Sesuaikan Paradigma Pembangunan Masyarakat
Indeks Keadilan Sosial Indonesia yang dirilis Indonesia Social Justice Network tunjukkan kualitas keadilan sosial yang timpang dari 34 provinsi di Indonesia. Ketimpangan sosial harus jadi perhatian pemutus kebijakan.
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan sosial yang terjadi antara bagian barat dan bagian timur Indonesia seharusnya menjadi perhatian pembuat kebijakan agar tidak lagi menyamaratakan paradigma pembangunan antara daerah satu dan daerah yang lain. Sebab, setiap daerah memiliki keunikan tersendiri yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya, kondisi sosial, dan bahkan kondisi geografis, serta potensi sumber daya.
Hasil Indeks Keadilan Sosial Indonesia (IKSI) tahun 2018, yang dirilis oleh Indonesia Social Justice Network (ISJN), Rabu (19/8/2020), menunjukkan kualitas keadilan sosial yang timpang dari 34 provinsi di Indonesia. Delapan metode diukur untuk melihat sejauh mana angka indeks keadilan sosial antardaerah, yaitu pengentasan warga dari kemiskinan, akses layanan pendidikan, akses layanan kesehatan, kohesi sosial dan nondiskriminasi, lapangan kerja inklusif, keadilan antargenerasi, penegakan hukum dan demokrasi, serta tata kelola publik (Kompas.id, 19 Agustus 2020).
Baca Juga: Keadilan Sosial Belum Terwujud, Wilayah Timur Indonesia Paling Tertinggal
Sebagaimana diberitakan, hasil perhitungan IKSI secara nasional ialah 63,46 dari total 100. Artinya, sekitar 63 persen warga Indonesia mampu terpenuhi keadilan sosialnya. Skor IKSI tertinggi didominasi oleh provinsi-provinsi di Jawa dan Sumatera, misalnya DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Kepulauan Riau. Namun, masih terdapat 13 provinsi atau sekitar sepertiga dari total jumlah provinsi di Indonesia yang memiliki skor IKSI di bawah rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki IKSI terendah adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Kalimantan Barat.
Setiap daerah memiliki kekhasan dan potensi masing-masing. Papua, misalnya, diberkahi sumber daya alam yang melimpah. Namun, Papua secara geografis juga lebih sulit dijangkau daripada daerah lain, seperti Jawa dan Sumatera, yang didominasi oleh daratan. Wilayah Papua yang berbukit-bukit menjadikan kawasan itu relatif lebih sulit terjangkau untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini mesti dipahami sebagai suatu persoalan yang harus diselesaikan jika ingin meningkatkan kualitas kesejahteraan warga Papua.
Provinsi-provinsi yang memiliki skor IKSI rendah itu diakibatkan kontribusi masing-masing dimensi yang juga kecil, seperti dimensi pengentasan warga dari kemiskinan, pendidikan, kohesi sosial dan nondiskriminasi, serta keadilan antargenerasi.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati Perkasa yang dihubungi, Kamis (20/8/2020), mengatakan, setiap daerah memiliki kekhasan dan potensi masing-masing. Papua, misalnya, diberkahi sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Namun, Papua secara geografis juga lebih sulit dijangkau daripada daerah lain, seperti Jawa dan Sumatera, yang didominasi oleh daratan. Wilayah Papua yang berbukit-bukit menjadikan kawasan itu relatif lebih sulit terjangkau untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini mesti dipahami sebagai suatu persoalan yang harus diselesaikan jika ingin meningkatkan kualitas kesejahteraan warga Papua.
”Daerah lain, seperti NTT, Maluku, dan Sulawesi, juga memiliki kondisi yang berbeda. Sebagai contoh, SDA NTT terbatas, dan kalaupun ada, pengelolaan SDA itu belum optimal bagi kesejahteraan warga setempat. Oleh karena itu, mesti ada upaya khusus dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk mendorong akselerasi pembangunan kesejahteraan sosial di kawasan ini,” ujarnya.
Daerah-daerah lain di wilayah timur Indonesia, termasuk Maluku, juga khas dengan gugusan pulau-pulau yang hanya bisa dijangkau dengan kapal dan transportasi laut lainnya. Demikian halnya dengan problematika yang ditemui di Kalimantan yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia.
Vidhya mengatakan, berkaca dari luasnya problematika Indonesia timur, kawasan ini tidak dapat didekati dengan hanya satu dimensi. Sebab, setiap daerah memiliki dimensi persoalan yang berbeda-beda. Tidak semata-mata persoalan geografis, tetapi juga sejarah panjang hingga isu rasialisme juga menjadi suatu dimensi yang mesti didekati secara berbeda.
”Peran pemerintah daerah sangat besar untuk mengungkit kesejahteraan sosial ini. Sebab, sebagai contoh Papua, di sana ada problem besar pengelolaan pemerintahan, tidak hanya weak governance (pemerintahan lemah), tetapi bad governance (pemerintahan buruk) yang ditandai dengan korupsi dan buruknya pelayanan publik. Dana otonomi khusus yang besar belum mampu dikelola untuk sebesar-besarnya pelayanan masyarakat, sehingga bukan karena tidak ada dana, tetapi manajemen yang tidak baik dari pembangunan yang berimplikasi pada kualitas SDM yang rendah, dan rentannya konflik akibat isu migrasi,” tutur Vidhya.
Indeks Keadilan Sosial yang dirilis ISJN, menurut Vidhya, menjadi gambaran sangat penting bagi pembuat kebijakan tentang persoalan ketimpangan di Indonesia timur yang masih terjadi. Pemerintah pun dinilai telah melakukan sejumlah upaya untuk mengungkit ketimpangan itu. Salah satunya melalui pembangunan infrastruktur yang diharapkan dapat mengungkit akses bagi ekonomi, sekaligus membuka isolasi lahan dan wilayah yang secara geografis berbukit-bukit.
Namun, pembangunan infrastruktur saja tidak cukup. Sebab, yang dibutuhkan pula ialah perbaikan tata kelola pemerintahan (governance) daerah di wilayah timur Indonesia. Segala bentuk paradigma pembangunan, menurut Vidhya, harus disesuaikan dengan kondisi keperluan masyarakat.
”Kebijakan sebaiknya tidak top down. Misalnya, saat ini yang terjadi ialah musrenbang yang dikooptasi. Adapun suara masyarakat direpresentasikan oleh orang-orang yang tidak memiliki cukup pemahaman akan kebutuhan warga sehingga yang terjadi sering tidak cocok antara kebutuhan dan realisasi pembangunan. Dampaknya ialah marjinalisasi dan munculnya sekat-sekat di bidang sosial, ekonomi, dan politik,” katanya.
Fakta pembangunan
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan, ketimpangan sosial itu memang fakta pembangunan dan nyata adanya hingga saat ini. Kondisi itu tidak ditutupi oleh Kemendagri karena sejak lama isu itu berusaha diatasi. Bahkan, ketimpangan sosial antara Indonesia barat dan Indonesia timur itu menjadi salah satu hal yang turut mendorong gerakan Reformasi, dua dekade lalu.
Bahtiar menjelaskan, selama 10 tahun ini pemerintah bekerja keras untuk mengurangi ketimpangan antara wilayah barat dan timur Indonesia. ”Rencana pembangunan ibu kota negara di Kalimantan Timur adalah contoh nyata upaya Presiden Joko Widodo mengatasi ketimpangan itu. Dengan pemindahan ibu kota, harapannya wilayah timur akan lebih berkembang karena pusat-pusat perdagangan tumbuh dan pengembangan segala lini terjadi di wilayah timur,” katanya.
Upaya membangun Indonesia timur juga dilakukan dengan membangun dermaga laut dan pelabuhan di kawasan itu, seperti di Sorong (Papua Barat), Tual (Maluku), dan Bitung (Sulawesi), serta Kalimantan Utara. Pembangunan infrastruktur laut itu diharapkan dapat memutus rantai arus barang yang semula harus melalui pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa dan Sumatera, kini tidak lagi. Sebab, pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah timur Indonesia itu memberikan akses kepada produsen di wilayah tersebut untuk langsung mengirim barangnya ke pasar atau negara tujuan, tanpa harus melintasi Jawa dan Sumatera.
”Untuk benar-benar seimbang, harus ada kebijakan afirmatif dari pemerintah yang memungkinkan wilayah timur Indonesia mendapatkan proteksi atau dukungan optimal dalam pengembangan ekonomi dan sosialnya. Namun, tidak kalah penting ialah pemberian kesepakatan dalam aspek politik,” kata Bahtiar.
Kemendagri, misalnya, mengusulkan agar dalam penyusunan RUU Pemilu membuka kesempatan bagi makin banyaknya wakil dari daerah untuk menempati posisi di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai contoh, pengaturan jumlah kursi yang mempertimbangkan pula luasan wilayahnya. Pengaturan ini akan memungkinkan lebih banyak wakil di DPR berasal dari daerah-daerah pemilihan yang wilayahnya luas, seperti Sulawesi, Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT.
”Representasi politik ini penting, karena dengan begitu akan lebih banyak orang Indonesia timur yang dapat duduk menjadi wakil rakyat di Senayan. Dengan demikian, mereka turut serta dalam pembuatan kebijakan,” ujarnya.
Pada awal Reformasi, menurut Bahtiar, wilayah Indonesia timur bahkan dijadikan kementerian khusus, yakni dengan nama Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, nama kementerian itu berubah menjadi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Perubahan nomenklatur itu sedikit banyak mengubah fokus dari upaya mengurangi ketimpangan antara wilayah timur dan barat Indonesia, sebagaimana yang menjadi dorongan dalam gerakan Reformasi.
Untuk benar-benar seimbang, harus ada kebijakan afirmatif dari pemerintah yang memungkinkan wilayah timur Indonesia mendapatkan proteksi atau dukungan optimal dalam pengembangan ekonomi dan sosialnya. Namun, tidak kalah penting ialah pemberian kesepakatan dalam aspek politik.
”Namun, bukan berarti pemerintah tidak mengupayakan agar keberimbangan itu terjadi. Dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil, misalnya, ada pemberian kuota khusus bagi Indonesia timur. Di sisi lain, representasi politik diupayakan terus ditingkatkan,” ujarnya.
Baca Juga: Menggugat Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, fakta ketimpangan itu memang menjadi pekerjaan berat yang harus dihadapi oleh pemerintah. Pemerintah pun dinilai telah memberikan komitmen untuk menjaga keberimbangan kesejahteraan sosial antara wilayah barat dan timur Indonesia. ”Presiden Jokowi sebagai contohnya menaikkan dana otonomi khusus dan membangun jalan Trans-Papua. Tinggal sekarang bagaimana pemda setempat merespons hal itu,” katanya.
Pemerintah daerah setempat, menurut Saan, harus pula memiliki kesadaran yang sama dalam mengaplikasikan program untuk pembangunan wilayah. ”Menurut saya, yang dilakukan hari ini sudah riil, dan tinggal bagaimana agar terus didorong agar lebih optimal. DPR pada posisi terus mengingatkan agar pemerintah pusat menopang maksimal pemda. Mereka tidak bisa dibiarkan sendiri dalam memerangi ketidakadilan sosial,” ujarnya.