Peringatan 1 Muharam 1442 Hijriah di tengah pandemi Covid-19 mengandung makna dalam bagi kaum Muslimin, baik selaku umat maupun bagian dari warga bangsa. Spirit hijrah menemukan momentumnya, di antaranya spiritualitas.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan 1 Muharam 1442 Hijriah mengandung makna mendalam bagi seluruh kaum Muslimin, baik selaku umat maupun bagian dari warga bangsa. Sebab pada saat inilah, Nabi Muhammad SAW memberi teladan, yakni untuk memupuk semangat perdamaian, kedermawanan, penghargaan tinggi kepada hukum, dan kehidupan spiritual yang lebih baik. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, spirit hijrah itu menemukan momentumnya.
Dua organisasi masyarakat (ormas) Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyerukan agar setiap Muslim meneladani spirit hijrah Rasulullah SAW. Spirit hijrah itu menjadi batu penjuru bagi umat Islam di Indonesia untuk menghadapi pandemi Covid-19, antara lain, untuk selalu menjaga kepekaan dan kepedulian terhadap sesama; memperkuat persatuan dan persaudaraan di antara sesama warga dengan gotong royong, saling menghormati, tolong-menolong; dan meningkatkan kualitas keimanan.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helm Faishal Zaini, saat dihubungi, Kamis (20/8/2020), mengatakan, peristiwa 1 Muharam yang ditandai dengan hijrah Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa agung yang sangat penting bagi sejarah umat Islam. Hijrah adalah metamorfosis gerakan, baik sosial, keagamaan, maupun kebudayaan. Spirit hijrah itu pun perlu kian ditebalkan dalam kondisi bangsa menghadapi pandemi Covid-19.
Peristiwa 1 Muharam yang ditandai dengan hijrah Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa agung yang sangat penting bagi sejarah umat Islam.
Dalam momentum 1 Muharam, PBNU mengajak seluruh umat Islam untuk meneladani sikap, perbuatan, ucapan, dan akhlak Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada empat pesan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan saat khotbah di awal masa hijrah. Empat pesan itu ialah menebarkan salam atau perdamaian; memberi makanan atau bersedekah; menjalin silaturahmi; dan menjalankan shalat malam.
”Dalam hal menebarkan salam, yang dimaksud ialah perdamaian. Dalam konteks berbangsa dan bernegara ada irisan kemiripan dan kesamaan struktur sosiologis masyarakat Madinah kala itu dengan masyarakat Indonesia saat ini. Irisan keduanya pada konteks kemajemukan dan kebinekaan. Keduanya sama-sama majemuk. Maka dalam konteks ini, pesan Nabi Muhammad SAW tidak berhenti pada makna tekstual menebarkan salam, tetapi yang dimaksudkan adalah menebarkan kedamaian serta menciptakan rasa aman bagi siapa pun sesama manusia, terlebih sesama bangsa dan negara,” kata Helmy.
Adapun pesan memberi makanan atau bersedekah, menurut Helmy, Nabi mengingatkan semua umatnya bahwa kepedulian sosial adalah pilar penting dalam bermasyarakat. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun di atas individu-individu yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial kepada sesama, baik konteks beragama (ukhuwah Islamiyah), berbangsa (ukhuwah wathaniyah), ataupun yang lebih mendasar dari itu semua, yakni kepeduliaan kepada kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).
”PBNU mengajak kita semua agar merenungkan baik-baik serta agar lebih belajar menggali lebih dalam lagi pesan-pesan kenabian yang relevan dalam konteks hijrah ini agar kita semua bisa berhijrah dan bertransformasi menjadi pirbadi, sosial, maupun bangsa yang lebih baik, lebih mulia, dan lebih bermartabat,” katanya.
Helmy mengatakan, momentum tahun baru hijriah juga semestinya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bersama-sama melangitkan doa, saling membantu, dan mendukung Indonesia segera diberi kemudahan untuk keluar dari pandemi Covid-19.
Tiga spirit transformasi kehidupan pribadi
Lebih jauh, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, hijrah mengandung tiga pengertian. Pertama, secara bahasa berarti berpindah dari satu tempat berdomisili ke tempat domisili yang lain. Kedua, hijrah secara historis berarti berpindahnya Nabi Muhammad dan para sahabat. Ketiga, hijrah secara spiritual yaitu berhijrah atau meninggalkan semua perbuatan yang dilarang oleh Allah.
”Dalam memperingati tahun baru hijriah, ada tiga spirit yang perlu ditransformasikan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan budaya. Pertama, secara pribadi kita hendaknya melakukan hijrah spiritual untuk menjadi manusia yang lebih baik, berubah dari kebiasaan dan tabiat lama yang tidak baik menuju kebiasaan dan amalan yang utama, dari maksiat menuju tobat, taat, dan takwa. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik,” katanya.
Dalam memperingati tahun baru hijriah, ada tiga spirit yang perlu ditransformasikan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.
Kedua, menurut Mu’ti, spirit hijriah secara sosial ialah memperkuat persaudaraan dan persatuan yang sejati dalam masyarakat yang pluralistis sebagaimana persahabatan muhajirin dan anshar. Rasulullah mempersaudarakan pendatang (muhajirin) dengan penduduk asli (anshar).
Ketiga, secara politik, hijrah memberikan pelajaran tentang masyarakat hukum. Semua warga Madinah terikat dengan Piagam Madinah sebagai ”undang-undang” yang berlaku bagi semua warga Madinah. Muhammad sebagai kepala negara Madinah membangun masyarakat yang mematuhi hukum dan menegakkan hukum secara adil.
”Makna spiritual, sosial, dan politik hijrah itulah yang sekarang ini sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di tengah pandemi Covid-19, semangat persatuan dan persahabatan yang diwujudkan dalam sikap saling menghormati, tolong-menolong, dan gotong royong,” kata Mu’ti.