena Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur hal tersebut.
Penumpukan perkara
Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mengingatkan pengadilan untuk mengantisipasi penumpukan perkara. Meskipun di masa pandemi, para pencari keadilan tetap berharap lembaga peradilan memberikan pelayanan yang berkualitas.
Komisi Yudisial juga berharap pandemi Covid-19 dijadikan momentum percepatan agar semua pengadilan di Indonesia siap menjalankan persidangan virtual. Sebab, menurut pantauan KY, belum semua pengadilan memiliki kesiapan infrastruktur yang memadai. Masih ada yang tidak memiliki fasilitas yang mendukung persidangan virtual. Untuk perkara ringan dan sederhana, Jaja sepakat jika ke depan persidangan diarahkan ke virtual guna menjaga keamanan dari penyebaran Covid-19.
”Selain menyiapkan regulasinya, MA harus menyiapkan anggaran untuk meningkatkan infrastruktur pendukung persidangan virtual atau telekonferensi. Semoga masih ada anggaran untuk itu karena sudah banyak dirasionalisasi untuk penanganan Covid-19,” kata Jaja.