Presiden Jokowi tidak akan mengajukan upaya hukum banding atas putusan PTUN Jakarta yang membatalkan keppres pemberhentian Evi Novida Ginting dari anggota KPU. Presiden akan mengaktifkan Evi kembali.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mencabut keputusan pemberhentian tidak hormat Evi Novida Ginting dari jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum. Pertimbangan Presiden dilandasi sifat keputusan presiden atau keppres yang administratif dan semata-mata hanya untuk memformalkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Stat Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono, saat dihubungi Kompas, di Jakarta, Jumat (7/8/2020), mengatakan, Presiden Joko Widodo menghargai dan menghormati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan keppres pemecatan Evi sebagai komisioner KPU. Karena itu, Presiden memutuskan tidak mengajukan banding.
”Presiden akan menerbitkan keputusan pencabutan keppres pemberhentian Evi Novida sebagai anggota KPU sebagai tindak lanjut putusan PTUN,” ujar Dini.
Presiden akan menerbitkan keputusan pencabutan keppres pemberhentian Evi Novida sebagai anggota KPU sebagai tindak lanjut putusan PTUN.
Sebelumnya, dalam situs resmi PTUN Jakarta, Kamis (23/7/2020), PTUN Jakarta membatalkan keppres yang memberhentikan Evi dengan tidak hormat dari jabatan anggota KPU pada Maret 2020. PTUN juga memerintahkan agar pergantian antarwaktu terhadap Evi tak boleh dilakukan sampai putusan pengadilan final dan mengikat.
Dini menjelaskan, keppres pemberhentian Evi sebagai anggota KPU dikeluarkan Presiden hanya untuk memformalkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Oleh karena itu, substansi perkara terdapat di dalam putusan DKPP, bukan keppres.
Presiden, lanjut Dini, juga mempertimbangkan bahwa PTUN sudah memeriksa substansi perkara termasuk putusan DKPP terhadap Evi dan memutuskan untuk membatalkan pemberhentian itu.
”Mengingat sifat keppres adalah administratif, maka Presiden tidak melihat alasan untuk tidak menerima putusan PTUN. Substansi pemberhentian dikembalikan kepada DKPP,” tutur Dini.
Keputusan Presiden yang akan mengaktifkan kembali Evi sebagai komisioner KPU sama sekali tak mengubah Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019. Dalam putusan itu, DKPP berkukuh Evi Novida tetap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan harus diberhentikan dengan tidak hormat.
Langgar kode etik
Sementara itu, Ketua DKPP Muhammad menilai, keputusan presiden yang akan mengaktifkan kembali Evi sebagai komisioner KPU sama sekali tak mengubah Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019. Dalam putusan itu, DKPP berkukuh Evi Novida tetap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan harus diberhentikan dengan tidak hormat.
”Keppres pengaktifan Evi Novida tidak mengubah Putusan 317 karena belum diatur mekanisme banding dan atau koreksi terhadap putusan peradilan etik (yang dilakukan) DKPP,” ucap Muhammad.
Secara terpisah, Evi bersyukur atas keputusan Presiden yang tidak melakukan banding atas putusan PTUN. Ia berharap, keputusan tersebut segera ditindaklanjuti dengan langkah administrasi yang diperlukan.
”Pemulihan keanggotaan saya di KPU akan melengkapi KPU RI dalam menyelenggarakan pilkada di 270 daerah,” ujar Evi.
Ketua KPU Arief Budiman pun menyampaikan, dengan tidak ada upaya banding dari Presiden, artinya putusan PTUN sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Ia berharap persoalan ini segera tuntas.
”Dengan jumlah yang lengkap tentu akan lebih memudahkan kami menjalankan tugas," katanya.
Pemulihan keanggotaan saya di KPU akan melengkapi KPU RI dalam menyelenggarakan pilkada di 270 daerah.
Cacat yuridis
Kuasa hukum Evi, Heru Widodo, berpendapat, sesuai ketentuan Pasal 54 Ayat (2) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif. Adapun keppres yang memberhentikan Evi merupakan keputusan deklaratif, sementara keputusan DKPP adalah keputusan konstitutif.
Menurut UU Administrasi Pemerintahan, lanjutnya, setiap organ tata usaha negara yang diberi kewenangan tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pengujian produk keputusan di PTUN. Dalam hal ini, DKPP merupakan organ tata usaha negara.
Heru menilai, penerbitan putusan DKPP sebagai putusan konstitutif terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan setelah diuji di PTUN.
”Oleh karena sudah terbukti bertentangan dengan undang-undang, keputusan konstitutif tersebut seharusnya batal karena cacat yuridis. Dengan cacat yuridisnya keputusan konstitutif, maka demi hukum, keputusan deklaratif yang diterbitkan mengikuti keputusan yang cacat itu juga serba cacat,” ucap Heru.