Tren penggunaan ”influencer” oleh pemerintah dalam mengomunikasikan kebijakan kian mengkhawatirkan karena berpotensi merusak demokrasi. Demokrasi mensyaratkan partisipasi rakyat dalam komunikasi dua arah, bukan searah.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial yang memungkinkan interaksi dua arah antara pemerintah dan masyarakat bisa memperkuat demokrasi. Akan tetapi, selama ini pemerintah ditengarai hanya menggunakan komunikasi searah dan menggunakan influencer yang malah berpotensi merusak demokrasi.
Egi Primayoga dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, berdasarkan penelusuran ICW terkait pengadaan barang dan jasa, ada sekitar Rp 1,29 triliun untuk aktivitas digital pada 2014-2020. Instansi yang paling banyak anggarannya untuk aktivitas digital adalah Kepolisian Negara RI sebesar Rp 937 miliar dan Kementerian Pariwisata senilai Rp 263 miliar.
”Khusus untuk yang influencer, ada anggaran Rp 90,45 miliar dalam jangka waktu itu. Mungkin malah bisa lebih,” kata Egi, Kamis (20/8/2020).
Egi mengatakan, pihaknya menghawatirkan tren influencer (pemengaruh) membuat pemerintah menggunakan jalan pintas. Hal ini mengaburkan substansi kebijakan dan berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik.
Influencer membuat pemerintah menggunakan jalan pintas. Hal ini mengaburkan substansi kebijakan dan berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik.
Hal senada dikatakan oleh Asfinawati dari Yayasan LBH Indonesia yang mengatakan para influencer atau buzzer itu tidak punya basis moral untuk dipertahankan dalam percakapan demokrasi. Sebab, dalam demokrasi, ada partisipasi rakyat yang aktif.
”Bukan pendapat yang dibayar. Publik enggak bisa bedakan mana pendapat pribadi mana iklan,” kata Asfi.
Dalam praktiknya, juga banyak digunakan bot (robot) untuk menunjukkan kuantitas dukungan di media sosial. Bahkan, ada modus menggunakan hadiah uang untuk orang-orang yang meneruskan pesan yang sudah dibuat sebelumnya guna mengampanyekan sesuatu hal. Hal ini terlihat, misalnya, dalam kampanye omnibus law di Twitter.
”Seakan banyak suara yang mendukung omnibus law, padahal itu bayaran,” katanya.
Ia juga menyoroti adanya kecenderungan untuk kill the messenger, pembunuhan karakter dari orang yang memberikan pendapat. Stigmatisasi dibangun sehingga sebagus apa pun pendapat seseorang, kalau dia tidak berasal dari kubu yang sama akan dianggap tidak valid untuk didengar.
”Polarisasi ini terlalu mahal biayanya untuk Indonesia di jangka panjang,” katanya.
Ada karakteristik media sosial yang membuat banyak pihak cenderung menggunakannya untuk komunikasi satu arah.
Sementara Ismail Fahmi dari Drone Emprit mengatakan, seharusnya ada proses demokrasi yang berpindah dari dunia nyata ke dunia maya. Akan tetapi, ada karakteristik media sosial yang membuat banyak pihak cenderung menggunakannya untuk komunikasi satu arah. Karakteristik itu adalah kecenderungan guna menyiarkan daripada keterikatan, memuat daripada diskusi, dan kedangkalan daripada diskusi yang dalam.
Ia mengatakan, memang ada kecenderungan bahwa kebenaran didefinisikan oleh kawanan di media sosial lepas daripada substansinya. Oleh karena itu, solusi yang ia ajukan adalah pemerintah selain menggunakan pemengaruh juga memasang telinga di media sosial. Dengan demikian, terjadi diskusi yang bersifat dua arah. Orang-orang yang punya pendapat berbeda didengarkan juga.
”Asal habis itu jangan lalu di-doxing,” kata Fahmi.