Pelayanan Peradilan yang Cepat Dukung Pemulihan Ekonomi pada Masa Pandemi
Mahkamah Agung diharapkan berperan dalam pemulihan ekonomi seusai pandemi Covid-19. MA bisa memberikan nasihat hukum pada pemerintah dan memberikan kepastian hukum yang dibutuhkan pelaku usaha yang bertahan dari krisis.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah lumpuhnya ekonomi akibat pandemi Covid-19, peradilan dituntut untuk beradaptasi cepat memberikan pelayanan yang mendukung pemulihan ekonomi. Di beberapa negara, momentum pandemi digunakan untuk melakukan transformasi pelayanan peradilan berbasis daring sehingga pelayanan publik, terutama yang berkaitan dengan bisnis, dapat lebih cepat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam diskusi internasional ”Tantangan dan Peran Peradilan dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Pasca Krisis”, Kamis (27/8/2020), mengatakan, berdasarkan data terbaru sudah ada 23,6 juta kasus Covid-19 di dunia. Penyebaran penyakit akibat virus korona baru itu tidak hanya melumpuhkan kesehatan masyarakat, tetapi juga perekonomian dunia. Negara saat ini masih terus berupaya mengatasi dampak pandemi tersebut.
Mahkamah Agung selaku lembaga yudikatif juga sangat berperan dalam pemulihan ekonomi pascakrisis. MA dapat memberikan pendapat dan nasihat hukum terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi.
Mahkamah Agung selaku lembaga yudikatif juga sangat berperan dalam pemulihan ekonomi pascakrisis. MA dapat memberikan pendapat dan nasihat hukum terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Pemerintah akan menghadapi banyak masalah hukum yang membutuhkan respons cepat. MA diharapkan memberikan keadilan dan kepastian hukum apabila ada perkara, termasuk kasus ekonomi.
”Pemerintah sering dihadapkan pada masalah dan dilema hukum sehingga perlu mendapatkan pandangan dan nasihat hukum dari institusi, seperti Mahkamah Agung,” ujar Sri Mulyani dalam diskusi dalam rangkaian HUT Ke-75 MA tersebut.
Sri Mulyani menjelaskan, dalam situasi saat dan pasca krisis, banyak muncul permasalahan hukum, terutama yang berkaitan dengan keadaan darurat dan dampaknya. Misalnya mengenai kontrak kerja dan kondisi force majeure. Semua pemangku kepentingan harus dapat memahami keadaan yang berlangsung. Penanganan perkara hukum pun diharapkan dapat komprehensif dan bijaksana.
Di Indonesia, preseden yang pernah terjadi dan paling dekat adalah krisis ekonomi 1997-1998. Saat itu banyak pengajuan kepailitan dari pelaku usaha. Dalam krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 ini pun diprediksi akan banyak muncul ancaman perekonomian sehingga peradilan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum kepada semua lapisan dunia usaha agar dapat bertahan dari dampak Covid-19.
”Kemenkeu terus bersinergi dengan aparat penegak hukum, terutama saat membuat regulasi penanganan Covid-19. Meskipun banyak mendapatkan kritik soal transparansi, semoga masyarakat dapat melihat niat baik (mens rea) dari peraturan itu,” kata Sri.
MA berupaya untuk bersinergi dari sisi peradilan untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Penegakan hukum yang baik dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemulihan ekonomi.
Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin menambahkan, MA berupaya untuk bersinergi dari sisi peradilan untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Menurut dia, penegakan hukum yang baik dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemulihan ekonomi. Misalnya, dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam dalam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Dalam perspektif hukum perjanjian, ini kerap digunakan sebagai alasan untuk menjustifikasi terjadi force majeure.
Namun, alasan tersebut tidak serta-merta menggugurkan kewajiban para pihak dalam perjanjian bisnis. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal itu hanya berkaitan dengan kewajiban ganti rugi. Perjanjian tetap harus normatif dan solutif melalui restrukturisasi tenggat waktu pembayaran kredit, penyesuaian kualitas layanan, kontrak, dan sebagainya. Para pihak diharapkan membuat perjanjian kerja baru yang memiliki kepastian hukum.
”Lembaga peradilan diharapkan lebih bijaksana dalam menilai keadaan-keadaan force majeure ini. Karena, keputusan yang dihasilkan akan berdampak pada pertimbangan pelaku usaha atau investor,” kata Syarifuddin.
Transformasi pelayanan peradilan
Hakim Agung Kamar Perdata MA Syamsul Ma’arif menambahkan, berdasarkan indeks kemudahan berusaha, Indonesia masih berada di peringkat ke-73 di negara-negara Asia. Indonesia masih kalah dengan Vietnam dan Brunei Darussalam, bahkan tertinggal jauh dengan Thailand, Singapura, dan Malaysia. Dari sisi peradilan, tugas MA ada dua, yaitu penegakan hukum kontrak bisnis serta penyelesaian masalah kebangkrutan.
Menurut Syamsul, MA juga telah melakukan sejumlah pembaruan peradilan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Ketua MA Nomor 043 KMA/SK/II/2017 tentang Pembentukan Kelompok Kerja dalam Rangka Koordinasi Peningkatan Kemudahan Berusaha. Secara prosedural, MA juga telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan berbasis daring e-Court.
MA juga telah melakukan sejumlah pembaruan peradilan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Ketua MA Nomor 043 KMA/SK/II/2017 tentang Pembentukan Kelompok Kerja dalam Rangka Koordinasi Peningkatan Kemudahan Berusaha.
Pemohon perkara perdata sudah dapat mendaftarkan perkara dan melakukan sidang berbasis daring. Salinan putusan pengadilan pun dapat diakses secara elektronik dengan e-litigasi. Khusus untuk perkara perdata di lingkup usaha UMKM, MA juga sudah mengeluarkan kebijakan prosedur gugatan sederhana. Ini dilakukan untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan perkara perdata.
Sementara itu, di negara lain, yaitu Australia, momentum pandemi ini dimanfaatkan untuk transformasi total persidangan berbasis daring. Ketua Hakim Pengadilan Federal Australia James LB Allsop mengatakan, selama pandemi, semua sidang tatap muka di Australia ditutup karena dianggap berbahaya. Hampir semua persidangan dilakukan secara jarak jauh, baik sidang yang dilakukan di pengadilan maupun saat hakim bekerja dari rumah. Pihak-pihak yang berperkara juga ada yang dihadirkan di ruangan sidang ataupun memberikan kesaksian dari rumah atau kantor masing-masing.
”Di Australia, 85-90 persen persidangan sudah menggunakan litigasi daring. Kami meningkatkan kualitas SDM hakim, panitera di beberapa negara bagian agar dapat beradaptasi dengan teknologi,” kata James LB Allsop.
Meskipun demikian, adaptasi ke pelayanan daring di Australia ini juga terganjal sejumlah kendala. Menurut James, kendala yang ditemui adalah kemampuan adaptasi teknologi SDM di pengadilan. Banyak yang masih kesulitan beradaptasi dengan teknologi. Selain itu, juga ada keraguan dari para pencari keadilan mengenai proses persidangan daring. Namun, adaptasi harus terus dilakukan karena ke depan, litigasi daring menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, saat manusia sedang beradaptasi ke kebiasaan baru di tengah ancaman pandemi Covid-19 ini.
Hakim Mahkamah Agung Singapura Vincent Hoong Seng Lei menjelaskan, di Singapura, persidangan juga mayoritas dilakukan secara daring. Hanya perkara-perkara spesifik yang disidangkan di gedung Mahkamah Agung. Pada masa pandemi ini, Mahkamah Agung Singapura menjadikan momentum untuk transformasi layanan peradilan. Di antaranya adalah membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Pada masa pandemi ini, Mahkamah Agung Singapura menjadikan momentum untuk transformasi layanan peradilan. Di antaranya adalah membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Semua pengadilan di bawah MA Singapura harus memastikan protokol kesehatan dan menyelesaikan semua kasus temuan Covid-19. Selain itu, dalam kebijakan hukum yang berkaitan dengan dunia usaha, resolusi sengketa didorong efektif dan tidak berbelit-belit. Ini lantaran pemerintah Singapura menyadari dunia usaha sedang mengalami kontraksi keuangan.
”Kami justru melihat pandemi ini sebagai peluang bagi perubahan pelayanan peradilan. Transformasi total harus dilakukan, baik para hakim, panitera, maupun pihak-pihak lain,” kata Vincent.
Dengan pelayanan berbasis daring, lanjut Vincent, penyelesaian perkara dan sengketa ekonomi dinilai berjalan lebih efisien. MA Singapura juga berupaya untuk menjaga kualitas pelayanan agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap lembaga peradilan. Sebab, jika kepercayaan publik menurun, akan sangat berbahaya bagi penegakan hukum karena masyarakat akan menganggap enteng hukum di suatu negara.
”Lembaga peradilan tetap menjunjung tinggi asas peradilan dan tetap beradaptasi dengan perubahan. Junjung tinggi integritas, transparansi publik, agar masyarakat tetap percaya kepada lembaga peradilan,” kata Vincent.