Aparatur Sipil Negara ”Melawan” Zona Nyaman
Di masa perjuangan kemerdekaan, aparatur negara berani keluar dari zona nyaman untuk ikut berjuang. Kini, 75 tahun setelah Indonesia merdeka, tak sedikit pula aparatur sipil negara yang berani ”melawan” zona nyaman.
Antonius Oktavian (45) terperangah ketika melihat puluhan orang dengan bercak putih dan kemerahan berseliweran di Pasar Hamadi, Jayapura, Papua. Ia bersama tim dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Papua mendekati dan mencoba menyadarkan mereka bahwa penyakit yang diderita itu serius serta perlu segera diobati.
”Ternyata daerah itu kantong kusta,” kenang Antonius pada peristiwa lima tahun lalu.
Prihatin dengan kondisi yang terjadi, pria kelahiran Kota Malang, Jawa Timur, ini menggagas rumah berobat bagi penderita kusta di Jayapura. Ia menamakannya Rumah Sobat. Antonius tak ingin rumah tersebut hanya fokus pada kuratif atau pengobatan. Menurut dia, aspek preventif, promotif, edukatif, serta penambahan keterampilan bagi mereka yang terpapar kusta juga perlu menjadi perhatian.
Yang disasarnya bukan hanya penderita kusta, melainkan juga mantan penderita dan mereka yang diduga pernah berinteraksi dengan penderita.
Di rumah ini, penderita kusta dan mantan penderita selalu diingatkan agar tak putus minum obat. Tim kesehatan pun terus mengedukasi masyarakat soal kusta.
Edukasi penting karena masyarakat Papua cenderung menganggap kusta sebagai penyakit kulit biasa. Padahal, jika tak ditangani dengan cepat, kusta bisa berujung parah, seperti kelumpuhan saraf, luka bernanah yang merusak jaringan, bahkan bisa mengakibatkan amputasi, kecacatan.
”Apalagi, penyakit ini menular,” kata Antonius yang telah menjadi ASN sejak 2001.
Baca juga : Orkestrasi Reformasi Birokrasi
Sepanjang 2019, Rumah Sobat berhasil menampung 123 orang, baik penderita maupun mantan penderita. Namun, Antonius belum puas. Melihat pergerakan kasus kusta yang luas, ia membentuk agen pencari penderita kusta, yang dinamakan Cinta Sobat (Cari dan Temukan Kusta Siap Obati).
Agen yang direkrut merupakan anak-anak sekolah. Teknisnya, agen Cinta Sobat yang telah diedukasi mengenai ciri-ciri fisik penyakit kusta akan mencari teman-temannya yang bergejala kusta. Setelah menemukannya, agen itu langsung melapor ke guru. Lalu, guru tersebut menyampaikannya kepada tim Balitbangkes untuk segera mengobati. Hingga hari ini, 680 anak sudah menjadi agen Cinta Sobat.
Antonius tak pernah menduga Rumah Sobat dan Cinta Sobat berkembang dan dinilai sangat penting bagi masyarakat Papua. Berkat prakarsanya itu, ia dinominasikan sebagai salah satu PNS Inspiratif dalam Anugerah ASN 2019 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB).
Ia hanya berharap, apa yang dilakukannya di Papua direplikasi di daerah-daerah lain agar kasus kusta di Indonesia bisa ditekan. ”Saya bilang ke teman-teman, kita setiap hari menerima gaji. Tiap hari pula seharusnya kita berhitung, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu pembangunan kesehatan, terutama di Papua. Kalau dari hasil hitungan itu tidak ada, berarti kita tak jadi apa-apa,” ujarnya.
Pengobatan glaukoma
Di Jakarta, dokter mata Virna Dwi Oktariana (44) berhasil menciptakan inovasi implan glaukoma yang aman dan murah. Inovasi bernama Virna Glaucoma Implant ini adalah hasil penelitian disertasi Virna pada 2015, yang akhirnya diseriusinya dan didukung perusahaan farmasi Rohto.
ASN sejak 2015 itu menyebut inovasi miliknya tak kalah dengan yang dijual di pasaran. Izin edar pun sudah diperoleh dari Kementerian Kesehatan. Soal harga, inovasi Virna dijual 25-30 persen dari harga pasaran yang bisa mencapai Rp 10 juta.
”Masalah selama ini, harga glaukoma implan mahal. Dengan implan ini, tak perlu impor karena produksi lokal,” ucap Virna yang menjabat Kepala Divisi Glaukoma dan Koordinator Pendidikan Spesialis di Departemen Mata Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kirana.
Glaukoma menjadi penyakit yang tak kalah serius dibandingkan dengan kusta. Penyakit ini menempati posisi kedua penyebab kebutaan di dunia setelah katarak.
Virna pun mengajari dokter mata dari sejumlah daerah agar dapat mengerjakan operasi implan ini. Ia berharap penggunaan implan tersebut meluas. Pasien yang dapat disembuhkan pun makin banyak. Hingga kini, setidaknya 400 pasien terbantu dengan implan inovasinya.
Akibat keberhasilan dan kiprahnya tersebut, Virna meraih piala Adhigana kategori PNS Inspiratif dalam ajang Anugerah ASN Tahun 2019.
Perjuangan kemerdekaan
Antonius dan Virna merupakan segelintir ASN yang inovatif dan mau bekerja ekstra di luar zona nyaman sebagai ASN di tengah banyaknya ASN yang terjebak dalam rutinitas. Kehadiran mereka tak ubahnya seperti segelintir ASN pada masa perjuangan kemerdekaan yang berani meninggalkan zona nyaman bekerja di bawah penjajah demi kemerdekaan Indonesia.
”Selama periode revolusi kemerdekaan, aparatur sipil negara bagian dari elemen bangsa yang berjuang menegakkan kemerdekaan, tentu dengan segala pengorbanannya. Mereka bekerja di bawah situasi ancaman perang dan dengan gaji yang mungkin di bawah standar atau bahkan tak digaji,” tutur sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso.
Rumput liar
Selepas kemerdekaan, etos kerja ASN mengalami perubahan. Kebanyakan ASN terjebak dalam rutinitas. Tak banyak yang memiliki keinginan kuat untuk berinovasi, bekerja ekstra, apalagi bekerja total untuk mengabdi kepada masyarakat.
Menurut Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, perubahan drastis itu terjadi karena ASN dibiarkan seperti rumput liar. ”Kalau sejak diterima sebagai pegawai sampai berpuluh-puluh tahun kemudian dia dibiarkan tak dilatih, dibiarkan seperti rumput liar, ya tidak akan maju-maju. Kita mengharapkan pegawai berkelas internasional, tetapi mereka dibiarkan tumbuh liar,” ucapnya.
Budaya melayani masyarakat, menurut Sofian, seharusnya ditanamkan sejak menjadi ASN dan secara berkala diingatkan. Bersamaan dengan itu, peningkatan kompetensi tak boleh dilupakan. Sayang, lanjut Sofian, perhatian untuk meningkatkan kualitas pegawai belum besar. Padahal, hal ini menjadi modal besar untuk menuju pemerintahan berkelas seperti target pemerintah.
Hal lain yang tak kalah penting ialah sistem birokrasi yang memadai untuk mendukung perubahan aparaturnya. ”Jika sistemnya bobrok, perubahan ke arah yang lebih baik tentu sulit,” katanya.
Baca juga : Membuat Simpel ”Kapal” Birokrasi
Pelaksana Tugas Deputi Sumber Daya Manusia Kemenpan dan RB Teguh Widjinarko menjelaskan, pihaknya terus mendorong kemunculan aparatur negara yang inovatif dan mau bekerja ekstra lewat Anugerah ASN. Harapannya, makin banyak aparatur termotivasi untuk berprestasi dan berinovasi.
”ASN dianggap malas. Ternyata, setelah kita lihat, banyak sekali yang memiliki potensi bagus. Kita juga ingin mendorong anak-anak muda bekerja lebih baik, punya inovasi, yang membuat birokrasi berubah,” ujarnya.
Dengan memilih jalan sebagai ASN, menurut dia, tak ada pilihan selain mengabdi kepada negara dan masyarakat. ”Tak hanya mencari uang, tetapi juga mengabdi karena idealisme mereka,” ucap Teguh.
Antonius, ASN di Papua, bisa berinovasi dengan segala keterbatasan. Begitu pula ASN di masa kemerdekaan. Kiprah mereka hendaknya dapat memotivasi ASN lainnya. Aparatur hakikatnya tetap hadir untuk masyarakat, dalam kondisi sesulit apa pun.