Rencana Bedol Ibu Kota Negara Setelah Pandemi
Pandemi Covid-19 menghantam tatkala perencanaan pemindahan ibu kota negara dan pusat pemerintahan, dari Jakarta ke Kalimantan Timur, bergulir. Lantas bagaimana kabar megaproyek senilai Rp 466 triliun itu?
Setelah pembangunan infrastruktur 2014-2019, misi Presiden Joko Widodo berikutnya adalah pemindahan ibu kota negara dan pusat pemerintahan, dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Namun, tiba-tiba Covid-19 menghantam saat perencanaan sedang bergulir. Lantas bagaimana kabar megaproyek Rp 466 triliun di Bukit Sepaku itu selanjutnya di tengah situasi serba sulit akibat pandemi?
Sejak krisis Covid-19 melanda Indonesia pada awal Maret, Presiden tidak pernah secara terbuka menyinggung proyek pemindahan ibu kota negara dan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Agenda harian yang dibagikan oleh Sekretariat Presiden kepada wartawan di lingkungan Istana Kepresidenan tidak sekali pun berkaitan dengan megaproyek bedol ibu kota negara tersebut. Entah kalau faktanya terjadi di rapat-rapat internal.
Pada rapat terbatas membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 di Istana Kepresidenan di Bogor, Jawa Barat, Selasa (28/7/2020), Presiden menginstruksikan kepada para menteri agar agenda strategis nasional tetap dilanjutkan. Soal apakah salah satu proyek strategis nasional yang dimaksud adalah pemindahan ibu kota negara, Presiden tidak merinci lebih lanjut.
”Saya ingin tekankan lagi, walaupun kita menghadapi kesulitan, kita juga tidak boleh melupakan agenda-agenda besar, agenda-agenda strategis besar bangsa kita, terutama dalam langkah-langkah untuk bisa kita keluar dari middle income trap,” kata Presiden.
Baca juga: Jokowi, Bukit Ainslie, dan Imaji Ibu Kota Baru
Menjawab pertanyaan Kompas, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan, proyek pemindahan ibu kota negara tetap berjalan. Hal itu dilakukan secara realistis dan hati-hati.
”Sampai saat ini, agenda pemindahan ibu kota negara tetap berjalan, omnibus law ibu kota negara segera diajukan ke DPR, dan proses pembangunan infrastruktur ibu kota negara juga berjalan. Di antaranya pembebasan tanah untuk bendungan dan pembangunan tol ke lokasi ibu kota, dilaksanakan secara realistis dan sangat hati-hati,” kata Fadjroel.
Rancangan Undang-Undang tentang pemindahan ibu kota negara sebagai payung hukum, menurut Fadjroel, sedang dalam proses sinkronisasi antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Sekretariat Negara. Pengajuan dan pembahasan di DPR akan dilakukan pada saatnya nanti.
Gagasan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah baru sudah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dalam estafet rezim-rezim berikutnya, gagasan itu sesekali muncul sebagai wacana musiman yang berkembang untuk kemudian rontok dan terurai waktu.
Di masa pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama, wacana ini lagi-lagi muncul. Bedanya, kali ini pemindahan ibu kota tidak sebatas wacana musiman melainkan menjadi flagship alias program unggulan Presiden untuk periode keduanya. Untuk itu, Presiden pada 2017 telah menginstruksikan Bappenas untuk membuat kajian tentang pemindahan ibu kota negara.
Merujuk kajian tersebut, bedol ibu kota negara perlu dilakukan karena daya dukung Jakarta sudah tidak kompatibel lagi jika harus menjadi pusat berbagai urusan sekaligus, mulai pusat pemerintahan, ibu kota negara, bisnis, keuangan, jasa, perdagangan, pelabuhan utama di Indonesia, sampai urbanisasi. Lagi pula, penduduknya sudah terlalu padat.
Pada saat yang sama, bedol ibu kota negara ke luar Jawa diharapkan memicu pemerataan pertumbuhan ekonomi. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, Jawa dan Sumatera selalu mendominasi perekonomian nasional. Sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai rata-rata 80 persen per tahun.
Adapun konsep ibu kota negara baru di Kalimantan Timur adalah forest city dan smart city. Total lahan yang dicadangkan mencapai 180 hektar (ha). Alokasi untuk kawasan ibu kota negara adalah 40.000 ha. Di dalamnya terdapat kawasan inti seluas 6.000 ha.
Kawasan inti ditujukan untuk Istana Negara, kantor lembaga negara, botanical garden, kompleks diplomatik, markas besar TNI dan Polri, serta hunian untuk para pejabat negara mulai presiden-wakil presiden, para menteri, pimpinan lembaga, sampai pejabat eselon I dan II.
Kawasan ibu kota negara di luar kawasan inti ditujukan untuk permukiman aparatur sipil negara/TNI/Polri, sarana-prasana dasar, taman budaya, perguruan tinggi, science techno park, sport center, museum, pusat perbelanjaan, pusat riset dan pengembangan, dan pangkalan militer. Sementara kawasan di luar 40.000 hektar akan dimanfaatkan sebagai taman nasional, kawasan permukiman, kota metropolitan, dan wilayah pengembangan sekitar.
Pembangunan periode 2021-2024 difokuskan untuk membangun kawasan inti tersebut. Pelaksanaannya terdiri atas dua tahap besar, yakni perencanaan dan pembangunan. Targetnya, operasional ibu kota negara dan pusat pemerintah mulai pindah ke Bukit Sepaku di Kalimantan Timur pada 2024.
Perencanaan terbagi atas dua periode. Periode 2017-2019 untuk penyusunan dan penyelesaian kajian teknokratik. Periode 2020 untuk penyusunan regulasi, kelembagaan, rencana induk kota, dan perencanaan teknis kawasan.
Untuk pembangunan, pemerintah merencanakan soft groundbreaking pada akhir 2020 dilanjutkan groundbreaking kawasan dan pembangunan infrastruktur dasar pada 2021. Periode 2022-2024 adalah pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan dan pembangunan kawasan ibu kota negara. Ini adalah rencana sebelum Covid-19.
”Pandemi Covid-19 ini berdampak pada proses persiapan rencana pemindahan ibu kota negara, di mana awalnya pemerintah merencanakan untuk melakukan soft groundbreaking di akhir 2020 dengan membangun jalan akses dari Balikpapan ke lokasi ibu kota negara menjadi mundur di semester I-2021,” kata Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata menjawab pertanyaan Kompas secara tertulis.
Baca juga: Tak Sekadar Tinggalkan Ibu Kota Negara
Dengan demikian, Rudy melanjutkan, fokus pemerintah untuk tahun ini adalah pada kegiatan perencanaan.
Di antaranya yang utama adalah menyelesaikan dokumen Rencana Induk, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Badan Otorita Ibu Kota Negara, Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara, Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Strategis Nasional, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (RDTR KIPP), dan Urban Design Kawasan Ibu Kota Negara.
”Draf RUU Ibu Kota Negara sudah diserahkan ke Presiden pada April lalu. Selanjutnya, penyampaian RUU Ibu Kota Negara ke DPR menunggu waktu yang tepat karena saat ini pemerintah fokus secara serius untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan penanggulangan dampaknya,” kata Rudy.
Pada saat yang sama, rancangan Perpres tentang Otorita Ibu Kota Negara dalam proses menunggu paraf dari para menteri terkait dan Presiden. Rencana Induk tentang Ibu Kota Negara dan KLHS direncanakan akan selesai pada semester II-2020.
Adapun pembangunan fisik akan dimulai pada 2021. Proyek awalnya meliputi pembangunan jalan akses, pembangunan sarana prasarana sumber daya air dan energi, pembangunan infrastruktur dasar, pembangunan infrastruktur pertahanan dan keamanan, serta rehabilitasi hutan dan lahan serta pemulihan ekosistem.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan, DPR siap membahas RUU tentang pemindahan ibu kota negara. Untuk itu, pihaknya menunggu kesepakatan lebih lanjut antara pemerintah dan pimpinan DPR.
”Semua tergantung pemerintah. Dugaan saya, kenapa sampai sekarang belum dikirim draf RUU dan surat presidennya adalah karena pemerintah sedang fokus menangani Covid-19,” kata Doli.
Sebelum Covid-19 terjadi di Indonesia, menurut Doli, para ketua fraksi di DPR dengan beberapa menteri terkait telah membicarakan RUU prioritas untuk tahun ini. Salah satunya adalah RUU tentang pemindahan ibu kota negara. Atas pertimbangan mendesak, target pembahasan RUU disepakati maksimal 100 hari. Saat itu, disepakati pula bahwa DPR akan menugaskan Komisi II DPR untuk membahasnya.
”Secara teknis, tidak ada masalah bagi DPR untuk membahas RUU Ibu Kota Negara baru di masa pandemi ini. Hanya saja apakah tingkat urgensinya sama seperti sebelum Covid atau tidak, itu terserah kesepakatan pemerintah dan pimpinan DPR. Meskipun belum dapat secara resmi, setahu saya pasalnya sekitar 32. Jadi tidak terlalu makan waktu panjang untuk membahasnya,” kata Doli.
Pembiayaan
Terkait pembiayaan, total anggaran yang diperlukan untuk proyek bedol ibu kota negara 2020-2024 adalah Rp 466 triliun.
Rencana sebelum adanya Covid-19, sumber pembiayaan terbesar direncanakan dari Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), yakni Rp 256 triliun. Sementara pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021-2024 adalah Rp 90 triliun dan dari swasta murni adalah Rp 120 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum bersedia menjelaskan skema pembiayaan pemindahan ibu kota negara paling mutakhir. Namun prinsipnya, sepanjang bisa memulihkan perekonomian nasional, pemindahan ibu kota negara akan masuk program. Hal ini dengan mempertimbangkan kemampuan pembiayaan dan kondisi perekonomian nasional setelah didera Covid-19.
”Soal ibu kota negara, kita akan lihat dalam nota keuangan APBN 2021. Sekarang ini kami sedang membuatnya. Seperti yang saya sampaikan, fokus Presiden dan pemerintah adalah mengatasi Covid. Tahun 2020 saja harus kita jaga supaya (ekonomi) tidak merosot,” kata Sri Mulyani menjawab pertanyaan Kompas dalam keterangan pers melalui telekonferensi di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan, sebelum Covid-19 melanda, salah satu tantangan terbesar pemindahan ibu kota negara periode 2020-2024 adalah masalah pembiayaan. Begitu perekonomian dunia dan domestik mengalami krisis akibat Covid-19, tantangan itu menjadi kian berat.
Jika target-target seperti rencana awal tetap dipertahankan, Faisal khawatir risikonya besar, terutama dalam hal pembiayaan. Untuk itu, Presiden Jokowi seyogianya mengubah target. Target awal adalah pindah ibu kota negara mulai 2024. Target paling realistis pasca-Covid-19 tanpa harus membatalkan proyek seyogianya adalah meletakkan pondasi pemindahan ibu kota negara. Fondasi yang dimaksud adalah payung hukum dan dokumen dasar lainnya.
”Memang risikonya kemudian adalah jika rezim setelah Presiden Jokowi tidak lagi menganggap perlu pindah ibu kota, proyek bisa dihentikan. Tapi jika target pindah ibu kota negara tetap dipaksakan mulai 2024 sementara perhatian pemerintah dan kondisi perekonomian tak memungkinkan, risikonya lebih besar,” kata Faisal.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P, Andreas Eddy Susetyo, menyatakan, target bedol ibu kota negara perlu disesuaikan dengan perkembangan pemulihan ekonomi akibat dampak Covid-19. Selama masa pemulihan, belanja negara harus difokuskan untuk membantu daya beli masyarakat dan dunia usaha untuk segera bangkit kembali.
”Kita lihat dulu pertumbuhan ekonomi tahun 2020 dan model pemulihan ekonominya yang grafiknya cenderung berbentuk U bukan V. Ini penting untuk menentukan prioritas belanja pemerintah,” kata Andreas.
Baca juga: Mimpi Calon Penyangga Ibu Kota Baru dan Bayang-bayang Krisis Air
Tantangan pembiayaan sebagaimana disampaikan Faisal dan Andreas tersebut tecermin dengan lebarnya defisit APBN. Defisit APBN 2020 awalnya adalah Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB. Saat Covid-19 melanda Tanah Air, pemerintah memperlebar defisit menjadi Rp 852,94 triliun atau 5,07 terhadap PDB. Belakangan, pemerintah memperlebar lagi defisit menjadi Rp 1.039,22 triliun atau 6,34 persen terhadap PDB.
Sementara untuk RAPBN 2021, defisitnya lagi-lagi diperlebar. Rencana awal yang telah disepakati DPR pada pembicaraan awal adalah 4,17 persen terhadap PDB. Belakangan, Presiden memutuskan untuk memperlebar defisit menjadi 5,2 persen terhadap PDB. Pelebaran defisit yang dibiayai dari utang ini terjadi karena sumber-sumber penerimaan negara menjadi seret, terutama pajak yang menyumbang 70 persen dari total penerimaan negara.
Ini adalah kebijakan fiskal yang tidak biasa di tengah situasi yang memang tidak normal.
Sebelum Covid-19, maksimal defisit APBN adalah 3 persen terhadap PDB sebagaimana diamanatkan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Keterbatasan sumber-sumber pendapatan akibat Covid-19 menyebabkan pemerintah harus meregangkan defisit lebih dari 3 persen. Oleh karena itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai payung hukumnya pun diterbitkan.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana kabar misi bedol ibu kota negara di tengah situasi yang serba sulit akibat pandemi? Berdasarkan proses yang berjalan di pemerintahan, megaproyek itu tampaknya akan tetap dilanjutkan. Apalagi, ini adalah program unggulan Presiden Jokowi.
Penyesuaian, tidak bisa tidak, tentu akan dilakukan akibat berbagai tantangan mutakhir yang ditimbulkan Covid-19. Seperti apa konkretnya, pemerintah sejauh ini belum banyak menjelaskan.
Hal yang pasti, masyarakat bisa mencermati kebijakan pasca-Covid-19 secara lebih detail saat Presiden Jokowi menyampaikan pidato pengantar RUU APBN 2021 berikut nota keuangannya pada Sidang Paripurna DPR, Jakarta, 14 Agustus mendatang.
Hal yang pasti pula, pembiayaan akan menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan megaproyek itu. Tantangan lainnya adalah pembangunan fisik yang menuntut kerja lapangan dari ribuan pekerja di tengah situasi Covid-19.